Minggu, 26 September 2010

Katak Tak Murung dalam Tempurung


Di dalam tempurung yang besar ini kami hidup bersama ribuan katak. Ke mana-mana kami naik katak. Entah yang masih balita ataukah tua, kecil ataukah besar, biru, hijau, orange, atau bahkan pink, pokoknya kami naik katak.
Di dalam tempurung yang selalu dirundung mendung ini kami tak ling lung. Malam kami begitu terang. Siang kami begitu gelap. Dan di saat malam ketika kami bepergian, katak-katak kami selalu memancarkan sinar kegelapan sehingga kami tetap bisa berlalu lintas seperti biasa saat di siang hari. Untuk menghindari kecelakaanpun di setiap pertigaan atau perempatan selalu tersedia lampu merah, hijau dan kuning. Tentu saja lampu-lampu itu juga memancarkan cahaya kegelapan agar bisa dilihat orang.
Di dalam tempurung ini kami terbiasa dengan katak. Sama sekali tidak jorok. Kecuali kalau kataknya habis nyemplung di sawah atau sekadar melewati jalan yang becek.
Nah, jika kami keluarkan katak kami dari dalam tempurung, barangkali ke negeri kalian, hampir dipastikan kalian akan menyebutnya kodok yang jorok. Terserahlah. Itu hanya sebutan. Hanya nama. Apalah arti sebuah shakespare?
Seperti kalau kalian datang ke sebuah kafe, lalu disajikan segelas minuman berwarna coklat kebiru-biruan. Dan sang pelayan tersenyum menyajikan “Silakan tuan ini es comberannya...” Meski pelayannya mirip Angelina Julie pun kalian pasti merasa jijik, padahal itu sejenis es coklat biasa. Hanya sekadar nama, tapi kesannya jadi beda. Begitulah yang terjadi dengan alat-alat tunggangan –transportasi- yang kami beri nama (label) katak ini.
Dan ini lah tunggangan kami yang kami sebut katak, dan mungkin kalian sebut kodok.

Bagaimanapun kerennya mobil motor di sini semuanya pakai nama plat yang sama. Plat paling jorok se Indonesia.
Tapi jangan salah, plat ini diartikan bahwa Jambi, adalah gabungan dua kota terbesar di Indonesia. Jakarta dan Semarang. Hehehe

Sabtu, 25 September 2010

(Bukan) Sesat Sesaat


Sekilas lintas curahan hati tentang fiksimini
Sebelumnya, fiksimini adalah sastra singkat di twitter, kurang dari 140 karakter, digawangi oleh sastrawan-sastrawan handal Agus Noor, Eka Kurniawan, dan Clara NG. Sekarang sudah ada tiga puluh ribu lebih peminatnya di twitter setiap harinya.
Beberapa contoh fiksimini saya (sebenarnya ini gak ada apa-apanya dibanding karya fiksiminiers yang lain, tapi ya sudahlah hehe)
@fiksimini: RT @moehyie: Jatuh Cinta Setengah Mati | Ia terbang dengan sayap-sayap patahnya. Mencoba melintasi samudera.
@fiksimini: RT @moehyie: Larangan Terbang | Ke mana-mana garuda jalan kaki.
@fiksimini: RT @moehyie: HARAM | Uang dalam amplop menangis mendengar gadis kecil bertanya siapa ayahnya dalam doa.
@fiksimini: RT @moehyie: KEMBANG DESA Tadi pagi kutemukan kelopaknya berserak di pos ronda, bersama putung rokok dan puluhan botol miras.
Berikut ini adalah beberapa potong kalimat yang selalu mengganjal kalau tidak ditulisakan, juga sebagai lanjutan ceracau saya tempo hari tentang fiksimini. Mungkin lebih tepatnya ini adalah proses (tidak) kreatif saya dalam menulis fiksimini
Saya percaya bahwa menulis itu tak ada teorinya. Menulis ya menulis. Menggoreskan huruf. Mengandeng-gandengkan kata. Membariskan kalimat. Menumpuk paragraf.
Namun, bagi saya yang lemah ini merasa perlu alat bantu. Seperti tongkat untuk berjalan. Kaca mata untuk melihat. Katup jantung untuk menyambung hidup.
Ide dasar. Ini yang terpenting. Dalam hal ini baik penulis baru/profesional berada dalam level yang sama.
Semakin kuat ide dasar ini, semakin kuat daya picu untuk otak untuk menyusun ‘tubuh’ kalimatnya. Seperti  bom yang dapat meledak sendiri di kamp musuh!
Kata-kata itu seperti Tim Marketing yang julannya ide dasar. Semakin menarik, rapi, unik dan pintar semakin cepat ide dasar ‘terjual’.
Bahkan, kalau kita bisa menemukan Tim Marketing yang cocok dan tepat kita bisa mendapatkan ‘uang’ tanpa menjual ‘apa-apa’.
Kalau boleh mengelompokkan SETIDAKNYA ada tiga jenis FM. 1. Permainan Imajinasi 2. Permainan Kata 3. Tragedi.
Jenis yang I. Permainan imajinasi, banyak sekali fiksiminiers yang mengolahnya, bahkan yang terlihat sederhana kalau dikemas baik akan mampu membetot senar-senar imanjinasi.
Jenis yang II. Permainan kata, iya sekilas hanya seperti ubah susun, bolak-balik, padu padan kata. Tapi dari situ pun bisa ketemu makna-makna baru.
Jenis yang III. Tragedi. Ini yang luar biasa. Bagamana seorang fiksiminiers bisa berinovasi, tak sekadar memburu tema, tapi menghadirkan kelebat peristiwa yang langsung nancap di dada imajinasi.
Seperti sekelebat sebilah samurai yang sekali ayun dua tiga kepala putus jatuh ke tanah. Sadis memang. Tapi itu bisa abadi di liang ingatan.
Nah, dari mana saja ayunan-ayunan ide itu berangkat, berikut beberapanya saja;
Kadang bisa berangkat dari permainan kata-kata. Seperti bermain dengan perahu2 kecil, tanpa sadar kita telah berada di tengah samudera makna.
Kadang bisa berangkat dari makna. Tapi hati-hati. Salah-salah malah berakhir di mimbar khotbah.
Diktum Fiksimini yang paling saya percayai, bahwa penulis itu bukan memotret peristiwa, tapi dengan peristiwa itu ia mengungkapkan sesuatu.
Pesan; Jangan terlalu untung-untungan membuat fiksimini (membuat sebanyak-banyaknya, syukur-syukur di RT) kasihan juga kan followers yang kebanjiran :)
Maksud saya bereksperimanlah, kembangkan diksi, plot, latar, tokoh, teknik penulisan dsb.
Baiklah kita coba masuk ke bagian yang lebih teknis. Membuat fiksimini. Tapi perlu dicatat ini hanya satu cara dari jutaan kemungkinan.
Begitu topik dilempar, segera asosiasikan kata tersebut dengan kata2 yang lain. Sebanyak2nya , dan seluas2nya.
Contoh, topik; BURUNG: terbang, sayap, telur, sarang, sangkar, pesawat, nama2 (beo, hantu, merpati dll) dst dan sampai tak terhingga.
Segera FOKUS ke satu titik saja, yang kita anggap paling berdenyut di kepala.
Berfikir kreatiflah (think opposite, out of the box..dll) ketika topik burung, banyak sekali di timeline yang buat tentang Burung Hantu, sy rubah dikit jadi Hantu Burung. *narsis
Contoh
@fiksimini: RT @moehyie: Hantu Burung | Ratusan pinguin terbang di udara, dengan dada yang bolong
Selain itu, dari topik dan kata dasar tadi bubuhkan (hemm) tema2 yang lain. Mis; percintaan, keluarga, politik, dll.
Contoh; Jatuh Cinta Setengah Mati | Ia terbang dengan sayap-sayap patahnya. Mencoba melintasi samudera. (burung+ sayap+cinta)
Kemampuan menulis harus selaras dengan kemampuan apresiasi. Sering-seringlah membaca karya2 yang di RT dan gali sebanyak mungkin makna di dalamnya.
Amat sangat mungkin kita menemukan makna yang jauh lebih banyak, bahkan dari penulisnya sendiri.
Sekian ajaran sastra yang menyesatkan ini. Mudah-mudahan ada yang ikut tersesat bersama saya. Selamanya. Hehe :)

Jumat, 24 September 2010

Perbincangan Waktu


“Apa kau tak lelah hidup terikat dengannya.”
“Entahlah.”
“Sudah, jujur saja, aku tau guru macam dia bukan seleramu, kan?!”
“Tidak.”
“Memang, sih, kalau dia jadi guru kan gara-garanya kualat sama gurunya, tapi...”
“Kualat?”
“Loh dia tak pernah cerita sama kamu?”
“Tidak, Kakak kok tahu?”
“Ya.. aku sih juga cuma curi dengar, waktu itu dia cerita sama temannya yang suka ke sini pakai motor tiger merah itu, kalau dia jadi guru ekonomi gara-gara pernah bikin nangis guru ekonominya sewaktu sma.”
“Haha.. ngarang kamu Kak.”
“Eh BENERAN INI!!”
“Sssstttt!!!! Jangan keras-keras bisa bangun dia nanti.”
“Suara kita tak akan terdengar dari kamar.”
“Tadi, dia pulang hampir larut malam, saking letihnya sampai tertidur di sofa, makanya pelan-pelan saja.”
“Larut malam? Kau tak curiga?.”
“Aku kan juga ikut dia tadi. Seminggu ini banyak guru bimbel yang tidak masuk makanya dia terpaksa menggantikan, padahal ia masih harus menyelesaikan tulisan-tulisannya. ”
“Kalau memang bukan tugas dia, kenapa harus repot menggantikan!”
“Kau tahu sendiri Kak, dia itu..”
“Tak tegaan, kalem, baik! Begitu maksudmu? Ah, heran kakak, padahal bapaknya orang batak, kok dia tidak ada tegas-tegasnya sama sekali.”
“Ah, tak ada hubungannya sama sekali, lagi pula dia lebih mirip dengan ibunya yang orang sunda.”
“Oh ya, kapan kita akan pindah ke rumah yang di Palembang?”
“Tidak, dia bilang sudah betah di Jambi sini, dan akan merintis usaha bersama teman-temannya, yah sama-sama untuk membangun jambi katanya.”
Tiba-tiba terdengar suara orang terbangun.
“Kau cepat kembali sana!.”
Aku melayang, lantas melesat cepat memasuki tubuhku lagi yang masih terikat erat di tangannya. Beruntunglah dia belum sadar betul. Sampai ditubuhku, selain aku sibuk berbicara sendiri dengan suara lirih kudengar pula denyut nadi di pergelangan tangan kirinya.
Ia menatapku sambil menyipitkan matanya, seakan menatapku dengan penuh curiga.
“Pukul 3 dini hari.” Aku tersenyum. Namun tiba-tiba ia melepaskan ikatanku, lalu pergi ke belakang.
Sebentar kemudian dia sudah kembali segar di depan laptopnya di ruang tengah. Wajahnya dan tangannya basah oleh air wudhu yang harum.
Ia mengikatku lagi.
Sambil mengamati kurva-kurva huruf itu berlompatan dari kepalanya ke layar laptop saat ia mulai menulis, kulirik kakakku, jam dinding yang terpampang di seberang ruangan. Ia tampak begitu lesu di atas sana, ditemani pigura-pigura yang terlihat seperti bingkai sepi yang membeku.
Dalam hati aku berucap “Kakak, aku bahagia karena lebih banyak terjaga bersamanya, aku bahagia menjadi jam tangan seorang Tommy Pandiangan.”

Jambi di Mataku


Banyak sate padang disini, tapi ini bukan padang. Banyak mpek-mpek disini, tapi ini bukan Palembang. Ancol dan Monas juga ada, tapi ini bukan Jakarta. Iko Jambi namonyo jo’!
Begitulah uniknya Tanah Melayu kami. Belum lagi jika naik angkot kecil yang dibuat macam bentuk mobil  balap  mainan dengan tempelan stiker berserakan dibadannya. Tuan akan duduk menyamping, sembari sopir yang SIMnya diperoleh dengan jalan nista membanting-banting setir sekehendak perutnya, sambil menyetel musik sangat kencang, dengan salon yang mengganggu posisi duduk para penumpang.
Dan jadilah para penumpang layaknya jemaah tahlilan yang bergoyang kiri kanan sembari mengucap-ucap nama Tuhan dengan nada cemas.
Ah, tak usah berprasangka buruk dulu. Sebab belum lagi Tuan temui betapa santun perangai dan murah simpul tersungging diwajah Melayu kami. Jadi tak heranlah jika yang dirasakan layaknya manis Masuba (Kue khas Jambi) di hati sebab itulah yang temurun diajarkan tetuo kami, supaya tetap terjaga elok kalimat “Jambi Kota Beradat” itu.
Anak jambi janganlah dikenang, jiko dikenang menariklah ngati…
Nah kalulah Tuan merasa penat, dan hendak sedikit mengayunkan tangan melenggangkan kaki. Marilah kuantar  menikmati syahdunya aliran sungai kecintaan kami_ Batanghari dengan Sembilan cabangnya yang mengalir dari sepucuk Jambi ke Sembilan lurah. Tuan kan dibawa oleh sang saksi sejarah kembali ke masa di mana …mengayuh biduk menajur kail.
Lalu Datuk Paduko Berhalo, sang pemimpin negeri melayu yang arif bijaksana melepaskan dua ekor angso guna menentukan batas-batas tanah kerajaan melayu jambi. Maka mengikutlah angso yang duo itu menyusur hingga ke. Maka jangann heran bila melihat angso duo itu bertengger di lambing negeri melayu kami iko.
Tak usah Tuan pusingkan urusan pemuda-pemudi jaman sekarang yang tak khatam rukun iman yang bertenggeran di pinggiran sungai. Atau persoalan kenapa pusat jual beli atawa yang disebut Mall itu mencelupkan kaki-kaki betonnya di pinggiran sungai, itu bukan urusan kita.
Selain itu tuan, masih ada sembilan lurah lagi yang dapat tuan singgahi sewaktu -waktu jika kembali kesini. Juga sedikit sajian sederhana kami, mulai dari tempoyak sampai gelamai. Dari kain kuluk hingga songket.


Hutan yang Menyala (Part-1)


Aku terbangun karena terkejut dengan keributan dari luar rumah. Tiba-tiba kulihat ibu sedang menodongkan senapan anginnya. Di rumah tak ada siapa-siapa selain kami berdua. Kemana perginya Ayah? Kenapa ibu memakai kaos lengan panjang bergaris biru mendatar milik ayah? Kenapa ibu ingin menembak?

Kulangkahkan kaki-kaki kecilku. Pada bagian lantai kayu tertentu akan terdengar derit lirih, lantai kayu rumah panggung kami. Dari sebuah jendela –lebih tepatnya dinding yang dibiarkan berlubang- kulongokkan kepalaku. Oh, ada puluhan beruk –monyet besar- di bawah sana, di sekitar rumah.

Beruk-beruk itu ramai sekali. Mereka seperti anjing-anjing yang tengah menggonggong ke arah kami. Tak jauh dari rumah, di tepian hutan juga terdengar dan terlihat monyet-monyet bersahutan dan berlompatan pada ranting-ranting pohon yang tinggi. Tiap kali monyet-monyet melopat ranting-ranting yang kecil itu ikut bergerak-gerak. Dan karena jumlah monyetnya ratusan, sehingga seolah-olah ada angin besar yang sedang menggoyang-goyang pohon-pohon di tepian hutan itu.

“Mereka kenapa Bu?” tanyaku penasaran.

“Mau mencuri pisang kita.” Jawab ibu pelan, matanya masih terfokus pada bidikan senapan angin ke sekawanan beruk. Dan kulihat ketika ibu memindahkan arah bidikannya ke satu beruk ke beruk yang lain, beruk yang dibidik terlihat takut dan mengkerut. Mereka takut senapan.

“Kenapa ibu pakai topi ayah juga?” aku baru tersadar ibu juga memakai topi coklat lusuh milik ayah.

“Mereka takutnya sama laki-laki.” Jawab ibu, masih memindahbidikkan senapan anginnya. Oh, jadi mereka juga takut laki-laki, batinku senang.

Iya, ibu sedang menakut-nakuti beruk-beruk itu saja. Aku yakin ibu tidak tega menembaki mereka. Lagi pula ibu takkan kuat mengokang senapan angin itu. Kalau aku yang jadi beruk itu aku pasti tidak ketakutan, karena bagaiamanapun ibu tidak mirip laki-laki sama sekali. Tapi, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran beruk-beruk berbulu coklat keabu-abuan itu?

Aku berlari kecil ke belakang. Dari sebuah lubang kecil di lantai kuintip dapur. “Oh jadi pisang-pisang itu yang mereka inginkan.” Ada sekitar tiga tandan pisang-pisang yang sudah matang. Aku pun turun ke dapur melewati tangga kayu yang berada di sebelah luar.

Seperti baru tersadar akan sesuatu, tiba-tiba tubuhku langsung terjatuh ke tanah. Ditarik oleh puluhan tangan.

Muktamar Para Tuna



Pria buruk, bisu, tuli, buta, pincang kakinya, pengot mulutnya duduk di meja paling depan. Di kiri kanan berjajar manusia yang tak kalah rupa dengannya. Lampu di seputar ruangan redup menangkap wajah-wajah para hadirin yang beraneka rupa. Aula mahamegah hotel berbintang tujuh itu telah riuh sejak tiga jam yang lalu. Telah jengah mereka menunggu satu lagi rombongan yang belum hadir.
“Ehmm ehm, sodara-sodaraku sekalian. Harap tenang. Sebentar lagi Muktamar kita yang ke tujuh puluh tujuh ini akan dilaksanaken.” Sontak para hadirin bertambah riuh akibat ucapan pria bisu yang berbicara lewat lubang lain di tubuhnya itu. Ia kemudian duduk lalu berbisik-bisik dengan pria buruk yang kita saksikan diatas tadi.
“Sudahlah pimpinan sidang! Kita mulai saja, tak ada faedahnya menunggu mereka”
Hadirin kembali riuh menyetujui usulan pria yang duduk paling belakang itu. Ia tak lain perwakilan dari Dewan Tuna Wicara dengan bendera rombongan yang berlambang Bulan sabit dengan wajah manusia dicekungannya. Lirik lagu “kalau bulan bisa ngomong” telah bisa menginspirasi mereka rupanya.
“Yaa… jangan mentang-mentang sudah mapan jadi mau seenak perutnya saja! Bagaimana dewan ini mau maju kalau keadaannya begini!” satu lagi perwakilan dari Dewan Tuna Susila mencak-mencak, asap rokok menyembur-nyembur dari ocehannya. Keriuhan hadirin kini berganti suit-suitan nakal. Si perempuan masih belum reda marahnya, lalu duduk sambil mengomel-ngomel dengan rombongannya.
“Sabar sodara-sodara, mereka sebenarnya punya urusan yang lebih penting dari Muktamar ini!”
“Haaaa…” para hadirin ternganga. Mereka tak percaya pada pendengarannya.
“Ya!” pria perwakilan Dewan Tuna Wisma itu melanjutkan lagi dengan alibi-alibinya yang membuat para hadirin semakin tak percaya. Rasa kagum dan penasaran mulai tumbuh di benak mereka.
“Aku melihat sendiri, hebat-hebat orang itu sekarang!”
“Bajunya safari, mobil dan rumahnya berbilangan milyar pula. Malah kudengar sebentar lagi mereka akan membangun gedung yang bisa mencapai surga seharga 1 Trilyun lebih. Hah, kalian pikirkan itu sekarang!
Hadirin semakin tak sadar akan ukuran mulutnya yang ternganga.
“Betulkah yang kau ucapkan itu?” pria buruk pimpinan muktamar telah angkat suara.
“Benar ketua. Belum lagi kalau ketua lihat dahsyatnya lidah mereka bersilat menghadapi orang-orang yang mau mengurungkan niat mereka. Dahsyat sekali ketua! Dahsyat! Tak terpatahkan nafsunya itu”
“Ah benar-benar hebat. Tapi…”
“Ya Ketua?”
“Apakah mereka tetap tuli?”
“Oh, tentu. Tentu ketua. Tambah tuli malahan.

Dunia Tanpa Gembok



Hei...hei.. Sob, mungkin udah pada tau sama benda kecil berbentuk segiempat  dengan batangan melengkung diatasnya. Trus punya anak namanya “kunci” yang kadang jumlahnya lebih dari satu, sebab sang pembuat tuh benda udah paham dan pengalaman sama salah satu sifat manusia paling lumrah; lalai.
Mungkin juga kalian udah pernah ngalamin peristiwa lucu, unik yang berhubungan dengan gembok. Misalnya telat datang ke sekolah dan menemukan gerbang sekolah udah di gembok, ketiduran di WC umum yang udah di gembok dari luar oleh sang penjaga WC, ato pernah kena timpuk sama gembok karena gangguin anak gadis pemilik toko  bangunan hehe…
Yeah, whateverlah. Yang pasti kita semua pastinya udah pada tau apa sih kegunaan benda yang bernama gembok itu. Yap, sepakat! Tentunya demi menjaga keamanan hak milik kita dari kehilangan, kecurian, kemalingan, kebobolan, kemasukan, kerampokan, keracunan. Huss, apaan sih!
Ane iseng-iseng pernah mikir (mikir pake iseng???), mungkin gak suatu saat dalam kehidupan ini, kita gak memerlukan lagi yang namanya gembok??? Eithh …idungnya jangan langsung megar-megar gitu donk! Maksudnya, ketika  pada suatu masa dalam kehidupan ini manusia udah pada memiliki kesadaran untuk saling menjaga hak milik masing-masing. Tidak saling menggangu hak milik orang lain, sehingga kita gak perlu lagi khawatir sampe masang gembok sepuluh Cuma buat kandang ayam aja…ops
Ya, bener sih, kalo kita lihat kondisi hari ini disekitar kita tentu persoalannya gak segampang itu ya sob. Gak usah ane sebutin lagi masing-masing kita udah pada paham gimana suitnya menuhin kebutuhan hidup di zaman ini. Makin lama biaya idup makin mahal, dulu recehan seratus perak udah bisa bayar ongkos angkot atau dituker permen empat biji. Nah, kalo sekarang paling ntu duit cuma cukup buat kerokan doank. Jadi gak heran hal inilah yang menjadi “pemaksa” bagi sebagian orang untuk mengambil jalan pintas untuk membungkam urusan perutnya.
Namun di sisi lain kesenjangan ekonomi yang menyebabkan kejahatan itu terjadi tidak lain juga karena sebagian dari kita terlalu mendekap erat harta bendanya sehingga terjadilah sebuah ketimpangan dalam masyarakat. Jarang kita sadari bahwa didalam harta yang kita miliki kan juga ada hak milik orang lain. Zoon Politicon, manusia ialah mahluk sosial alias gak biisa hidup sendiri, sehingga Tuhan tuh sebenernya nitipin dunia beserta semua isinya ke kita buat dinikmatin bersama, termasuk harta yang kita miliki.
Hmmm asal Sob tau, ane pernah KUKERTA disebuah desa dan tinggal di rumah penduduk yang sekaligus menjadi posko kami. Pintu tuh rumah cuma ditutup alakadarnya. Gak pernah dikunci. Motor-motor pada diparkir diluar, dari pagi sampe pagi lagi. Padahal tetangga pada hilir mudik keluar masuk rumah tersebut untuk berbagai kepentingan. Kadang-kadang dengan tanpa canggung ada dari mereka yang biasa makan, minum, nonton atau apalah, selagi masih dalam taraf yang sopan dan wajar. Itu semua tentunya sudah disadari oleh sang empunya rumah, tapi gak pernah tuh ada larangan-larangan. Karena masyarakat pun menunjukkan respek balik berupa kesadaran akan batas-batas kewajaran tindakannya, istilahnya saling memahami lah gitu.
Bukannya bermaksud menawarkan utopia atau berkhayal yang muluk-muluk. Sebab keadaan yang ane andaikan ini sebenarnya sudah terbukti, walaupun hanya di sebagian kecil tempat. Tapi tak menutup kemungkinan kita semua bisa mewujudkan itu semua untuk kehidupan yang lebih luas dan universal. Bisa aja kita mulai dari diri sendiri, dari yang terkecil, dan mulai dari saat ini. Hingga “pada suatu hari” (duh jadi inget masa SD) Ane, sobat pembaca, dan semua mahluk yang mendiami bumi ini tidak akan lagi membutuhkan gembok untuk melindungi hartanya. Melainkan saling membuka pintunya lebar-lebar untuk kemudian saling berbagi. Ah, indahnya.

Di Sudut Manakah Aku Tersimpan di Hatimu


Hijau itu katulistiwamu
dedaun embun di mana para bidadari memetik parasnya
Selendangnya terjulur dari pucuk gunung
hingga bergelombang di lautan

Ibarat seorang ibu, indonesia –dan kita sebut Ibu Pertiwi- memiliki 33 anak, yang masing-masing memiliki karakter dan keunikan budaya masing-masing. Aku jadi membayangkan alangkah repotnya kalo mengurusi anak sebanyak itu. Yang satu nangis, yang satu minta makan, yang satu naik genteng, yang dua perempuan saling jambak-jambakan, yang dua orang berantem sambil lempar-lemparan pisau, yang satu ditaboki preman, yang satu ditangkep pulisi, yang satu ngaku hamil, yang.... ARGHHHH setres deh!! 

Jadi ingat, waktu itu di metro tv ditayangkan ada seorang ibu yang telah melahirkan sekitar dua puluhan anak (aku lupa jumlah tepatnya berapa, maklumlah aku bukan suaminya, apaan sih). Tapi untunglah keluarganya berlangsung damai-damai aja tuh, meskipun beliau ini berada dalam keluarga yang pas-pasan. Salut lut lut lut. 

Lain peristiwa, di Kick Andy pernah ditayangkan tentang ibu-ibu perkasa. Mereka yang mampu mengangkat truk sampah di atas kepalanya, sementara tangan kanannya tengah sibuk mengolesi kutek merah jambu di kuku tangan kirinya (ih hoax banget). Ceritanya tentang ibu-ibu single parent yang penuh perjuangan membesarkan banyak anaknya sendirian. 

Dan bukankah Ibu Pertiwi pun selama ini membesarkan anak-anak sendirian?? Ada yang tahu ke mana perginya Bapak Pertiwi?? Adakah Bang Toyib berada di balik ini semuah muah muah muah?? (pake efek gema) 

Kembali ke Kick Andy, ada seorang Ibu, nama beliau Ibu Nafisah Ahmad Zen Shahab yang juga merupakan single parent mengasuh dan membesarkan 12 orang anak. Hebatnya nih, dari 12 anaknya, 10 orang sudah menjadi dokter, satu Sarjana Kimia, dan 1 lainnya lulus SKP. Ck.ck.ck.. selain Ibu Nafsiah juga diwawancarai ibu-ibu lainnya yang tak kalah hebatnya, yang juga banyak anaknya. 

Lucunya, saking banyaknya anaknya kadang-kadang ibu-ibu sampai lupa dengan anaknya, entah nama ataupun urutannya. Asal gak lupa aja kalo dia anaknya. 

Kembali ke Ibu Pertiwi, adakah kita kutu-kutu loncat ini hafal dan paham dengan semua anak-anaknya? Hemm ga yakin deh. Coba berapa propinsi di Pulau Sulawesi beserta ibu kotanya lengkap dengan nama semua ketua RT yang ada di propinsi tesebut! Tuh pada nyerah kan?! Huh. 

Dari puluhan anak ibu pertiwi ini, ada yang emang terkenal sampe go internasional bahkan lebih terkenal dari Ibu Pertiwi, sampe-sampe ada anekdot; Indonesia sebelah mananya Bali? Selain itu banyak pula daerah yang memang masih malu-malu kucing untuk go internasional, bahkan di kalangan lokal sendiri banyak yang gak ngerti akan propinsi tersebut, contohnya propinsi kesayanganku –jangan kaget ya- JAMBI!! 

Sebagai putra Jambi aku sering merasa tersinggung, karena ternyata banyak banget yang gak tahu dengan propinsi paling imut ini. “Jambi tuh mana ya?” “Sumatra?” “Masuk propinsi mana?” Erghhhhhh saking sebelnya rasanya pingin mencakar-cakar trio macan, deh. 

Gak di mana-mana. Paling yang tau Jambi mereka yang ada saudara di Jambi atau yang IQ nya jauh di atas rata-rata sehingga bisa mengafal hingga seluruh nama daerah terpencil di dunia.

Bahkan pernah waktu kuliah di solo dulu ditanyain “Kamu dari mana?” 
“Jambi.” Jawabku datar. 
“Apa? Zombie?!” 
Walhasil besok-besoknya kalo dia main ke kosan dia tanya-tanya sama tetangga kamar. “Eh si zombie ada?”

Ampun deh, nih kuselipin petanya deh biar pada dong ya... :)



Nah, mulai sekarang jangan sampe pada gak tau ya, minimal letaknya deh (nawar). Untuk lebih detail tentang Jambi akan dipaparkan dalam postingan-postingan mendatang. so terus pantengin blog ini ya hehehe....

Meski 'hanya' seorang pendatang, namun di tanah Jambi lah usiaku tumbuh berkembang, kau tetap berada di lubuk hatiku terdalam. Seperti Cinta! Tsaaaaaahhhhhhh......

Perjuangan Melempar Anjing




Judul ini emang kalah aduhai dibandingkan dengan melihat orang yang lari terbirit-birit dikejar anjing. Ha..ha.. tapi kembali menjadi sesuatu yang menakutkan kalau hal ini sampai menimpa pada seseorang (pencet hidung sendiri).
Dulu sewaktu kecil aku punya beberapa pengalaman buruk dikejar anjing. Waktu asyik joging sama adik malah dikejar anjing yang badannya aja udah segede kambing, taringnya sebesar gading, matanya sebesar piring (???). Untunglah si anjing ini rupanya pingin ikut joging saja, soalnya waktu aku berhenti lari karena kecapekan dan kehabisan nafas (hosh hosh hosh), eh si dogi malah berhenti juga sambil melet-melet tanpa rasa berdosa.
Mulai dari situlah, dan beberapa peristiwa memilukan lainnya akhirnya kusimpulkan bahwa anjing itu menyeramkan. Segala macam anjing, TAN-PA TER-KE-CU-A-LI !!! (emosi)
Melempar anjing itu nekat!
Sebenarnya, anjing itu sebelas dua belas sama tawon, kalau enggak diganggu dia gak bakalan ganggu juga, gak bakalan menggonggong apalagi sampe mengejar. Tapi, kalau bukan sang tuannya, jangankan mencolek, cuma deketin pintu pager rumahnya sewotnya minta ampun, seperti ibu-ibu kebakaran jenggot. Eh.
Maka dari itu, adalah sebuah kenekatan kalau ada anjing yang amat sangat super hyper bengisnya sedang berleha-leha kita lempar batu sembari pake jurus meha-meha. (acak-acak rambut gaya sun go kong)
Melempar anjing itu menghancurkan zona nyaman
Tapi, ada yang menarik lho dari orang yang dikejar anjing (selain wajah pucat dan teriakan konyolnya), Ia akan mengerahkan segala kekuatannya, segala yang ada pada dia. Entah itu dengan melempar batu/kerikil di dekatnya, atau berlari sekencang-kencangnya. Semua itu dalam kerangka mengerahkan kekuatan dari dalam dirinya.
Beda kasusnya kalau misal kita disuruh lari begitu saja, apalagi kalau lari karena dihukum untuk mengelilingi lapangan upacara. Kita akan lari dengan ala kadar-kadirnya, meskipun masih beribu kali lipat dari kecepatan lari bekicot. Sih.
Karena dikejar anjing itulah kita keluar dari zona nyaman, mengerahkan segala kekuatan yang ada pada diri kita. Kita jadi tahu bahwa kita mampu berlari lebih kencang dari yang diduga selama ini. Dengan dikejar anjing kita akan melewati batasan-batasan yang kita buat sendiri. (sok filosofis, deh)
Melempar anjing itu #30Harimenulisblog
Ide ini muncul dari twitter, dari @perempuansore yang getol mengkampanyekan orang-orang untuk menulis selama 30 hari berturut-turut. Dan ditambah lagi dengan keinginan yang penuh semangat juang 45 untuk mendarah dagingkan gen menulis (halah), kami berdua (Tommy & Muhyi) akhirnya menyusun program ini, yang dimulai pertanggal 20 september 2010 (20 09 2010 – angka yang cantik bukan... hehe)
Dikatakan melempar anjing karena kami sebenarnya punya alibi yang kuat untuk tidak menulis di tengah kesibukan pekerjaan sari senin sampai sabtu (ALESAN!). Selain itu kebiasaan menulis yang biasanya seperti tabrak lari karena lebih senang dengan aktifitas impian lainnya (baca: tidur) membuat kami ingin melempar anjing, keluar dari zona nyaman dengan menulis sampai larut malam (sebenarnya tulisannya sedikit, cuma karena kebanyakan ‘BACKSPACE’ jadinya perlu waktu lama, maklumlah pemula, he2)
Melempar anjing itu nekat jilid 2
Alamak macam judul buku aja! Eh iya lho, dengan mengasah mata pena ini kami bercita-cita untuk menerbitkan buku (baik fiksi maupun non fiksi), selain itu masih ada segudang cita-cita lain yang mungkin akan teruraikan pada tulisan-tulisan mendatang. Doakan ya semuanya berjalan lancar amin......
Terakhir, kukutip perkataan Trisnoyuwono yang tekumpul dalam buku proses kreatif; “Aku mengarang karena yakin aku bisa mengarang, karena aku tidak ngeri untuk gagal sebagai pengarang.”
Nah dalam bahasaku akan menjadi: Aku menulis blog karena yakin aku bisa menulis blog, karena aku masih merasa ngeri untuk gagal dan digigit anjing!  ~ tetep  :D
NB: buat anjing: maap lho, ini cuma analogi kok, enggak melempar beneran, so jangan dimasukkan ke hati ya.... salam persahabatan. GUK! :p

Sekapur Sirih


Sesuluk salam pado kanti semuo, supayo elok cerito hari iko!

Hmm, hari yang indah. Di tengah lelah kepak memburu mimpi, kini sang punai hinggap sejenak untuk berbagi kicau. Adalah 19 September 2010, dalam pagi yang damai, di sebuah kafe kecil bersama segelas teh hangat dan cappuccino ice dua anak manusia mencoba mewujudkan mimpi-mimpi indahnya bersama…halah!
Yap, langsung aja nih sob, “Kicauan Rindu Sang Punai” tak lain dan tak bukan merupakan blog sederhana yang bercerita mengenai sisi-sisi kehidupan berdasarkan pandangan subjektif dengan  tema lokal (Jambi) sebagai warna khasnya. Yang lokal yang vokal, ciee…
Small is beautifull (kecik tu elok) mungkin bisa sedikit mewakili keindahan dan keunikan ragam sosial budaya sebuah kota kecil bernama Jambi, yang kami tuangkan dalam tulisan di blog ini. Meskipun disadari langkah terjal sedang menanti didepan.
Jujur aja nih, dari kita bedua gak ada yang megang lisensi aseli sebagai Bujang Melayu Jambi. Sehingga sumber-sumber referensi mengenai Originally of Jambi mesti bener-bener dikomplitin demi mengatasi keterbatasan kami dalam hal kebudayaan Jambi yang begitu kaya ragam (lebih tepatnya: gak merusak keaslian sejarah dan budaya Jambi, hihihi), meskipun kami cukup kesulitan.
Tak kenal maka tak sayang, so gak ada salahnya kami sang empunya blog untuk sedikit mengenalkan diri kami yang tidak hina ini.
Tommy Pandiangan: Bujang rantau kelahiran Palembang Januari 1987. Menamatkan kuliah dan bekerja sampai detik ini di Kota Jambi. “gak balik ke Palembang Tom?” sering temen-temen alumni mengutarakan pertanyaan yang sedemikian.
Berikutnya Achmad  Muhyidin, lelaki pemalu kelahiran Februari 1984 yang juga berdomisili di Jambi. Bekerja sebagai kontraktor di sebuah perusahaan. Hobinya membaca dan menulis sms.
Mengenai nama blog kami Kicauan Rindu Sang punai yang tentunya amat terdengar Melayu ini, memiliki filosofi yang amat dalam serta mewakili harapan-harapan kami kepada blog ini. Kicauan, yang berarti setiap kata-kata yang kami tuliskan disini berasal dari kicauan hati. Sebagai refleksi diri terhadap keadaan juga menggapai kepuasan jiwa melalui kegiatan menulis. Layaknya kicau sang punai, meski tak ada insan yang mendengarnya ia tetap jua berkicau.
Sedangkan rindu, adalah kata yang mewakili hasrat hati agar tercapai mimpi dan cita-cita kami melalui blog kecil ini. Dan mengenai mengapa unggas punai yang kami gunakan ialah tak lain karena bentuknya yang cantik, bebas. Seperti yang kami harapkan pada blog ini.
At least harapannya blog kecil ini dapat ikut ambil bagian dalam kancah percaturan blog di Indonesia tercinta, dan dunia akhirat. Ciyaaaelahh...