Jumat, 29 Oktober 2010

GERIMIS
Langit putih pekat  semakin asyik melukis lingkaran-lingkaran kecil yang menggenangi tubuh aspal. Teras-teras toko dijejali para pengendara motor dan pejalan kaki yang menepi, berdiri menanti sambil berdekap mencegah dingin memeluk tubuh mereka. Plang-plang reklame berdiri telanjang dibawah siraman hujan. Salah sebuahnya bergambar seorang gadis cantik, menatap mereka dari sela-sela tirai gerimis. Alunan suara dari sebuah speaker lapak CD bajakan seakan tak mau kalah dengan suara sayup guruh dan kaki gerimis yang berkecipak.
Aku duduk dengan kepala sedikit pusing di teras rumahMu. Titik-titik gerimis yang singgah di rambutku  seakan menjumput segenggam rambut dikepala, pusing. Kuatur nafas yang terengah setelah menyeberangi lapangan pelataran sembari menghapus basah di baju dengan telapak tangan seadanya. Kudongakkan wajah ke langit. Ah, masih akan lama.
Lalu lalang lampu mobil berpendar redup dan basah di kejauhan, didekap oleh dingin yang semakin menjadi-jadi.
“Hei, bukankah aku yang senantiasa kau rindukan!” sebulir gerimis menyapaku.
“Ya, aku senang kau datang lagi. Dan masih tetap sama seperti dulu! Tapi kenapa kau jarang singgah lagi ke kotaku?”
“Angin timur-lah yang patut kau tanyakan, ia yang menggesaku terlampau cepat” gerimis berkilah
“Hmmm, lihatlah! Embun di kaca jendela itu. Kau semakin mahir melukis ya!” aku tersenyum.

Lalu kami pun bercengkrama. Ah gerimis, teman lamaku. Entah sejak kapan aku begitu mencitaimu. Juga pada semua yang datang membersamaimu. Pada langit yang kabut, pada guruh yang bergulung, pada ricik yang dingin, pada para pejalan sayu dibawah atap toko, pada pepohonan menggelayut kuyu, pada bebatuan gelap basah, dan pada embun di dinding kaca hatiku.

LASTRI

“aduhhh sayang, kenapa lagi sih?”
“huuu hu hu…hik hikss”
“buka dulu pintunya dong, biar abang bisa ngomong!”
“huuuu huu huuu…”
“duuuh, kayak anak kecil aja dehh!”
“abaaaaaaang!!!”
“iya, iya, maap. Sekarang cerita dong. Apa yang harus abang lakuin!”
“hiks, hiks, Lastri!”
“ha? Lastri? Maksudnya?”
“Iya, Vina Boseeeen. Gak mau lagi denger nama itu. Di rumah, di tulisan-tulisan abang, di omongan-omongan abang, trus di berita-berita tentang abang,  pokoknya semua! Titik!”
“Ya Tuhan, maksudnya kamu cemburu, gitu.. hmmph ha ha ha ha!”
“abaaaaaaaaang!!! Huuuuuu huu huuuu!”
“eh eh, iya iya sayang. Oke, abang ngerti. Terus?”
“ya ituuu, pokoknya aku gak mau denger lagi!!!”
“hhhhffff… duh, kamu  berlebihan banget deh. Terus cerbung aku di koran gimana? Masih ada tujuh belas episode lagi tuh. Belum lagi antologi yang udah abang serahin ke si Angga buat naik cetak kamis depan, gak mungkin di cancel, ribet soalnya”
“ya udah, kan tinggal ganti aja pake nama lain, Tuminah kek!  Sarinah kek! Warsini, ato…”
“ya gak bisa segampang itu dong sayang…”
“Lagian abang demen banget sama nama Lastri itu, kayak gak ada nama laen aja! Jangan-jangan emang bener ya?! Lastri itu sebenarnyaa, sebenarnyaa.., abaaaaang, huuuu!”
“Ya ampun, kamu kok mikirnya jelek mulu’ sih?! Abang tuh rasanya nyaman aja kalo pake nama itu. Nulis  rasanya jadi lancar banget. Lah wong penulis lain juga banyak yang kayak gitu kok. Kamu tau Sukab kan? Tokohnya si Seno, itung aja cerpennya yang pake nama Sukab itu. Banyak banget kan?! Lebih banyak dari abang malahan!”
“Au’ ah, pokoknya aku gak mau tau! Abang gak mikirin perasaan Vina!”
“Oke, oke, sekarang abang nurut aja, gak usah pake acara ngambek-ngambek beginian ah! Sekarang semua tulisan, buku-buku, sama yang lainnya abang gak akan pake lagi nama Lastri. Sebenernya sih suliiiit banget! Tapi demi Sayang, apa sih yang enggak, hi hi…”
“Abang janji ya!!! Awas loh kalo bo’ong!”
“iya, iya, janji. Sekarang buka dong pintunya sayang! Hari udah siang nih, yuk abang bantuin masak!”
“ho’oh, bentar. Vina mau beresin muka’ dulu’…”
TOK TOK TOK…
“eh kayaknya ada orang tuh!”
“eh iya Bang! Tolong bukain pintunya ya! Vina kemaren udah pesen sama Bu’ Asti buat nyariin orang yang bisa bantu-bantu Vina. Mungkin itu orangnya”
“Ooo, pembantu ya? Oke deh cantik!”

KREEEKKK…
“Permisi pak!”
“ya!?”
“Saya tadi disuruh bu’ Asti kesini!”
“Ooo, ya, ya! Silahkan masuk dulu, Istri saya lagi di kamar, bentar lagi datang. Ngomong-ngomong nama adek siapa ya?”
“Saya Lastri pak!”

Iqbal, Cokelat yang Terbungkus


“Panas ini begitu pedih,” katamu. Kita sama-sama melumer, bergelut dengan peristiwa-peristiwa yang encer. Lunak jiwa kita entah oleh air mata, entah pula air mata siapa. Kadang kepedihanku yang kau tangiskan. Kadang didih di dadamu yang aku rintihkan. Di lumer ini kita masih dekat, menarik-menarik cemas tak ingin berlepas.

Lalu entah tangan siapa, atau mungkin itu sayap-sayap doa kita yang akhirnya mengirim teduh hujan, dan dingin ruang-ruang batin. Kita makin erat. Kembali merasakan keceriaan yang padat, kerenyahan padu dalam beku. entah siapa yang mendekap tawa. Kadang kebahagiaanku kau yang ceriakan. Kadang peroleh manismu yang aku senyumkan. 

Sahabat, kau aku jiwa-jiwa yang masak dari tungku. Padu rekat lelah beku bungkus terbuka dalam warna mata jiwa yang sama.

Hingga suatu saat nanti, ketika kita habis di geraham usia. Bungkus itu akan kekal selamanya. Di dasarnya iqbal menulis. “Persahabatan adalah masuk syurga tapi tak sendirian.”

Kamis, 28 Oktober 2010

Kau Bilang Aku


Kau bilang langit tak mendengar, aku bilang ulurkan tanganmu, kau berdiri tepat di lubang telinganya!

Kau bilang cintaku pahit, aku bilang gunakan seluruh lidahmu, jangan pangkalnya saja.

Kau bilang esok aku tiada, aku bilang tundalah, sajadahku masih basah.

Kau bilang hidup itu membosankan, aku bilang menggelenglah sesekali, ke kiri dan ke kanan.

Kau bilang cintaku berbahaya, aku bilang salah sendiri menghilangkan peta ranjaunya.

Kau bilang pusing harga-harga naik, aku bilang cuci mukamu dan berdandanlah lebih cantik.

Kau bilang uangku kurang, aku bilang bukankah jauh dekat sama saja, apa bedanya neraka syurga?

Kau bilang aku cerewet, aku bilang mengertilah, waktuku tinggal sedikit.

Kau bilang tak ada yang perlu dicemaskan, aku bilang marilah menengadahkan tangan.

Kau bilang akan pergi. Aku bilang bergegaslah, sebelum tiba di kota tujuanmu, aku akan telah sampai  di hatimu.

Kau bilang akan mengurus SIM. Aku bilang, jangan libatkan pihak ketiga!

Kau bilang aku indah. Aku bilang berhentilah bercermin di mataku.

Kau bilang ingin b3rt4u84t. Aku bilang tekan tombol num lock!

Kau bilang di luar hujan begitu deras. Aku bilang hanya dengan menangis kau akan tetap aman di mataku.

Kau bilang begitu menderita. Aku bilang tak ada kata terlambat, cintai aku sekarang juga.

Selasa, 26 Oktober 2010

Quote Quat



Katakan pada hatimu, rasa takut akan penderitaan justru lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri. Tak ada hati yang menderita saat mengejar impian-impiannya, sebab setiap detik pencarian itu bisa diibaratkan pertemuan kembali dengan Tuhan dan keabadian. (P. Coelho)
Ah, begitulah, impian itu tumbuh dalam beranda harapan. Dan setelah sekian alasan kesibukan yang entah, kami akan memulai lagi, menghadirkanmu seikat kalimat dalam 30 hari menulis blog. Semangat!! :)