Kamis, 28 April 2011

Karam Dayung

Kekasih, aku tlah payah
Tubuhku dayung yang hendak patah,
Perahu lapuk menghela tepian
Ditunjam belibis, bergerugut garam di lambungnya

Dermaga; tak lain cuma tarian oase
Dan kemudian maut diusap ke wajahku

Seperti jejakmu memburam di hujung dian
Sauh pun karam, pada matamu temaram

Selasa, 26 April 2011

MEMOAR SEBUAH KOTA

Aku tak mengejanya sebagai obituari
Peristiwa yang dicuri waktu dari rongga mataku
yang mengoperakan episode murah di panggung
berbangku merah, berbau kencing tikus dan kecoa

Aku pun tak mengejanya sebagai maut,
dalam isyarat lamat biola pengemis, di anyap gang kota
Dimana kenangan menjadi semacam sepatu tua,
yang lelah mengeja nama-nama pepohonan di taman.

Dan aku takkan menyebut ini sebagai perpisahan, Tuan!
Ketika malam terakhir rembulan dada kita mengatup pelan,
di desis kopi terakhir. Dan sebuah harum pun mengopak mekar,
dalam ketiadaan.

Senin, 25 April 2011

GERIMIS

Gadis mungil berpayung hitam
Dengan pecahan gerimis di bahu yang gigil
Seekor gagak hinggap, berteduh di matanya
“Apa takutnya sebuah ajal” katanya pada gagak
Di jantung gadis mungil terbujur airmata, sepucat jenazah

PERCAKAPAN MEJA MAKAN

“Emmh… masih enakan masakannya bunda, ueeekkh!”
“sssst, mulutmu itu, Dik!” (menekan geram)
Sedari tadi udara disesaki sepi, tidak ada kata-kata yang berani menegaskan wujudnya, hanya desisan bibir dan delikan mata yang saling hujam satu sama lain. Celoteh cicak  mengiringi denting sendok dan garpu yang memantul-mantul di ruangan bercat coklat krem, yang berpadu manis dengan meja dan kursi coklat tua mengilap serta bersiku dinamis ala Art Deco. Di sudut lain, berdiri sebuah jam antik tegap dan dingin, seperti berputar maju mundur memelihara waktu.
Empat rongga mulut di ruangan itu memamah dan mencecap dalam masing-masing hati yang seperti mengidap ambeien, gusar. Terutama si perempuan paruh baya yang sedang menggesek-gesek steak kejal yang tak mau putus-putus itu. Si perempuan paruh baya dengan decit kursi keenam kalinya, yang menghujamkan Sour De Parisnya ke lubang hidung tiga manusia lain di ruangan itu hingga pening, termasuk juga sepasang cecak terbakar asmara di sudut langit-langit ruangan. Dan si perempuan paruh baya dengan rambut coklat bergelung-gelung, yang rikuh gelagatnya segera di tangkap pria buncit berjambang lebat, berkaus tipis, bersuara berat yang duduk bersisian dengannya.
“Ehem… bagaimana ulanganmu tadi, Dit?” (udara pecah)

Kamis, 21 April 2011

Milly

Menjelang pagi menuding angka tujuh, muka etalase toko itu telah sesak oleh riuh renyah anak-anak sekolah. Mereka sandarkan Gazzele-nya lalu dengan badan terbungkuk, dan ada juga yang berjongkok_ melemparkan wajah polosnya ke dalam etalase kaca. Tepat pada sebuah rumah mungil yang hampir seluruh bagiannya terbuat dari coklat, bertabur butiran permen berwarna-warni nakal di dindingnya. Sedang pada halamannya terhampar lumuran krim hijau bening mentol dengan tatanan biskuit yang berpura-pura sebagai petak-petak batu di jalan setapak yang meliuk dari mulut pintu rumah, Olala…

Cuma itu? O, tentunya tidak! Inilah dia! Anak-anak ini telah paham betul,  jika jarum panjang menyinggul angka dua belas, maka seekor mahkluk berukuran biji kenari akan muncul dari dalam rumah mungil itu, menguap, meregangkan badan sembari mengepakkan kedua sayap mungilnya yang masih nampak kuyu.

Minggu, 17 April 2011

Bayu dan Anjani

"Bila siang adalah saudara lelaki tua, maka malam adalah adik putri kecilnya, yang bergantian menjaga bumi."

Aku tak benar faham dengan rangkai kata itu. Urutan kata yang sering kuulang hingga menjadi kalimat paling akrab dengan lisan ini. Urutan kata yang dilafazkan ibu di akhir waktunya. Akhir waktu yang menjadi awal mula dari keterpisahan kita; aku, ibu, dan Anjani adik kesayanganku.

Tepat seminggu setelah pemakaman ibu adikku menghilang, entah ke mana. Tapi aku yakin betul kalau adikku itu hanya menghillang. Maksudku, ia hanya menjadi tubuh yang tak tampak. Entahlah, karena kulihat bapak masih mencucikan bajunya yang hanya ada dua pasang. Bapak pun melarang aku merapikan kotak kardus dan tumpukan koran yang menjadi alas tidurnya, yang tepat di pojok kamar, kamar yang kami tempati secara bersama-sama. Kamar yang menjadi satu-satunya ruang dalam rumah kami, atau tepatnya kamar berdinding kayu tipis, bersegi empat dengan ukuran tujuh kali langkah orang dewasa pada masing-masing sisinya.

Jumat, 15 April 2011

Lelaki Jarum Jam Matahari

Para warga mengenalinya dari keranjang bambu yang tersangkut di sebatang pohon jati yang roboh menjulur ke sungai. Tapi kami melihatnya bahkan pada detik pertama ia terjatuh. Kerumunan warga semakin banyak. Namun semua tak dapat berbuat apa-apa. Kecuali kamu.

*****

“Hore!!! Ayo kita buat jam matahari!” teriakmu waktu itu. Kau letakkan sebuah batu di pinggir sungai lalu kau berjalan mundur di jalan setapak hingga bayangan kepalamu tepat menyundul batu itu. Lalu kau mulai menjengkalkan jarak bayangan dengan telapak kaki sambil berhitung “Satu, dua, tiga, empat, enam...”
“Lima, Pur!” potongku. Lalu kau dengan gugup mengulanginya lagi. Mengulangi semuanya. Mulai dari memindahkan batu (ini kau lakukan seolah ketika salah hitung maka batu itu sudah tak suci lagi pada posisi itu dan harus digeser) lalu mundur mengepaskan bayanganmu dan mulai berhitung lagi.

Aku selalu tak dapat menahan senyum, karena kau pasti akan melakukannya berkali-kali, entah terlewat menghitung pada angka lima, enam, tujuh dan seterusnya. Dan sepertinya pelajaran jam Matahari dari Bu Wanti membuatmu jadi suka dengan angka-angka, meskipun tak membuatmu jadi mau akrab dengan matematika.

Sayap Patah Merpati


"Lihat baik-baik ya," kata lelaki itu kepada Nia sambil mempersiapkan pertunjukan berikutnya. Sebuah kotak berbentuk kubus dengan sisi-sisi selebar telapak tangan lelaki itu ditaruh di atas sebuah meja bulat sebesar dua kali piring makan. Dengan bilah-bilah jeruji dari kayu, kotak itu tampak seperti sarang burung.

Tidak hanya bola matanya, tapi tubuh Nia secara refleks bergerak mengarah mengikuti gerak lelaki itu yang kini mengambil buah jeruk di meja depan televisi. Lalu buah jeruk berwarna orange segar itu dimasukkan kedalam kotak.

Lelaki itu tersenyum sekilas. Sejenak matanya bertatapan dengan dua bola mata bulat Nia.

"Aaaah!" Nia terloncat untuk kesekian kalinya begitu lelaki itu menggebrak kotak itu hingga memipih, dan tentu saja jeruk itu menjadi hancur seketika. Hanya beberapa potong kecil yang selamat menembus celah-celah jeruji.

Lalu dengan santainya lelaki itu menyapukan tangannya, membersihkan baju hitamnya yang terkena percikan, menegakkan kotak itu kembali semula, dan membuang jeruk yang tak lagi segar itu.

Minggu, 10 April 2011

Benteng Bangsa Harda

Aku bosan dengan kota ini. Semua jalan besar hingga gang-gang paling sempit sudah pernah aku jelajahi. Ribuan jalur, ribuan tujuan membentang, semua sudah pernah aku jejaki dengan kedua kakiku ini.

"Apa ada dunia lain selain kota yang membosankan ini Bu?"

"Hush!"

Selalu saja jawaban itu yang kudengar dari ibu. Sepertinya pertanyaan itu teramat tabu untuk ditanyakan di kalangan bangsa kami, bangsa Harda. Sebuah bangsa yang hidup di sebuah wilayah yang sangat tertutup rapat dari dunia luar.

Hidup kami penuh dengan perjalanan. Ya, kami hidup dengan berjalan dan terus berjalan, bergerombol, berdesak-desakan, tak kenal kata henti kecuali jalanan yang tiba-tiba menyempit atau kami mati, baik karena serangan musuh tiba-tiba atau mati karena menua.

Di sepanjang jalan terbangun benteng yang sangat kokoh, yang tak mungkin tertembus jika hanya mengandalkan kekuatan kami. Selain itu pasukan putih selalu siaga berpatroli di mana-mana.

"Kalau kau beruntung kau bisa ke luar dari kota ini" kata seorang lelaki paruh baya yang kali ini berjalan beriring denganku.

"Ba.."

Rabu, 06 April 2011

SELAYANG JAMBI

DEMOGRAFI
JAMBI resmi menjadi provinsi pada tahun 1958 sesuai dengan UU No.61, 1958, Juni 25. Provinsi Jambi terletak di sebuah kawasan yang dikenal sebagai sebagai Pulau Andalas atau Sumatera. Provinsi Jambi terletak antara 0 º 45 '- 2 º 45' Lintang Selatan dan antara 101 º 0'-104 º 55 'Bujur Timur. Terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 Kota dengan jumlah penduduk 2.568.548 orang berdasarkan sensus tahun 2003. Wilayah Provinsi Jambi meliputi bidang 53,435.72 Km2 dan panjang 185 km. Batas-batas wilayah Propinsi Jambi adalah sebagai berikut:
  • Utara, dengan Provinsi Riau
  • Selatan, dengan Propinsi Sumatera Selatan
  • Barat, dengan Provinsi Sumatera Barat
  • Timur, dengan Laut Cina Selatan.
IKLIM

Di Provinsi Jambi, dari bulan November hingga Maret adalah musim hujan. Dan awal musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober.  Rata-rata curah hujan 1900-3200 mm / tahun dan rata-rata hari hujan 116-154 hari / tahun. Suhu maksimum di Provinsi Jambi adalah 31 derajat celcius.

Selendang Mayang

Orang membakar di Pulau Hantu
asapnya ada tabun menabun

Orang membakar di Pulau Hantu
asapnya ada tabun menabun

asap api membakar kebun
merendang lada di sampul luleh

Taruknya kaca tangkainya embun
dipandang ada diambil tak boleh

Merendang lada disampul puleh
asapnya sampai ke Gunung Tujuh             

Minggu, 03 April 2011

SEBENARNYA DOA TAK BERTANYA

Tahukah, dalam diam doa itu ditilam?
Getir begitu getar, payah patah pecah?

Ingatkah, kala rantau begitu igau?
Di bawah dengkur itu, siapa yang gelusurkan belai?
Di kerikil jalan, siapa yang melempang tubuhnya?

Apa arti mata yang darah?
Jika kelak jemari sendiri 
yang gerumbulkan belukar di sajadah 
Lalu kening pun malas bertakzim rebah

Sabtu, 02 April 2011

MENGENAI LELAKI AKHIR CAWU



Di meja biru persegi itu, kita akan duduk bersisian.  Setelah kau renggangkan sedikit sebuah kursi rotan, lalu mendudukkan tubuhku yang mendongak menghadap meja.

Seorang pelayan, bujang berumur tanggung, sekenanya menggelusurkan dua gelas besar teh hambar. Sejujurnya, aku benci sekali rasa pahitnya.


Pelayan itu mendekatkan wajah datarnya padamu. Kalian bercakap-cakap sebentar. Dan pastilah bukan mengenai alasan macam apa yang menyurupi Mike Tyson untuk mengerat kuping musuh beratnya, Evander Hollyfield di ronde permulaan, dua pekan lalu. Karena bujang tanggung itu lantas menegakkan dua jari kepada karibnya_ bujang tambun yang sedang berdiri menghadap semacam plat besi sebesar tampah beras, namun hampir datar berlumur minyak mendidih.

Bujang tambun itu pun  memecah dua butir telur itik diatas adonan yang telah ditepuknya setipis daun keladi. Dan cekat ia tilam telur itu kedalam adonan menjadi empat sama sisi, dengan aroma khas yang mengeriapkan penjuru bilik lambung.

Ingin kuutarakan sesuatu padamu. Namun buru-buru redup mata itu mencegah.