Sebab meneteskan airmata
Adalah separuh upaya
Menetaskan cinta
Dari cangkang kepedihannya….
Suara derit itu sungguh lemah sebenarnya. Tapi matanya mengatup kencang karenanya. Suara gesekan ujung kaki kursi dengan lantai kayu itu seperti tengah berupaya mewujudkan suara hatinya. Derit kecil namun terasa menggedor-gedor telinga, menjadi getaran yang makin menjalar ke sekujur tubuhnya.
Jika rindu adalah wilayah kekuasaan. Kini ia sedang benar-benar telah menginjak tapal batas. Seperti kaum yang terusir maka mulai hari ini ia sudah terhapus dari keberhakan merumahkan hatinya pada sebuah perkampungan rindu.
Lalu adakah salam perpisahan itu? Itulah yang hendak ia temui di tempat ini. Tempat disegerakannya sebuah pertemuan yang tak lain hanya menyegerakan perlamunan. Semesta pengandaian yang hanya terisi oleh beberapa butir debu cinta kasih dan sayang.
Dengan amat kaku tangannya mengulur ke gagang cangkir di atas meja. Beberapa saat kemudian dihirupnya secangkir hot chocolate itu dengan perlahan. Dari uap yang mengepul tipis itu sekelebat bayangan muncul dan makin mengentalkan wujud di hadapannya. “Ah jadi kau juga suka hot chocolate ya? hemm... kalau gitu kau termasuk orang paling beruntung di dunia karena bisa sampai di sini. Juara banget rasanya!” “Sebenarnya baru-baru ini saja, sebagai pelarian diri dari kopi.” “Pelarian yang tepat kalau begitu.”“Semoga.” “Diam sebentar...”
Sebuah lengan dengan kemeja panjang tergulung hingga siku terangkat menjulur, selembar tissue dalam genggamannya mengarah ke sudut bibirnya. Namun ketika tepat syaraf yang berada di sana akan merasakan tekstur lembut lembaran tissue, tangan itu tiba-tiba menghilang oleh getaran di meja.
BOARDING 16.30. Reminder di telefon genggamnya menyala.
Perempuan itu tergeragap. Buku catatan dan pena, serakan notes dan sebuah amplop berisi tiket pesawat di meja dimasukkan dengan cepat ke tas jinjingnya. Sebelum beranjak tanganya yang ramping sempat menarik beberapa lembar tissue. Sambil berlalu diusapnya sudut bibirnya berkali-kali. Tak ada bekas noda sedikitpun.
Di dalam mobil digunakannya lagi tissue itu untuk mengusap wajahnya. Kali ini lembar-lembar putih tipis itu mengkerut menanggung basah.
*****
“Apa ia benar-benar mencintaiku?”
“Sangat!”
“Haha.. bercanda kau..”
“Terserah kau lah”
“Darimana kau tahu?”
“Dia sahabat terbaikku.”
“Oh, jadi bukan aku nih ya…”
“…..”
“Kau tak pakai kaca mata lagi? Oh ya ya ya kontak lens.”
“Baru seminggu ini. Tapi capek sebenarnya. Kayak kelilipan rasanya.”
“Haha… tapi kau sangat cantik dengan warna biru itu. Matamu jadi seperti laut.”
“Gombal kau, pergi sana.”
“Eits laporan bulananku gimana?”
“Beres, ini aku perbaiki separuh jalan.”
“Sip, oh ya kemarin aku dipanggil Pak Direktur, ia puas sama presentasi-presentasiku dan emm katanya sih aku akan naik jabatan.”
“Apa?”
“Yahh... seharusnya yang naik jabatan itu kan kamu. Ta...”
“Tapi?”
“Tapi aku memang yang lebih pintar. Hahaha...”
*****
Kalau kau bukan siapa-siapa. Tapi kenapa aku harus berdebar saat akan menemuimu? Kenapa aku jadi panik saat pulsa habis hanya karena takut kau tiba-tiba mengirim pesan dan aku tak bisa membalasnya. Kenapa aku begitu ingin menyentuh ujung-ujung rambutmu yang kaku. Kenapa aku mau memegang hamstermu sekian puluh menit –yang kurasa seperti berabad-abad – karena hanya dengan itu aku bisa lebih lama berada di rumahmu (setelah itu pun aku jadi sempat sedikit berlama di kamar mandi; mencuci tangan dengan sabun dan muntah-muntah).
Kau hanya rekan kerja. Lantas kenapa aku harus begitu peduli padamu. Memarahi pelayan kantin yang lupa telah menaruh kol pada soto ayammu. Memberikan laporan yang baik tentang kinerjamu kepada atasanku di bagian HRD. Membuatkanmu proposal berhari-hari. Memperbaiki laporan bulananmu. Mengabaikan tugas-tugas kantorku.
Kenapa aku begitu menginginkan kau bahagia? Mengusir semua wanita brengsek yang hanya akan menggerogoti kekayaanmu dan menodai ketampananmu yang menawan. Menjodohkanmu dengan Salma sahabat terbaikku.
Kenapa aku yang menginginkan kau bahagia begitu berduka ketika kau mendapatkannya.
*****
“Empat Desember?! Tapi pak...”
“Iya, aku tahu itu tepat di hari pernikahan Randi. Tapi kau lihat semua staff di sini juga harus berangkat. Cabang-cabang kita di daerah sedang bermasalah, dan Direktur segera ingin tahu tentang perkembangan itu semua.”
“Kalau...”
“Sudahlah, sedikit banyak aku juga membaca apa yang terjadi di antara kalian. Dan sepertinya kau malah butuh udara yang lebih lapang daripada menghadiri pernikahan itu. Ini aku pilihkan Bali untukmu.”
“Tapi..”
“Vina... kau tak bisa begini terus. Ini saatnya kamu kembali menunjukkan kinerja terbaik. Tahun-tahun belakangan ini kerjaanmu makin kacau. Sebagian besar gagal. Kulihat kamu sering kehilangan konsentrasi. Di mana Vina yang dulu jadi kebanggaan departemen? Satu-satunya perubahan berarti hanya pada kontak lens biru yang menggantikan kacamata tebalmu itu. Kalau kau begini terus, lama-lama...”
“Baik Pak, saya mengerti.”
*****
Tangan-tangan hutan bergandengan hijau
Lengan-lengan awan berpelukan putih
Di antaranya
Seekor elang terbang sendirian
Sebuah baliho raksasa tentang kelestarian hutan ikut memperpuruk kekalutan hati Vina. Sejak dari parkiran kafe tadi pandangannya kian buram. Sedikit terkaget ekor matanya melirik ke arah spion. Sopir-sopir yang antri di belakangnya mengeluarkan kepala sambil tak henti-hentinya memaki dan memencet klakson.
Lampu telah berkedip kuning kembali. Avanza yang dikendarainya menyentak keras sebelum perempatan sempat dilintasi oleh pengendara dari lain arah. Kendaraan roda empat berwarna metalik itu kian melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah gerbang tol bandara.
Vina menegakkan punggungnya dan mencengkeram setirnya. Berbagai macam suara dan bisikan berkelebatan di kepalanya. Tapi iya yakin bahwa kali ini dia harus berbuat. Berbuat yang benar-benar hanya untuk dirinya sendiri. Matanya yang laut sudah terlalu tumpah untuk menampung samudera rindu.
Ia benar-benar membuktikannya. Pada pertigaan terakhir sebelum gerbang tol Vina membanting setir dengan keras.
Esok paginya, seorang OB terkaget melihat robekan tiket pesawat berserak di lantai. Andai ia bisa membaca jejak air mata, dari situ ia akan dibimbing segera ke sebuah ruangan di mana di dalamnya seorang perempuan yang telah terbit mata harunya tengah meringkuk di bawah sebuah meja, tepatnya di bawah meja kerja yang sedang ditinggal tuannya berbulan madu.
0 komentar:
Posting Komentar