Pagi ini aku sudah berperan sebagai
kompor, yang menjilati jerang punggung panci. Tapi kau belum juga terlihat,
sobat. Biasanya saban pagi kedatanganmu senantiasa lebih dulu.
Di dapur ini hanya ada aku dan
Inang yang hati-hati menyunting telinga panci dari kepalaku. Dengan mata
sepuhnya yang picing diusap asap, ia tuang didih itu kedalam gelas belimbing
dengan bubuk kopi dan satu setengah ciduk pasir tebu didasarnya.
Cangkir pun bergolak. Cairan
panas hitam kental menjalari rongga badannya. Layaknya perut gunung yang hendak
muntah. Tentulah dalam hal itu kau begitu sakti, hai gelas belimbing. Atau
memang sudah kepandaianmu meredam jerit sakit yang sesungguhnya telah
dinalurikan pada tiap mahkluk.
Inang kemudian mengudak perut si
gelas belimbing. Air berpusar, uap harum berpilin-pilin. Tiba-tiba “wuuuisssh!”
sebuah hembusan menyibak uap lalu tercebur larut kedalam gelas.
Ah, itu pasti kau! Kau yang
selalu tanpa kata, kau yang selalu tabir, kau yang hadirnya selalu menjadi penantian
bagiku. Ternyata peranmu hari ini adalah sebagai segelas kopi manis. Baiklah,
apapun itu aku bahagia. Sangat bahagia, dan senantiasa akan begitu adanya.
Meski katakanlah kau yang selalu
jadi primadona di kedai ini. Terkadang kau berperan sebagai kue warna-warni, secangkir
teh, kopi atau sebungkus manisan. Singkatnya segala yang dapat di lesakkan kedalam
lambung dan membuat ketagihan, sehingga kedai ini tak pernah dihinggapi sepi.
Seperti beberapa kuli dan pedagang yang sedang duduk itu, menanti
pembuluh-pembuluh darahnya dialiri oleh wujud harummu itu.
Terutama anak-anak sekolah.
Tangan-tangan terdidik mereka ramai menjamahimu saban pulang sekolah, seperti
tak ada lagi hari esok ketika mereka melesakkanmu kedalam mulutnya. Dan aku
tahu, selalu ada beberapa potong tubuhmu yang tak mereka tunaikan rupiahnya.
Begitulah sehari-hari lakon kita
di panggung kedai ini, sobat. Kau seorang primadona, dan aku sang juru
panggung, atau mungkin panggung itu sendiri. Sebab akulah yang biasanya bersilih
ganti menjadi perangkat kedai, seperti bangku kayu, stoples, atau juga seng
kedai berkarat.
Tapi aku tak mau bermuluk-muluk.
Tentunya Tuhan telah berpikir panjang dalam urusan ini, dan kita hanya harus
bersyukur agar Tuhan selalu tersenyum pada kita. Betul kan?!
***
Pada suatu hari. Ketika pagi
mulai angkat kaki dari wajah kota kau tak jua muncul. Ada yang hilang rasanya.
Seperti bisul di rongga hidung, tak terlihat
namun sangat terasa. Kulihat tumpukan penganan dan cangkir-cangkir kopi bagai
tak bergairah tanpamu. Kedai ini terlihat kuyu, ditertawakan barisan
gedung-gedung proyek di seberang jalan itu. Dan para kuli tampak tak berniat
mendudukkan lelahnya di bangku kedai seperti biasanya.
Oh, kasihan Inang malang yang
tergugu. Biaya buku serta sumbangan ini itu Si Midin dan Si Utik_ anaknya tentu
telah bertumpuk-tumpuk. Beberapa minggu ini mereka terus jadi buronan guru TU.
Alahai, belum lagi tuntas
teka-teki ini diuraikan. Mesin-mesin raksasa yang biasanya dimain-mainkan para
kuli proyek malah bertandang pula ke kedai. Apa mereka juga berniat minum kopi
sambil mencicip kue apam. Ah, mana mungkin jika wajahnya sesangar dan seangkuh
itu.
Disekitar mesin, para lelaki
tegap berseragam hijau tahi kuda menenteng juluk bambu. Lengan mereka kekar
dengan masing-masing sebuah lampu kecil berkelip di jidatnya. mereka semua begitu
terburu-buru menuju kedai. Tampaknya lapar sekali, seperti hendak mengunyah
batu sekalipun.
“Inaang, Inaaang!” aku berteriak
parau.
Bujang-bujang macam apa itu, yang
tak santun pada orang tua. Lelaki berseragam itu beramai-ramai menggoyangi
tiang kedai yang berkereot. Sementara tubuhku yang hari ini berperan sebagai kaleng
kerupuk telah tertindih di bawah sebuah papan yang dulunya sebuah meja.
Aku tak mengerti lagi, dalam
waktu sekejap segalanya asap, segalanya tumbang, segalanya air mata. Dari balik
tindihan meja kulihat diujung sana Inangku bersama para Inang lainnya berbagi
air mata. Sementara lelaki berseragam makin membabi buta. Dan dalam sekisap kedai
kami telah rata tanah, berikut juga segala kenangan didalamnya.
Setelah puas, lelaki berseragam
berhenti dengan napas tersengal dan mata menyala. Seorang lelaki yang lebih
tegap kokoh serta mengenakan seragam yang lebih tua tahi kudanya menyibak
kepulan asap, menggenggam sebuah kotak kecil yang dapat memain-mainkan nyala di
dada anak buahnya tadi. Ia terkekeh
menyaksikan kedai-kedai lainnya telah tengkurap rata tanah, sembari
menghembuskan asap kretek dari balik barisan kuning giginya.
Ugghh! Kerongkonganku seperti
tercekat, layaknya dimuati berkubik pasir basah. Perasaanku runtuh remah,
seperti rupa kerupuk-kerupuk yang kukandung. Ternyata itu kau! Kau, sobat! Aku
tak habis pikir. Semenjak kapan? Dimana nuranimu ketika kau berperan sebagai
sebatang rokok dalam seringai angkuh Lelaki
berseragam yang lebih tua warna tahi kudanya itu.
0 komentar:
Posting Komentar