Selasa, 31 Januari 2012

Cinta Merah Randu

ebsqart.com

Entah mulanya, aku atau kamu yang Tuhan julangkan ke bumi lebih dulu. Yang kupahami bahwasannya Ia menurunkan sebuah cinta di tengah-tengah kita (dan kami) yang kuyakin tak mungkin mampir, kedua kali

Dear, randu… apa kabarmu? Telah lama sekali kita tak bersua. Mungkin sudah, hmm… sebentar, tiga, empat, lima, enam. Ya, enam belas tahun kira-kira lamanya sudah tak kudengar lagi suara gemerisikmu.


Masihkah kau setia menghuni halaman belakang rumah kita dulu. Sambil mengingat satu persatu kenangan yang aku, kami, dan kita habiskan bersama di bawah lengan-lengan lebatmu, terutama yang paling kusukai, setiap satu atau dua tahun sekali ketika lengan-lengan kokohmu membulir-bulirkan merah cinta amat ranum dan manis. Yang mengundang berbondong-bondong tetangga, juga saudara-saudara yang jauh rumahnya rela melelahkan kaki demi menikmati merah-merah cinta itu. 

Tak ketinggalan pula pipit-pipit sawah, lebah, kumbang, serta kelelawar malam berisik yang mengguguti bulirmu sampai lebam busuk, lalu berserakan ke tanah pada pagi harinya.

Randu. Masih ingat jugakah kau pada segerombolan bocah perempuan dan laki-laki menghampar tikar plastik di bawah kakimu, walau belum lekang keringat mereka sehabis sekolah. 

Yang perempuan menetak-netak sayur sisa dari dapur. Menjerangnya dalam kaleng sarden mendidih di atas nyala ranting kering. Sedang yang laki-laki seolah-olah mencarikan bahan penghidupan bagi keluarga kecil itu; beberapa lembar daun nangka yang mereka pura-purakan sebagai rupiah. Aih, konyol bukan?!

Apalagi ketika langit memulaikan cerah senja, di bawah tubuhmu para ibu-ibu tetangga asyik menukar bincang, tentang selisih beberapa perak perabot-perabot rumah antara kios A, pasar B, kelontong C. Tetek-bengek ongkos sekolah anak yang semakin ragam saja, juga mengenai rumus-rumus bumbu rahasia andalan dapur masing-masing.

Tak luput juga dari sana, suasana khidmat lelaki tua dan muda menghisap kreteknya, sembari menunggui tajur kail di kolam tak jauh dari tubuhmu berdiri. 

Ah, tahun tahun berlalu sepertinya kami tak mengenal apa itu sepi. Dan engkau, Randu. Senantiasa menjadi bagian penting dari suasana itu, meski tanpa kami sadari.

Sampailah akhirnya, kita memang harus menerima, jika waktu adalah penulis paling ulung, yang memilih-milah kita untuk kemudian menapaki kisah masing-masing. Dan pada suatu hari, kami sekeluarga pun akan berpindah tempat tinggal. Dan itu berarti, berpindah pula dari suasana ini.
Ya, memang. Pertemuan dan perpisahan adalah seumpama sepasang sayap. Yang tak bisa jika hanya kau miliki sebelahnya saja. 

Lalu kemudian, satu persatu tetangga pun ikut berhijrah, menyisakan engkau sendiri, tanpa kami, juga keriuh-hangatan seperti biasanya. Meskipun kudengar kabarnya, penghuni-penghuni komplek yang baru, satu persatu telah memadati tempat itu kembali. Dan mudah-mudahan engkau, tak lagi kesepian, dan tak kehilangan suasana cinta seperti yang pernah kita ciptakan dahulu.

Dan, Randu. Sekali lagi. Cinta yang sama tak akan mampir dua kali. Tapi di dalam hati masih selalu ada ruang untuk kita saling mengingat, berkali-kali. Merandukan bebulir merah ranum cinta itu kembali.

0 komentar:

Posting Komentar