Hei, Bang! Apa kabarmu kini? Ini kali pertamanya aku mengirimi kau sepucuk surat. Pun sebaliknya, mungkin baru pertama kalinya pula engkau dikirimi surat oleh seseorang. Ya, sepucuk surat. Kalau suratan, itu kan sudah beda lagi. Maksudku suratan jemari takdir, yang telah menuliskan kita sebagai dua tokoh cerita (nyata) yang tak pernah berdrama dalam satu halaman kisah.
Kau tertulis pada halaman pertama, sedang aku jauh tersuruk, beberapa ratus-ribu-juta halaman cerita berikutnya.
Engkau mengkhatamkan cerita tepat di halaman pertama yang masih amat putih, sedang aku sampai kini masih meniti lika-liku kisah, dengan bercak-bercak tinta-noda yang ahh… malu aku mengatakannya.
Bang… tahukah, ketika datang waktu senggang, Ibu sering bercerita kepada kami, saat ketika di hari pertama (sekaligus terakhir) ia menggendong tubuh kecilmu - sedang tubuhnya sendiri masih amat begitu lemah, setelah bergelut dengan maut – katanya rupamu itu amat tampan. Hidungmu mancung, dengan kulit putih-lembut kelinci dan bibir mungil serekah tomat. Mirip sekali dengan Abah, yang sekarang mungkin sedang bersamamu juga di sana.
Bang, bersama surat ini aku cuma mau mengabarkan, bahwasannya kabar saudaramu di sini baik-baik saja.
Empat orang laki-laki batak, yang sebagiannya sekarang sudah tak diam lagi di rumah, menarungkan nasib di kota-kota perantauan. Dan hanya kembali ke rumah beberapa kali dalam setahun. Sehingga kami pun cuma bisa saling menanyai kabar lewat sambungan telepon. Tak seperti dulu, ketika kami bisa sekehendak hati berkumpul, berbagi kisah, mengadukan keluh di rumah.
Yah, beginilah yang namanya hidup itu. Ada hinggap, ada terbang. Ada jumpa, ada pisah. Tak ada yang kekal, sekekal Tuhan dan apa-apa yang diingat oleh kenangan.
Dan aku selalu berharap, supaya kelak nanti Tuhan, akan mengumpulkan kita kembali sebagai kenangan yang dituliskan dengan begitu utuh. Ke dalam sebuah buku cerita, tepat di sebuah halaman yang paling indah ceritanya.
3 komentar:
hayang cerik
huba... hubaaa!!
gepete
Posting Komentar