Dua Sendok Gula
Ketika beranjak punggung pagi, mengapa sunyi masih memberiku segelas nyeri, sedang namamu tak kunjung usai kuhafalkan? Manis lidahku, manisnya kelu. Umpama selungsur ijab, yang gelepar-menggelepar cuma di tenggorokan
Lima Kuntum Melati
Katanya, Puan. Bila bau jejakmu seringkali tercium dalam tidur. Maka bulan-bulan ranum adalah selekat dua katup mata nan pulas. Tapi padaku, mengapa matahari tetap menampari pipi, sembari menuangi cahaya perih ke bola mataku lagi. Oh, inikah pagi?
Setuang Banyu, Hangat Sekuku
Maka berilah ia sekedar tanda, kerlip kecil di silap punggung bukit rembulan. Selarik aba penggesa rentak kaki-kaki kuda. Yang segera mengibas sayapnya lepas; kuburu kau sampai puas!
Segelas Matahari Bulat Sempurna
Lalu marilah, kita khatamkan segala. Di sebuah padang lembut bulu mata. Di langit bersih, licin kerudung Turki. Pada suatu ketika yang mungkin. Raya kupu-kupu dadaku mengepak bersua telaga; memecah purba haus di suatu cuaca yang sempurna.