Rabu, 30 Desember 2020

Petikan terbaik dari "Dead Poets Society"

I close my eyes 
And his image floats beside me
A sweaty toothed madman
With a stare that pounds my brain
His hands reach out and choke me
And all the time he's mumbling
Mumbling truth 
Like a blanket that always leaves your feet cold
Push it, stretch it, it will never be enough
Kick it, beat it, it will never cover any of us
From the moment we enter crying
To the moment we leave dying
It'll cover your face
As you wail and cry and scream


- Ethan Hawke

Minggu, 29 September 2019

12 Detik Prasangka


Aku menera pada selembar bayangan yang melawan terhapus matahari. Bayangan dari tiga per empat kepala yang gagal membayangkan seperempat usianya bukanlah gulungan seratus tujuh puluh lima depa benang wol. Tersangkut marut di pagar berduri. Sebelum kau melompat dan halamanku tiba-tiba penuh dengan hal-hal yang tak sempat.

Saat kau menjauh. Apakah angin yang berkesiur mencerabut benang benangnya adalah sebuah aduh? Semakin sangkut di bilah mata. Hingga jantung kalaku jatuh menjangkit akhirmu. Menetes tuntaskan raga rasa di getar getir pasir.

Padahal semestinya hidup mudah saja bukan? Lenggang matahari. Menjangka ubun-ubun kita. Jarum berdetak memugar segala yang tertunjuk.

Betapa sangsi bayanganku merebut bayanganmu. Sebulat cahaya.

Meniadakanmu
Meniadakanku


Zhongli
September 19

Jumat, 13 September 2019

Sejenak Merenungi Hutan Kita

Apa yang kamu lakukan jika suatu pagi saat terbangun dari tidur, kamu mendapati seekor harimau sumatera sedang berbaring cantik di dapur rumahmu? 

Terdiam mematung? Berteriak minta tolong? Atau mengambil smartphone lalu mengklik fitur live Instagram sembari berkabar riang “Hai, Guys! Ada yang dapurnya pernah kemasukan Harimau kayak gue sekarang?!”

Sepertinya pilihan yang terakhir amatlah mustahil. Tapi percayalah perihal disatroni Harimau Sumatera tidak mustahil, dan bahkan sering terjadi kepada masyarakat yang bermukim di wilayah sekitaran hutan. Sebut saja di kawasan Sungai Gelam - Muaro Jambi, atau di kelurahan Teluk Meranti, Provinsi Riau. Di mana Harimau Sumatera masuk ke pemukiman warga karena kerusakan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Seperti yang dipaparkan oleh Dr. Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia dalam event Forest Talk With Netizen Jambi di Swissbel Hotel pada hari Sabtu, 31 Agustus 2019.


Mengusung tajuk “Pengelolaan Hutan Lestari”, event yang digagas The Climate Reality Project Indonesia dan Yayasan Dr. Sjahrir tersebut menghadirkan para narasumber kompeten yang wilayah konsentrasinya bersentuhan langsung dengan upaya pelestarian hutan.

Kamis, 26 April 2018

Pelan-pelan, Raj


Kabut terakhir mengenai bukitan
Tentang menentang sebalik hari hatimu yang terjal
Dengan pucuk puncak hijaunya yang janggal
Entah untuk menengadahkan
Risalah salah yang mana

Yang menyangkalmu dengan wewarnaan
Supaya putih hitam tak berkerisauan
Meski raga telah meninggalkan
Jiwa terbujur mudah saja biarkan

Nanti akan tiba masanya sendiri
Nanti akan jatuh waktunya berbilang
Katakanlah dengan tak lekas
Sebab segala yang berbekas
Akan mengakanmu
Berlinang liang

Wajah

Mereka yang menyusahhati akan selalu giat menggurat panjat puisimu dari pangkal akanan hingga puncak tunas. Matahari bahasa bersangga. Membiarkan bulir-bulirnya bubar. Membusung tanah. Menyuburkan rasa lapar bagi lidah yang hanya memburu luluhan kalis kata. Namun tiada yang terpikat oleh keranjang lambung selain cercah anggur hitam. Oleh kerinjang lambang yang tak berjumpa titian. Suwung rerangkai aksara belaka.

Kecuali bagi kedua mata ini. Telanjur basah oleh selekeh getah madah pujangga. Melengangkan pematang pandang. Menggembalakan pejam sunyi dari rumputan musykil hingga mantra bungsu. Di lereng renungmu. Aku tanah pekat yang terlalu jerih kepada merpati hijau lumut yang seketika melewat. Seperti taring angin yang membimbing domba-domba lesih. Tapi kegirisanku jangan kau sembelih. Biar menjalar sepanjang lampai langkahmu. Biar liat wajahku ada untuk menyerupai wajahmu.

Ke menara putih. Rima larikmu menjenjang labur. Sebab hanya pada ketinggian itu mereka yang menentangmu akan bermata satu. Meski jua terpandang kau yang dua. Saling berseteru antara sang pelubang hujan dengan pelukis berkuas gerimis. Di jalan bebatu. Tiga kereta kredo ditarik kuda perang. Seperangkat muslihat penjerat. Memburumu hingga pejal ajal.

Seluruh jalan ucap yang kau tempuh telah tercerap sebelumnya dalam lembaran rajah juru peta. Hingga tiada pukau bagi mereka sembunyi ekor rubah yang kau awetkan dalam bait paling piuh. Atau bunyi jantung hati kau hanyutkan ke dada Tiberias. Lamun kau tak berguncang arang belati.  Sebab tubuh kidalmu lebih layuh kepada kanan sejati.

Maka dari retakan ubunku. Bersilang selimpat kurakitkan rambut galah. Jerambah yang menjangkau-jangkau tepian makna. Biar nanti pada hari yang telah ditentukan. Kau bisa menghambur dari kitabmu yang mana saja. Munggah titah. Bersama kasutmu. Sudah kupersiapkan segala. Supaya di tiang persembahan itu. Kaum yang menyelisihimu terpedaya. Supaya mengaduh gaduh tubuh mereka penuh gelegak mangsi yang bukan majasi.

Sementara wajahmu ada untuk mengusap wajahku.

Selasa, 22 Agustus 2017

Pintu


Terhadap tanganmu ia terbuat dari apa saja. Bahkan jembatan yang menyeberanginya turut menyusunmu dari lekatan madu. Ia masukkan luar dan dalam di satu saku baju. Karena saku lainnya telah penuh gurau gundu. Gemerincing seperti persua-jumpa. Jembatan sepanjang Februari dan origami perahu. Tapi kau tak di situ. Kau lebih dari bilangan yang melipat-lipatkan dirinya hingga bergetah.

Sampai berderik meranti langgai. Dari sakunya menggelinding mata-mata belia. Memenuhi beranda. Menabuh parau ladang. Mencelupkan ujung kakinya pada perjalanan mencari air. Menemukan seutuhnya dirimu adalah tarian lebah. Suara-suara yang berumah di udara. Tanganmu mengeluarkan dalam sebagai hujan. Hingga alisku, pingganku, kasutku, bilahku, tenggelamku dalam dalam.

Terhadap ingatanku kau terbuka dari apa saja. Seperti batang sungai yang tak berdaun pintu. Tiada ketukan-ketukan. Hanya laju perahu. Menujumu yang tidak ada di situ.

Rabu, 31 Mei 2017

Semesti

Apa yang seharusnya aku lihat?

Ombak bergelung melepaskan keluasan cemas ke udara. Air demi air meminta wajah, meminta satu nama untuk disebutkan supaya kau memiliki semua huruf untuk dipertanyakan. Tanpa khawatir bayangan yang tumbuh perlahan tak pernah mencapai tepian. Segala tempat untuk menambat

Seperti arang dari rumah dahimu yang terbakar. Aku ingin begitu saja turun. Merendahkan hati sambil mengingkari semua bercak siasat yang telah tumpah sebelumnya. Di atas lantai. Tepat ketika lima pasang kaki langit berhenti sejenak dan mengusap ujung sepatunya yang terbuat dari kulit hujan.