“Parmata begu! Iya, parmata begu anakmu itu, San!”
“Maksudnya?”
“Yaa, kau liat saja tingkahnya itu!”
Perkataan Todung kemarin masih
terngiang-ngiang di telingaku, ketika ia ikut memastikan dan menyaksikan Dian,
anakku yang baru genap berumur enam tahun itu asik bercanda ria dengan sesuatu
di kolong kursi ruang tamu rumah kami. Dan tak lama kemudian ia pun lari ke
bawah batang jambu air di halaman belakang rumah. Disana ia bercakap-cakap lagi
dengan sesuatu yang seolah-olah sedang menyantapi nasi yang ia bawa tadi.
***
“Ayah! belikan Boni baju baru
dong! Bajunya ini kotor banget, bau amis, banyak dalahnya!”
Hih, orang waras mana yang tak
bergidik mendengar perkataan seperti itu terlontar dari wajah polos seorang
gadis kecil berusia enam tahun. Namun mungkin karena bertahun-tahun aku telah
menyaksikan hal ini sampai akhirnya terbiasa, maka aku dapat mengambil sikap
yang sedikit wajar. Tak seperti istriku yang paling uring-uringan akan perihal
ini.
Berkali-kali ia memaksaku_ dan
tentunya aku pun harus mau_ untuk mengunjungi beberapa orang yang atas
rekomendasi tetangga dan teman kantornya berkompeten dalam bidang ini. Hingga
akhirnya phone book-ku ini penuh
dengan nomor kontak bermacam-macam orang pintar. Dari yang wajar sampai yang
aneh-aneh dan tak masuk akal syarat-syaratnya.
Bertahun-tahun melakoni kebingungan ini kami
pun letih, dan menerima keadaan ini dengan lapang dada. Biarlah, mungkin suatu
saat_ jika telah tiba kesadaran dari putriku sendiri mengenai perbedaannya itu.
Lalu dengan bijak ia akan mengambil sikap yang memang sudah sepantasnya ia
lakukan, hidup wajar seperti orang kebanyakan. Atau nanti mungkin malah ia
begitu asyik dengan perbedaannya itu, dan menjadikannya sebuah… ah, sudahlah.
Aku juga sengaja tak memberi tahu
ini kepada Amang dan Omak di kampung, agar keadaan tak menjadi lebih kusut
lagi. Ah tapi sialnya pula, bulan depan mereka akan berkunjung ke rumah kami.
Aku pun berpikir keras bagaimana menyembunyikan kelakuan ganjil Dian dari
mereka. Amaaaang tahee!!!
***
“Dian, nanti kan Opung mau datang, bisa nggak temen-temen Dian disuruh
keluar rumah dulu, seminggu aja ya, sayang ya!”
“Jangaaan, masa’ diusil sih! Ntar Ayah digigit temen-temen Dian loh, ihihihi…”
Ahhk… Tenggorokanku mendadak kering.
***
Suatu hari tugas dari kantor pun
datang mendadak. Aku ditugaskan mengurusi tetek bengek agenda pemasaran ke
kantor pusat lalu sekalian menemui klien di luar kota selama empat hari. Ahh!
Maka agar istriku tak begitu kerepotan
mengurus Dian, kuminta Bi Sarmi, yang terhitung masih memiliiki hubungan
saudara dengan keluarga istriku untuk menemani di rumah selama aku pergi. O ya,
kata istriku sewaktu kecil Bi Sarmi pun pernah memiliki keanehan seperti yang
dimiliki Dian. Hah, mudah-mudahan ia tak kerepotan mengurusi dua orang berperilaku
ganjil di rumah itu.
Keesokan hari, aku pun berangkat.
Kupeluk anak dan istriku dengan khidmat. Dadaku terasa berat, belum pernah terasa
yang seperti ini. dan tak lama kemudian Bi Sarmi pun datang membawa tas berisi
baju dan anaknya yang juga seumuran Dian. Aku juga berpamitan dengannya sembari
menyelipkan uang jajan pada Amar_ anaknya.
Di depan pintu halaman aku
melambaikan tangan, kupandangi keluargaku lekat-lekat, Dian melonjak-lonjak
meneriakkan sesuatu, kudengar itu sebuah boneka beruang cokelat yang dilihatnya
di televisi tempo hari. Senyumku kurekahkan sebahagia mungkin kepada mereka
yang berjejer di beranda, sebelum simpul senyumku mendadak lepas ketika
kupandang wajah Bi Sarmi yang juga berdiri di beranda.
***
“Meeer! Meeer! Merinaaaa! Kau liat dulu siaran ini. bener gak ini,
huuuu huuuu…”
“astaghfirullah… astaghfirullah…”
“Bunda, kenapa Bunda? Liat! Liat! Banyak temen Dian di kereta itu. Ih,
mereka pasti bandel. Liat keretanya jadi berantakan gitu tuh ihihihi…”
***
Ah, tak terasa, walaupun waktu
yang dijanjikan selama empat hari bertambah menjadi seminggu penuh namun
rasanya seperti sehari saja. Mungkin karena aku terlalu kangen pada keluarga.
Buru-buru aku menuju rumah sembari memeluk boneka beruang besar cokelat pesanan
Dian. Pasti ia senang sekali.
Setiba di rumah, ternyata sepi.
Kupanggil Merina, istriku. Nihil! Suara
Dian juga tak terdengar. Ku-check seisi
rumah namun sepi. Ah, rumah ini bagai dihuni angin saja. Lalu entah kenapa
perasaanku ini menuntunku pergi ke suatu tempat, aku begitu heran, tapi maklum
saja. Inilah mungkin yang dinamakan ikatan batin itu. Kadang-kadang hidup ini
tak melulu logika.
Sejam pun terasa semenit, dan
tiba-tiba aku telah berjalan di sebuah lorong panjang bertehel putih. Sepatuku
berkemeletuk di lantai pucat itu. Makin lama
langkahku semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat seperti sambaran
angin.
Ah, itu dia istri tercantik
sedunia, sedang bersama malaikat mungilku. Hatiku lega. Kudekati mereka.
“Sayaaaaaaaang!” teriakku sambil
merentangkan peluk di kedua tanganku, berharap pelukan mereka pun satu persatu
jatuh didalamnya”
Sunyi! Nihil! Mereka tak
mendengar. Masih sibuk mengerumuni sesuatu. Ah, dasar!
“Heiii, Sayang! Ayah pulang!”
Ulangku lagi lebih keras.
“Bunda, bunda! Ayah pulang! Ayah
pulang! Holeee!!!” Dian lantas bergegas berlari ke menyongsongku.
Namun, sekonyong-konyong Merina
menarik lengannya, kemudian mendekap Dian sambil menangis tersedu-sedu. Diikuti
Bi Sarmin yang juga mendekap mereka berdua. Ops, aku khilaf! Di ruangan itu
ternyata banyak orang-orang, yang juga menangis tak kalah hebat dari istriku
dan Bi sarmin.
“Bunda jahaaat, itu liat baju Ayah kucel! Ayok, ntal Dian bantu cuci! Banyak dalahnya!”
Istriku makin meraung, lalu
bangkit memeluk dan menciumi wajah seorang pria yang sedang terbujur kaku. Wah,
terang saja aku muntab. Apa-apan itu! Kudekati mereka dengan langkah tergesa.
Syuuut!
Hampir saja kuhardik pria itu.
Namun kuurungkan ketika kulihat wajahnya yang pucat pasi, setengah tubuhnya
terbungkus kain putih telah dirembesi darah segar, amis! Merina makin meraung,
sama seperti setiap orang di dalam kamar… kamar mayat yang baru kusadari itu.
Astaga pria yang Merina peluk itu… aku!?
0 komentar:
Posting Komentar