seno
Seorang teman masa kecil kembali datang. Bertubuh setinggi
pinggang. Tangannya tak menjangkau ujung kemeja. Panjang kali memanjang. Lengan
yang selalu basah. Ujungnya berpilin asin dan berbau biru. Beberapa lumba-lumba
berpacu. Membelah kesedihan yang pura-pura mengapung sebagai ganggang. Udara
mekar. Jadi kiambang awan. Di bawah keteduhdukaannya para penduduk menyeberangi
kali. Seorang perempuan remaja menahan telapak kakinya yang telanjang lebih
lama. Kali bening itu tetap mengalir selayak biasa. Seolah tak terjadi apa-apa.
Dengan tubuh sekecil itu aku bebas terjun ke pangkal
lengannya tanpa takut tenggelam. Lalu ia akan ikut menyelam. Ia memang suka
menyelami dirinya sendiri. Tanpa bernafaspun takkan pernah takut mati.
Aku. Kami. Sepasang jarum jeram. Berkelindan dari hulu hingga
muara tanjung harapan. Berdeburdebaran hilir mudik tiada berhenti. Berlumba dengan
suara. Hingga suara lelah payah dan mati. Hingga kami tak bisa mendengarkan
telinga sendiri.
Malamnya kami bermimpi di peraduan masing-masing. Sampai pagi menjelang. Kali itu tidak sebening lagi. Di salah satu tepi. Seorang perempuan
remaja menahan telapak kakinya yang telanjang lebih lama. Ragu-ragu menyeberanginya.