Selasa, 23 November 2010

Aku Akan Selalu Butuh, Pisau Itu!


Ide terbodoh adalah aku keluar dari ini semua. Berjalan tanpa arah. Bergandeng-gandeng dengan tangan-tangan sepi sambil sesekali mengeluarkan duri dari tumpukan jerami. Aku ingin mengangkat tangan. Menyerah pada ketiadaan. Mungkin pula  ikut berbaring memeluk lekuk daun-daun kering. Daun-daun yang gugur dalam tatapan mata maut yang runcing. 

Semua menjulurkan pisau, hingga akhirnya aku tersudut sendiri pada ruang yang temboknya telah dikosongkan. Di mana paku-paku itu? Di mana topeng-topeng itu? Aku masih ingin menjadi pohon, menjadi tiang listrik, menjadi kerikil di becek jalan sehabis hujan, menjadi bunyi-bunyi sunyi, menjadi patung yang mirip aku.

Di saat mencoba memahami yang lain aku lupa memakai nama sendiri. Semua jadi pergi. Meninggalkan sebulat matahari yang tak pernah tergigit menjadi sabit. Sengat menyengat sampai aku teringat untuk melupapakaikan nama sendiri.

Di mana kata itu, di mana mata itu, di mana belati itu. Biar kuukir jantungku menjadi patung kehancuran yang sempurna, kehancuran untukku menamai segalanya, dan menarik yang telah ke luar ke dalam semua.  

Senin, 22 November 2010

Sepotong Tangan Tanpa Nama

Di ujung aspal terik, tubuh kekar itu mengayuh ontel karatnya yang berderit-derit, seperti hendak patah akibat ditumpuki tiga ekor babi lemas dan kuyu. Satu yang paling besar melintang di batang besi depan, tak ada gerakan barang sedikit kecuali moncong basahnya yang mangut-manggut. Sedang yang dua lagi_besar dan kecil di tumpuk di boncengan. Sepertinya babi-babi itu satu keluarga, anak beranak, atau mungkin saudara jauh. Ah, entahlah. Dimana-mana babi memang mirip.

“Ditooo!!!”
“Ragiiil”
“Bayuuuu!”

Kami saling melemparkan nama satu sama lain pada pria pembawa babi itu. Tanpa canggung ia pun tersenyum membalas dengan lambaian tangan gempalnya, seperti tak ada beban.

Gayung



Empat huruf yang bersusun di awal kata tersebut begitu terkenal akhir-akhir ini. Jadi, tak ada salahnya ia coba dipaparkan, diperkenalkan kembali, atau bahkan dipopulerkan, atau mungkin juga malah diputusasakan karena barangkali –ah sebenarnya saya tak suka dengan kata-kata pesimis- tulisan ini takkan begitu dicermati. Seperti sebuah pertunjukan teater, di sini gayung akan diberi peran utama, namun jangan kan penonton kursi-kursi gedung pun berbalik punggung, tak sudi menonton, -iya, ini sudah dalam tingkatan dipesimislebaykan.

Akan tetapi, seberapapun pecundang atau ketidakberartiannya, gayung tetaplah gayung, ia tak mungkin dipakai untuk menggelapkan pajak, kalaupun bisa pasti akan lebih dipilih alternatif lainnya; ember, atau bak air misalnya yang bisa memuat lebih banyak. 

Plastik, sejauh yang selama ini saya temui inilah yang biasanya gayung terbuat, dengan berbagai macam bentuk, ukuran dan warnanya. Selain itu di beberapa daerah biasanya juga memanfaatkan tempurung kelapa untuk dibuat menjadi gayung. Kamar mandi dan dapur adalah habitat alami dari benda yang satu ini.

Gayung akan tetap menjadi gayung, dalam arti bukan masalah atau benda pokok seperti benda-benda yang lain semisal genteng, televisi, sepatu dll. Akan tetapi di era modern seperti ini, barangkali gayung sedikit banyak juga menjadi benda yang ikut tersisihkan.

Sore itu, beberapa tahun yang lalu di daerah bilangan Pondok Gede Bekasi, tepatnya di rumah paman saya kedatangan Pak De dari Kebumen Jawa Tengah. Yang menarik, waktu akan mandi tiba-tiba Pak De heboh saat hanya mendapati shower yang tergantung di kamar mandi. Ia tak mau mandi tanpa pakai bak mandi dan gayung. Dan akhirnya –setelah dicuci bersih- bak untuk rendaman cucian pakaian di pakai untuk menjadi bak mandi.

Minggu, 21 November 2010

Suatu Pagi di MIRC Channel Jambi


Iseng. Setelah laptopku terhubung dengan jaringan internet aku langsung membuka program untuk chatting –MIRC . Meski aku tau betul sepagi ini pasti jarang orang yang nongkrong di program yang ngakunya The most popular shareware IRC chat client for Windows ini, tapi ternyata eh ternyata mendapat dua teman ngobrol yang mengasyikkan di @DALNET channel #Jambi.


Leond-x : Kok sepi amat Jambi ya
Aku : halo leond
Leond-x : halo juga
Cybertime : nak rame di pasar, kan masih subuh...
Leond-x : wkwkwkwk
Aku : maklumlah jambi gitu loh :)
Leond-x : iya ni jambi, dari dulu ampe sekarang sama aja
Aku : pada di mana nih jambinya
Leond-x : aku di jogja bro... cuma aslinya anak jambi
Cybertime : kuliah di mana?
Leond-x : udah gak kuliah lagi, aku kerja
Aku : eh, mau tanya, apa sih yang paling dibanggain dari jambi?
Leond-x : jambi adalah satu-satunya kota yang BH nya besar2 wkwkwkwk
(note : maksudnya plat nomor kendaraan)
Cybertime : weleh2 kok gitu ngomongnyo
Aku : mahahaha... terus?

Kamis, 18 November 2010

PADA AKHIRNYA KITA TAK MENULIS APA-APA

Padahal sesayap cahya itu sedari lalu berpendar dalam sakuku, sakumu
Sampai jengah berkitar-kitar, hinggap menyesap kedalam cangkir teh manis
terabai kita yang lebih seru menyulam perbincangan asap beku

Sekantung peristiwa di kamarmu terbujur pasi, amsal tesungkur dicerai imaji
Kepak cahya yang letih memilih gegas. Kabur memburu jasadnya lekas
kedalam belantara kelabu. Mendedah wujud dalam tiada yang amat semu.

Kertas Putih

Putih itu tidak selamanya suci. Amplop-amplop dalam map itu juga berwarna putih. Dibawa dengan tangan kiri berjam tangan rolex keluaran terbaru ke dalam sebuah ruang rapat. Tertutup. Apa yang diperbincangkan selanjutnya merujuk pada isi amplop itu. Seperti di dalamnya ada pasal-pasal tegas perundang-undangan. Apa yang dituliskan berikutnya  juga berdasar pada apa yang disabdakan dalam amplop itu. Seperti sebuah kitab suci yang harus diikuti. Dan ditaati. Amplop-amplop itu masih juga berwarna putih saat dirobek.

Kertas kosong itu juga berwarna putih. Tak ada satu huruf bahkan titik tinta di atasnya. Bersih. Tapi bagi seorang penulis, kertas kosong itu sama saja seperti pocong. Yang membuat sesuatu dalam kepalanya menjerit bila tak ada sebuah idepun yang mampu dijerat menjadi kalimat demi kalimat yang tersurat. Tertulis jelas di atas kertas.

Ya, sebut saja sindrom kertas putih. Kalau putih bagi amplop yang dibawa ke ruang rapat itu amat menenangkan bagi pemberi dan penerimanya, tapi bagi penulis putih kertas sama halnya sebuah medan perang yang dihamparkan di hadapannya. Di atas meja. Di atas pangkuannya. Di dalam bis kota. Di meja makan. Di kursi taman. Di mana saja penulis itu ingin menulis.

“Tidak ada ide!” ah tidakkah ini begitu klasik. Begitu banyak sesuatu yang berkeliaran di sekitar. Begitu banyak yang didengar, dilihat, dicium, dirasakan hati hingga menjadi berdebar-debar. Tapi kertas putih itu masih saja kosong. Tangan masih mengetuk, memutar-mutar pena. Seperti jarum detik yang berputar-putar. Seperti ingin menjelaskan apa yang terjadi di dalam kepala. Ada ide sebenarnya, tidak hanya satu, tapi sepuluh, seratus, atau bahkan beribu ide hingga tak terhitung.

Kertas putih itu masih kosong. Justru karena teramat banyak ide. Akhirnya masing-masing ide saling berdesak-desakkan. Saling sikut saling dorong ingin terlihat paling kuat. Ya, mereka pikir dengan terlihat paling kuat mereka akan terpilih dan dikeluarkan dari desak-desakkan dalam kepala melalui ujung mata pena menuju keluasan putih kertas.

Kertas putih itu masih kosong. “Cinta, saat gerimis turun, dan hatimu menjadi sejuk ranum seperti daun-daun.” Aha! Sepertinya ada ide yang kuat. Cinta seperti ini pasti indah bila dituliskan.

Kertas putih itu masih kosong. Tangan masih tak beranjak. Masih mengetuk, memutar pena. Ah, cinta seperti itu sih sudah biasa. Basi. Lalu beralih ke ide lain lagi. Tampak dalam kepala sebuah ide terengah-engah setelah merobohkan ide-ide yang lainnya. “Aku. Aku adalah kamu yang ditilang polisi tadi pagi. Sangat menyebalkan bukan?” Ya, harus dituliskan!

Ah, ini jadi curhat namanya. Mana mau orang-orang peduli urusan pribadi. Tangan menarik ujung pena kembali. Diketuk-ketukkan lagi ke meja. Kertas putih itu masih kosong.

Ratusan ide pun masih berdesak-desakkan berputar-putar. Seperti jarum jam yang tak menemui titik hentinya. Sudah lima jam, dan kertas putih itu masih saja kosong.

Dan aku masih bingung ingin menulis apa.

Sabtu, 13 November 2010

Di Pinggir Satunya (Menyeberang Batanghari)





Ini adalah sungai yang tak terseberangi hanya dalam seratus atau dua ratus dayung. Di pinggir satunya tiba-tiba bola matamu melukiskan ketakutan yang teramat lebar. Namun kecil sekali langkah kakimu saat menapaki dermaga yang terapung-apung. Detak jantungmu seperti lampu gantung yang temaram berayun-ayun.

“Kalian ingin menyeberang?”

Ini adalah sungai tenang yang menghanyutkan. Tiba-tiba kau menarik nafas dalam-dalam, seakan sedang membandingkan dasar rongga parumu dengan garis kedalaman di mana benda-benda yang tercebur ke sungai tenggelam dan mengendap. Ah, tapi siapa bisa mengira sungai ini sedalam apa. Tubuh sungai yang keruh itu seperti jasad air yang mengapung setelah terlepas dari pemberat, nyawanya sendiri.

“Iya, ke kampung seberang.”

Di bentang ini sungai tak berjembatan. Tempuhan jarak hanya pada perahu-perahu kecil semacam ini –orang-orang di sini menyebutnya ketek. Perahu-perahu yang begitu saja mengapung, tak berpelindung tak berpelampung. Perlahan bergoyang-goyang. Cemasmu menggenggam erat pinggiran perahu. Seperti menggenggam sebuah perisai pada perang yang sedang terlontarkan ribuan anak panah. Melupahapuskan bayang-bayang malaikat hitam. Hingga sampai di pinggir satunya.

“Dua ribu rupiah.” Katanya.

Dan kaupun menerima kembali nyawamu, yang tadi tergantung di legam urat lehernya.

Kamis, 11 November 2010

DONGENG DALAM PLASTIK

Kuterawangi jendela hotel yang gemeretuk dimainkan angin. Dari lantai tujuh belas kuloloskan pandangan keluar, tampak jauh dibawah sana barisan panjang kendaraan merayapi jalan raya, menyerupai kunang-kunang mengantri jatah cahaya kepada bulan bulat. Meski kasur dan selimut lembut terus merayuku, tapi kantuk belum juga sudi bertengger di kelopak mata. Aku belum mau tidur.
Mungkin udara segar diluar sana akan membantu menuntaskan masalah ini. Kukenakan jaket tebal, lalu turun keluar menyusuri jalan kota berwarna oranye disiram temaram lampu jalan. Menurut cerita temanku, kota ini punya cinderamata yang tak dimiliki tempat lain. Pun tadi pagi Nayla kecilku merengek minta dibawakan sesuatu jika aku pulang nanti.
Tak berapa lama, akhirnya kulihat. Di pinggir emperan toko berjajar lapak yang dipenuhi plastik-plastik kecil gembung bercahaya. Kupercepat langkah, lalu kuperhatikan sesuatu yang digelar di lapak-lapak itu. Ada sesuatu dalam plastik. Bercahaya teduh, cantik bukan main.
“Silahkan tuan, pilih aja! Murah kok!”

Selasa, 09 November 2010

Telah Rekah Padaku Setusuk Sepi

Telah rekah padaku setusuk sepi
Gemerincingnya menggelinding dari puncak keramaian
Hingga di batu pecah bersimbah lemah lembah
Tanah-tanah harapan yang senantiasa dituliskan
Untuk dikubur kembali bersama kekalahan matahari
Kembali letih, urat cahaya tertahan huruf-huruf awan hitam

Hujan, apalah yang ia berisik bisikkan pada bumi
Bila batang tubuh yang tumbuh tak seampuh kayu bakar
Tak hangat-hangat jua gigil makna dalam tenda-tenda alenia

Pada teratai hitam yang mekar di tinta telaga
Pada kata-kata yang patah di sekelilingnya
Duniaku bangkit bersama derai rumputan
Ilalang tempat angin timbul tenggelam
Dan bila sebuah harapan menetas
Dari keterdiamannya. Sepi telah
Menusuk hingga ke tulang puisi
Aku hanya ingin melipat diri
Menjadi kopompong sunyi

Senin, 08 November 2010

SAMUDERA DI LOBI HOTEL

Dengan langkah gugup kami memasuki pintu utama gedung hotel, disambut pintu kaca otomatis yang baik hati membuka dirinya untuk kami. Seketika langkah kami mencium ubin licin gemerlap sebuah lobi megah dengan tangga berkarpet merah, berulin-ulin seperti ular menggapai lantai diatasnya. Suasana ruangan nan mewah ditambah hawa pendingin ruangan menusuk membuat kami semakin gugup.
Sejurus kemudian kami melangkah menuju meja resepsionis, bermaksud menanyakan sebuah nama yang yang kami cari. Pria resepsionis menyambut ramah dan menanyakan urusan apa yang bisa di bantu. Setelah kami utarakan maksud, telunjuknya pun langsung menyusuri sebuah buku tamu lalu berbicara dengan seseorang diujung telepon.
“Ya, sebentar lagi bapaknya turun!”
“Makasih ya!” kami membarter senyum.
Dengan dada yang makin degup, kami mendudukkan gugup di sofa merah. Suara riuh rendah terdengar dari beberapa orang paruh baya yang sedang asyik melingkari beberapa buah meja kecil. Aku memperhatikan cantiknya lampu kristal  lobi hotel yang menggantung redup.

GURU ANWAR

Guru Anwar duduk di kursi kayu lembab, meresapi kehangatan secangkir plastik kopi hitam yang menjalari jemarinya. Atap seng halte bergemuruh dihujam siram hujan. Spanduk-spanduk kain iklan rokok pinggir jalan kuyup berkibar dimain-mainkan tangan angin.
Ia menghela nafas dalam, melirik gunungan kacang rebus di gerobaknya belum hengkang satu biji pun. Malam ini sepi benar, pikirnya. Ia seruput kembali satu teguk kopinya.
Kejap kemudian, sebuah sedan merah muncul menyibak tirai hujan, mendecit didepan halte. Seorang perempuan paruh baya lari tergopoh menghampiri gerobak kacang Guru Anwar.
“Bungkus satu mang!”
Guru anwar bangkit dari lamunannya. Dan, Hah! Guru anwar terpaku. Ada yang baru saja didapatinya diwajah perempuan cantik itu. Bukan dua bola mata bening didalam kelopak sempit kuaci. Atau hidung bangir yang mencuat lancip meneduhi sepasang bibir mungil  merah pejal, berpadu dalam paras jenjang semampai dibalut putih gading.

Minggu, 07 November 2010

Lengang Remang Pagi Ini


Pagi ini detektor langit diperketat.
Tak banyak ruas cahaya yang lolos.
Padahal aku tengah menunggu. Sosok cahaya
Yang membawa peledak untuk hatiku

Remang Pagi. Seperti duka malam
Yang enggan beranjak pergi. Kita debu-debu
Yang menduga-duga, sesaat lagikah
hancur dalam tangisan hujan

Lengang Pagi. Pucuk pisang tak bergoyang.
Embun-embun menutup daun telinganya yang lebar.
Ah inilah saat mendengar. Nyanyi sunyi
Hatimu sendiri

Jumat, 05 November 2010

Hanyut


Menikmati tetes manis pagi ini. Kusangka udara telah durhaka
Dengan kantong-kantong gaibnya, menyimpan perbekalan air mata
Aku ingin menangis. Untuk kembali basah oleh segala pengertian
Hati yang dibasuh di tepi aliran. Tubuh yang tergelincir
Ke jantung pusaran.  Kusangka sungai ini telah merencanakannya
Dengan  lorong-lorong jerammya, menghanyutku jauh hingga karam di dasar
Di mana kapal-kapal  negeri cahaya melepas jangkar