Pagi ini aku sudah berperan sebagai
kompor, yang menjilati jerang punggung panci. Tapi kau belum juga terlihat,
sobat. Biasanya saban pagi kedatanganmu senantiasa lebih dulu.
Di dapur ini hanya ada aku dan
Inang yang hati-hati menyunting telinga panci dari kepalaku. Dengan mata
sepuhnya yang picing diusap asap, ia tuang didih itu kedalam gelas belimbing
dengan bubuk kopi dan satu setengah ciduk pasir tebu didasarnya.
Cangkir pun bergolak. Cairan
panas hitam kental menjalari rongga badannya. Layaknya perut gunung yang hendak
muntah. Tentulah dalam hal itu kau begitu sakti, hai gelas belimbing. Atau
memang sudah kepandaianmu meredam jerit sakit yang sesungguhnya telah
dinalurikan pada tiap mahkluk.
Inang kemudian mengudak perut si
gelas belimbing. Air berpusar, uap harum berpilin-pilin. Tiba-tiba “wuuuisssh!”
sebuah hembusan menyibak uap lalu tercebur larut kedalam gelas.
Ah, itu pasti kau! Kau yang
selalu tanpa kata, kau yang selalu tabir, kau yang hadirnya selalu menjadi penantian
bagiku. Ternyata peranmu hari ini adalah sebagai segelas kopi manis. Baiklah,
apapun itu aku bahagia. Sangat bahagia, dan senantiasa akan begitu adanya.