Kamis, 26 April 2018

Pelan-pelan, Raj


Kabut terakhir mengenai bukitan
Tentang menentang sebalik hari hatimu yang terjal
Dengan pucuk puncak hijaunya yang janggal
Entah untuk menengadahkan
Risalah salah yang mana

Yang menyangkalmu dengan wewarnaan
Supaya putih hitam tak berkerisauan
Meski raga telah meninggalkan
Jiwa terbujur mudah saja biarkan

Nanti akan tiba masanya sendiri
Nanti akan jatuh waktunya berbilang
Katakanlah dengan tak lekas
Sebab segala yang berbekas
Akan mengakanmu
Berlinang liang

Wajah

Mereka yang menyusahhati akan selalu giat menggurat panjat puisimu dari pangkal akanan hingga puncak tunas. Matahari bahasa bersangga. Membiarkan bulir-bulirnya bubar. Membusung tanah. Menyuburkan rasa lapar bagi lidah yang hanya memburu luluhan kalis kata. Namun tiada yang terpikat oleh keranjang lambung selain cercah anggur hitam. Oleh kerinjang lambang yang tak berjumpa titian. Suwung rerangkai aksara belaka.

Kecuali bagi kedua mata ini. Telanjur basah oleh selekeh getah madah pujangga. Melengangkan pematang pandang. Menggembalakan pejam sunyi dari rumputan musykil hingga mantra bungsu. Di lereng renungmu. Aku tanah pekat yang terlalu jerih kepada merpati hijau lumut yang seketika melewat. Seperti taring angin yang membimbing domba-domba lesih. Tapi kegirisanku jangan kau sembelih. Biar menjalar sepanjang lampai langkahmu. Biar liat wajahku ada untuk menyerupai wajahmu.

Ke menara putih. Rima larikmu menjenjang labur. Sebab hanya pada ketinggian itu mereka yang menentangmu akan bermata satu. Meski jua terpandang kau yang dua. Saling berseteru antara sang pelubang hujan dengan pelukis berkuas gerimis. Di jalan bebatu. Tiga kereta kredo ditarik kuda perang. Seperangkat muslihat penjerat. Memburumu hingga pejal ajal.

Seluruh jalan ucap yang kau tempuh telah tercerap sebelumnya dalam lembaran rajah juru peta. Hingga tiada pukau bagi mereka sembunyi ekor rubah yang kau awetkan dalam bait paling piuh. Atau bunyi jantung hati kau hanyutkan ke dada Tiberias. Lamun kau tak berguncang arang belati.  Sebab tubuh kidalmu lebih layuh kepada kanan sejati.

Maka dari retakan ubunku. Bersilang selimpat kurakitkan rambut galah. Jerambah yang menjangkau-jangkau tepian makna. Biar nanti pada hari yang telah ditentukan. Kau bisa menghambur dari kitabmu yang mana saja. Munggah titah. Bersama kasutmu. Sudah kupersiapkan segala. Supaya di tiang persembahan itu. Kaum yang menyelisihimu terpedaya. Supaya mengaduh gaduh tubuh mereka penuh gelegak mangsi yang bukan majasi.

Sementara wajahmu ada untuk mengusap wajahku.