Titik-titik salju jatuh bertabur di tubuh kota.
Memutihkan atap-atap rumah yang tinggi. Menjadikannya seperti kepala para
manula yang tertunduk dingin, putih dan renta. Padahal ini musim dingin yang
biasa, salju bertumpuk dan perlahan mencair di
mana saja, tetapi penduduk kota masih saja bertahan di depan perapian.
Orang-orang dewasa menenggak anggur, bernyanyi dan melanturkan cerita-cerita
yang membosankan.
Seorang gadis kecil berhasil menarik diri.
Menyelinap dan keluar dengan balutan baju, syal dan topi tenunan ibunya yang tebal dan hangat. Hanya bulat wajahnya yang langsung bersentuhan dengan hawa dingin kota. Namun
senyum yang cerah justru terkembang di wajah itu seraya dua kakinya saling
berpacu, melompat-lompat, berjalan zig-zag, membuat jejak-jejak di atas
hamparan putih salju yang perlahan mencair.
Gedung-gedung yang
menjulang memberi jarak selebar tiga hingga lima kali regangan tanganya untuk
leluasa menjelajah kota. Ke tempat-tempat yang belum pernah ia tapaki. Yang di
hari biasa jalanan itu akan penuh lalu-lalang orang dewasa yang berjalan
tergesa.
Jantungnya berdegup –berdendang- riang sekali.
Matanya yang biru dan kecil berputar kesana-kemari. Mata yang kini serasa memiliki seluruh kota.