GERIMIS
Langit putih pekat semakin asyik melukis lingkaran-lingkaran kecil yang menggenangi tubuh aspal. Teras-teras toko dijejali para pengendara motor dan pejalan kaki yang menepi, berdiri menanti sambil berdekap mencegah dingin memeluk tubuh mereka. Plang-plang reklame berdiri telanjang dibawah siraman hujan. Salah sebuahnya bergambar seorang gadis cantik, menatap mereka dari sela-sela tirai gerimis. Alunan suara dari sebuah speaker lapak CD bajakan seakan tak mau kalah dengan suara sayup guruh dan kaki gerimis yang berkecipak.
Aku duduk dengan kepala sedikit pusing di teras rumahMu. Titik-titik gerimis yang singgah di rambutku seakan menjumput segenggam rambut dikepala, pusing. Kuatur nafas yang terengah setelah menyeberangi lapangan pelataran sembari menghapus basah di baju dengan telapak tangan seadanya. Kudongakkan wajah ke langit. Ah, masih akan lama.
Lalu lalang lampu mobil berpendar redup dan basah di kejauhan, didekap oleh dingin yang semakin menjadi-jadi.
“Hei, bukankah aku yang senantiasa kau rindukan!” sebulir gerimis menyapaku.
“Ya, aku senang kau datang lagi. Dan masih tetap sama seperti dulu! Tapi kenapa kau jarang singgah lagi ke kotaku?”
“Angin timur-lah yang patut kau tanyakan, ia yang menggesaku terlampau cepat” gerimis berkilah
“Hmmm, lihatlah! Embun di kaca jendela itu. Kau semakin mahir melukis ya!” aku tersenyum.
Lalu kami pun bercengkrama. Ah gerimis, teman lamaku. Entah sejak kapan aku begitu mencitaimu. Juga pada semua yang datang membersamaimu. Pada langit yang kabut, pada guruh yang bergulung, pada ricik yang dingin, pada para pejalan sayu dibawah atap toko, pada pepohonan menggelayut kuyu, pada bebatuan gelap basah, dan pada embun di dinding kaca hatiku.