Muhyi
Ia hanya ingin melompat hingga ujung kalimat.
Karena tak bisa, dibuatnya huruf-huruf sebagai pijakan. Setelah titik. Kehampaan
maha luas.
Agna
Sebaris puisi yang kita tulis, barangkali
hanyalah setitik interupsi. Semesta berpuisi tak kenal henti.
Muhyi
Semakin berpuisi, semakin lekas kita pada
kelelahan diri. Dia jua yang bertengger angkuh di ujung sana.
Agna
Dia. memang hanya Dia yang pantas angkuh
sendiri. Kita bisa apa, selain sebatas menulis diari.
Muhyi
Jarum terus berputar. Mencari sudut paling
tepat. Tajam paling kelam. Untuk suatu saat melompat, dan bermain2 dengan urat
leher kita.
Agna
jarum masih berputar. ah, mungkin saja mereka
telah hilang sabar. bosan, melihat kita asik mengeluh dan sibuk menawar.
Muhyi
Aku menawar kelam. Namun malam memecah
lampion. Seperti Ibrahim aku terbakar. Seperti domba yang menggantikan aku
menggelepar.
>> Nuhun Kang @agnasky, kubayangkan ciremai yang menjulang rimbun, kesejukannya karena tasbih tak henti dari setiap urat daunnya....