Di kebun itu, atau mungkin bukan benar-benar kebun. Melainkan hanya serupa selemparan tanah teduh yang diputari pepohonan karet, batang salak, sedikit semak dan batang sirih yang merayapi pepohonan besar.
Jari-jari matahari membelai lembut dedaunan yang menyala hijau. Oh, ini musim kawin tupai rupanya! Kudengar kerukut suara mamalia lincah itu melompat dari dahan ke dahan. Berkejar-kejaran seperti empu-empu mandraguna yang menguasai Aji Sambar Angin.
“Perhatikan!” Ayah memungkas perhatianku.
Lalu kami khusyuk kembali di depan dua gundukan tanah berbatu nisan, yang ditatakan bebatuan gunung diatasnya.
“Yang kanan ini, Opungmu! Yang kiri ini Udamu! Kau dengar?”
Aku menangguk, walau telah kumafhumi jauh sebelum Ayah berkata demikian. Cerita yang sering ia ulang-ulang saban mati lampu.
Opung itu, sebutan kepada kakek nenekmu bila kau berdarah batak, Teman! Ataupun separuh batak sepertiku, tak masalah. Opung Doli untuk yang laki-laki, Opung Boru untuk yang perempuan.
Opung Doli-ku ini, tak pernah kujumpai wujudnya, sebab jauh sebelum aku lahir ia pulang ke kampung asal terlebih dulu. Sehingga Ayah seringkali menceritakan kisahnya dengan nada suara bergetar akibat rindu.
Ayah biasa memulai cerita mengenai Opung yang dimulakan dari sebuah masa, saat ketika antek-antek komunis menyurupi desa hingga ramai-ramai masyarakat yang diperkosa pemahamannya berbondong-bondong menurut serta. Membawa cangkul, celurit, atau benda-benda yang biasa mereka bawa ke sawah, yang mendadak mereka jadikan alat pencoleng nyawa seseorang. Atau juga sekelompok orang.
Dan cerita mengenai telinga orang kampung yang tak setuju atau berseberangan dengan antek-antek itu lalu dijadikan bahan sop, tak lagi membuat Ayah bergidik karena telah terbiasa mendengarnya. Ya, sop!
Nama kampung Ayah ialah Hutagodang, yang berarti Kampung Besar. Salah satu kampung yang terletak di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Memang kampung itu besar adanya. Pernah suatu kali aku diajak menyuruk kedalam hutannya yang lebat. Mencari Tarutung atau durian dengan jalan dua jam mendaki bukit terjal. Dan sampai diatas mataku lepas memandang betapa kampung itu seperti hamparan hijau luas yang ditebarkan dari atas langit.
Opung Doli-ku itu, seorang kepala desa yang amat cerdas, bijak, dan simpatik. Uang, beras, pakaian di rumahnya yang sederhana tak pernah berat ia lepaskan kepada rakyatnya yang membutuhkan. Hingga tak heran, jika ada yang sedang kesusahan, rumah Opunglah yang menjadi rujukan atas pemecahan masalah itu.
Ah, ini dia. Cerita yang masih membuat Ayah sering menegak bulu kuduk. Ketika suatu hari datang seorang pengemis kumal ke rumah, setelah sebelumnya melunta-lunta di rumah penduduk lain dengan hasil yang nihil. Opung segera saja mentitah Ayah untuk memenuhi hajat pengemis itu dengan sempurna. Uang, makanan dan lain-lain segera Ayah siapkan.
Namun ketika Ayah yang waktu itu masih berumur belasan tahun sampai di teras depan, pengemis itu lenyap. Sama sekali lenyap. Untuk dikejar pun ia telah sebenar-benarnya luput. Dan kira-kira seminggu setelah kejadian itu, Hutagodang dilanda banjir. Rumah-rumah penduduk disusupi air kotor yang merepotkan. Dan tahukah, cuma rumah Opung yang sederhana itu yang tak terimbas banjir. Kalis!
Aku kembali memperhatikan Ayah yang sedang khusyuk di depan dua makam itu. Sedang aku mendudukkan pinggulku yang masih sakit setelah dua hari dua malam berada di dalam bis ekonomi yang mempunyai nama seperti alat penjagal babi semi otomatis; Sibual-buali. Yang alang kepalang keras bangkunya.
Maka demi dua hari dua malam menyengsarakan lahir batin itu. Dan dua hari dua malam lagi yang sedang menunggu saat kepulangan aku dan Ayah ke Palembang nanti, ternyata alasan Ayah untuk kunjungan jauh ini ialah tentang mimpinya pada sebuah malam. Bahwa Ayah berjumpa dengan Opung Doli sedang melambaikan tangan kepadanya dari tangga sebuah pesawat. Sebelum akhirnya Opung masuk ke dalam pesawat itu, lalu membumbung tinggi, hilang ke langit lepas. Meninggalkan Ayah sendirian beserta airmata rindunya yang bercucuran.
0 komentar:
Posting Komentar