Kau masih saja tak bergerak saat ibu masuk ke bilikmu. Hembusan nafasnya begitu berat sebelum duduk di tepi pembaringanmu. Seolah menandai betapa berat, betapa sesak dadanya sekarang. Dada yang dulu begitu luas dan dan damai tempat separuh tidur masa bayimu dilelapkan.
Ibu menghela nafas sekali lagi, kali ini pandangannya bertemu dinding bilik kamarmu. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, di mana di situ masih menggatung sarung pedang yang telah kosong.
“Seratus tujuh puluh sembilan hari….”
****
“Kau bahagia sayang….?”
“Aku takut.”
“Takut kenapa, hanya di sini kita bisa hidup bahagia.”
“Sampai kapan? Ayolah kita pulang saja, Mas…”
“Kau tidak mencintaiku lagi?”
“Ah jangan pojokkan aku lagi dengan hal itu.”
“Kau tahu kita tidak akan hidup bahagia di dunia sana.”
“Aku menghianati ibu.”
“Ibu merestui kita, percayalah..”
“Merestui?! Setelah kita menggunakan pedang it..”
Tangan perkasa lelaki itu dengan cekatan menutup bibir ranum sang perempuan. Lalu ditarik tangannya yang lembut perlahan. “Ayo kutunjukkan kau sesuatu..”
“Regangkan tanganmu seperti ini…” Perlahan serat-serat putih tipis membentang antara tangan hingga tubuh lelaki itu. Serupa sayap capung, namun dengan ukuran yang lebar. “Lalu mengepak seperti ini…” Tubuh lelaki itu sedikit demi sedikit terangkat. Rumput berwarna gelap yang tadi terinjak kakinya perlahan menegak kembali.”
“Begini….?” Sang perempuan sudah ikut beranjak, tangannya mengepak-ngepak sedikit kaku.
Sepasang kekasih itu perlahan semakin lama semakin meninggi. Namun pada sebuah ketinggian sebuah cahaya menyorot begitu hebat. Perempuan itu tergkaget dan melesat jatuh dengan kecepatan tinggi.
Sang lelaki yang terkaget berusaha mengejar, menggapai-gapai ujung kaki perempuannya.
Beruntung, sesaat sebelum bertumbukan dengan muka tanah lelaki itu telah menangkapnya.
“Ah, ini memang belum saatnya terbang, nanti setelah tiga purnama kita baru bisa terbang sempurna sayang…” Lelaki itu tersenyum. Sementara sang perempuan menatapnya dengan pandangan kosong.
****
Purnama bersinar, sinarnya hijau keemasan. Namun alam masih begitu gelapnya. Dari arah lembah tampak dua sosok berkelebat. Terbang saling mendahului menuju langit di atas bukit.
“Ayu! Jangan ambil pedang itu!”
“Tidak, aku harus pulang.”
“Kumohon jangan, nanti kau…”
Tangan perempuan itu lebih dulu menggapai pangkal pedang yang menancap di atas bukit. Pedang purnama itu berkilat-kilat seorang menyerap pantul seluruh cahaya bulan yang berpendar. Namun sebelum tangannya sempurna menarik pedang itu, sang lelaki menarik tangannya.
“Jangan sayang… kumohon…”
“Lepaskaaaaaannnnn!!!!!”
****
Kau terbangun terlalu dini. Malam masih tinggi. Kelewar-kelelawar bertaring masih bergelantungan di pohon jambu di beranda. Ibu? Ah mulutmu terlalu letih untuk memanggilnya.
Pagi itu kau sudah bangun dari mimpi yang memerangkapmu. Pagi itu, kau terbangun dengan sebilah pedang menancap di kepalamu.
0 komentar:
Posting Komentar