Kamis, 16 Desember 2010

KISAH KEDAI

Pagi ini aku sudah berperan sebagai kompor, yang menjilati jerang punggung panci. Tapi kau belum juga terlihat, sobat. Biasanya saban pagi kedatanganmu senantiasa lebih dulu.

Di dapur ini hanya ada aku dan Inang yang hati-hati menyunting telinga panci dari kepalaku. Dengan mata sepuhnya yang picing diusap asap, ia tuang didih itu kedalam gelas belimbing dengan bubuk kopi dan satu setengah ciduk pasir tebu didasarnya.

Cangkir pun bergolak. Cairan panas hitam kental menjalari rongga badannya. Layaknya perut gunung yang hendak muntah. Tentulah dalam hal itu kau begitu sakti, hai gelas belimbing. Atau memang sudah kepandaianmu meredam jerit sakit yang sesungguhnya telah dinalurikan pada tiap mahkluk.

Inang kemudian mengudak perut si gelas belimbing. Air berpusar, uap harum berpilin-pilin. Tiba-tiba “wuuuisssh!” sebuah hembusan menyibak uap lalu tercebur larut kedalam gelas.
Ah, itu pasti kau! Kau yang selalu tanpa kata, kau yang selalu tabir, kau yang hadirnya selalu menjadi penantian bagiku. Ternyata peranmu hari ini adalah sebagai segelas kopi manis. Baiklah, apapun itu aku bahagia. Sangat bahagia, dan senantiasa akan begitu adanya.


Meski katakanlah kau yang selalu jadi primadona di kedai ini. Terkadang kau berperan sebagai kue warna-warni, secangkir teh, kopi atau sebungkus manisan. Singkatnya segala yang dapat di lesakkan kedalam lambung dan membuat ketagihan, sehingga kedai ini tak pernah dihinggapi sepi. Seperti beberapa kuli dan pedagang yang sedang duduk itu, menanti pembuluh-pembuluh darahnya dialiri oleh wujud harummu itu.

Terutama anak-anak sekolah. Tangan-tangan terdidik mereka ramai menjamahimu saban pulang sekolah, seperti tak ada lagi hari esok ketika mereka melesakkanmu kedalam mulutnya. Dan aku tahu, selalu ada beberapa potong tubuhmu yang tak mereka tunaikan rupiahnya.

Begitulah sehari-hari lakon kita di panggung kedai ini, sobat. Kau seorang primadona, dan aku sang juru panggung, atau mungkin panggung itu sendiri. Sebab akulah yang biasanya bersilih ganti menjadi perangkat kedai, seperti bangku kayu, stoples, atau juga seng kedai berkarat.
Tapi aku tak mau bermuluk-muluk. Tentunya Tuhan telah berpikir panjang dalam urusan ini, dan kita hanya harus bersyukur agar Tuhan selalu tersenyum pada kita. Betul kan?!
***

Pada suatu hari. Ketika pagi mulai angkat kaki dari wajah kota kau tak jua muncul. Ada yang hilang rasanya. Seperti  bisul di rongga hidung, tak terlihat namun sangat terasa. Kulihat tumpukan penganan dan cangkir-cangkir kopi bagai tak bergairah tanpamu. Kedai ini terlihat kuyu, ditertawakan barisan gedung-gedung proyek di seberang jalan itu. Dan para kuli tampak tak berniat mendudukkan lelahnya di bangku kedai seperti biasanya.

Oh, kasihan Inang malang yang tergugu. Biaya buku serta sumbangan ini itu Si Midin dan Si Utik_ anaknya tentu telah bertumpuk-tumpuk. Beberapa minggu ini mereka terus jadi buronan guru TU.

Alahai, belum lagi tuntas teka-teki ini diuraikan. Mesin-mesin raksasa yang biasanya dimain-mainkan para kuli proyek malah bertandang pula ke kedai. Apa mereka juga berniat minum kopi sambil mencicip kue apam. Ah, mana mungkin jika wajahnya sesangar dan seangkuh itu.
Disekitar mesin, para lelaki tegap berseragam hijau tahi kuda menenteng juluk bambu. Lengan mereka kekar dengan masing-masing sebuah lampu kecil berkelip di jidatnya. mereka semua begitu terburu-buru menuju kedai. Tampaknya lapar sekali, seperti hendak mengunyah batu sekalipun.

“Inaang, Inaaang!” aku berteriak parau.

Bujang-bujang macam apa itu, yang tak santun pada orang tua. Lelaki berseragam itu beramai-ramai menggoyangi tiang kedai yang berkereot. Sementara tubuhku yang hari ini berperan sebagai kaleng kerupuk telah tertindih di bawah sebuah papan yang dulunya sebuah meja.

Aku tak mengerti lagi, dalam waktu sekejap segalanya asap, segalanya tumbang, segalanya air mata. Dari balik tindihan meja kulihat diujung sana Inangku bersama para Inang lainnya berbagi air mata. Sementara lelaki berseragam makin membabi buta. Dan dalam sekisap kedai kami telah rata tanah, berikut juga segala kenangan didalamnya.

Setelah puas, lelaki berseragam berhenti dengan napas tersengal dan mata menyala. Seorang lelaki yang lebih tegap kokoh serta mengenakan seragam yang lebih tua tahi kudanya menyibak kepulan asap, menggenggam sebuah kotak kecil yang dapat memain-mainkan nyala di dada anak buahnya  tadi. Ia terkekeh menyaksikan kedai-kedai lainnya telah tengkurap rata tanah, sembari menghembuskan asap kretek dari balik barisan kuning giginya.

Ugghh! Kerongkonganku seperti tercekat, layaknya dimuati berkubik pasir basah. Perasaanku runtuh remah, seperti rupa kerupuk-kerupuk yang kukandung. Ternyata itu kau! Kau, sobat! Aku tak habis pikir. Semenjak kapan? Dimana nuranimu ketika kau berperan sebagai sebatang rokok dalam seringai  angkuh Lelaki berseragam yang lebih tua warna tahi kudanya itu.




0 komentar:

Posting Komentar