Dear, Ibu Tety. Mungkin seumur hidup saya baru pertama kalinya menulis surat untuk seorang guru. Sebab sebelumnya, ketika SD saya (dan seorang teman) biasa mengirimi surat kepada seorang teman perempuan di tempat mengaji, yang kami selipkan ke dalam tasnya, sampai kemudian ketahuan oleh guru mengaji sehingga diganjari tiga libasan rotan pada kedua telapak tangan. *oke, kembali ke tujuan awal*
Ibu Tety, ketika surat ini saya tulis (dalam keadaan lapar sepulang kantor), saya tidak tahu lagi dimana dan bagaimana keadaan ibu sekarang. Maka saya berdoa semoga ibu dalam keadaan sehat, berkecukupan, dan senantiasa semangat, seperti ketika dahulu setiap dua kali seminggu ibu mengajar di kelas kami (3 IPS III), yang notabene adalah tempat berhimpunnya siswa-siswa tak jelas juntrungan serta tujuan.
Adapun tujuan saya menulis surat ini, tak lain adalah mengutarakan permintaan maaf saya yang sedalam-dalamnya kepada ibu, yang mungkin tak sempat saya katakan langsung. Dan untuk itu juga akan saya akui secara jujur dari hati paling dalam, (sumur bor lewaaat) tentang mata pelajaran yang ibu sampaikan di kelas.
Ekonomi… ya, salah satu dari banyak pelajaran absurd yang kami anggap amat menjengahkan kala itu. Sebab ekonomi tak lain adalah jebakan, ketika sebenarnya tujuan para siswa meilih jurusan IPS adalah untuk menghindari hitung-hitungan dan angka. Namun apa daya nyatanya ekonomi ini mempertemukan kami dengan angka-angka jua. Ditambah dengan LKS yang pertanyaannya lebih banyak ketimbang penjelasannya.
Ditambah lagi ekonomi ini memiliki saudara sekandung yang tak kalah kejam; AKUNTANSI. Saya pikir, apa gunanya kita menghitung-hitung aktiva tetap, laba, rugi, dan neraca…nerici keuangannya Toko Pak Badu? Sedangkan saya sama sekali tidak kenal siapa itu Pak Badu? Apakah ia orang baik, atau orang jahat?
Mungkin saja Pak Badu ini seorang wakil rakyat yang menganggarkan proyek kalender dan kursi di kantornya secara berlebih-lebihan, kemudian sisa uangnya ia buatkan toko kelontong. Jadi, bila kita ikut-ikutan menghitung laba, rugi toko Pak Badu ini saya takut, kita akan ikut-ikutan pula dipanggil KPK nantinya. Atau, tak usahlah KPK… tolong menolong dalam hal kejahatan saja kita tidak boleh. Dosa besar! Betul kan Bu’? *okeh, fokus kembali*
Ibu Tety, yang saya (kami) cintai. Ingatkah, ketika terakhir kali Ibu mengajar di kelas kami, saat itu, ah… saya benar-benar tidak paham atas keadaan kelas pada saat itu. kalaulah biasanya kelas itu memang begitu gaduh adanya, tapi kali ini beda. Ketika Ibu menjelaskan, hanya beberapa orang siswa yang memperhatikan, selebihnya sibuk dengan obrolan dan keasyikan masing-masing. Suara Ibu timbul tenggelam diantara keriuhan. Sedang tampak terbaca dari wajah Ibu, betapa letihnya berdiri, berteriak, sembari menggoresi papan tulis. Namun yang diajari malah seperti tak tahu balas budi.
Sampai kemudian… sebab saking kesal dan letihmu telah mencapai puncaknya. Ibu pun melemparkan kapur dari genggaman, terburu mengambil buku-buku di meja sembari lekas berlalu dari kelas. Namun seisi kelas seperti tetap tak acuh atas kejadian itu. Dan di sela-sela peristiwa itu, yang masih saya ingat, ketika sebelum selangkah lagi kaki Ibu menggapai pintu, kulihat Ibu menghapus derai-derai bening dari pipi. Ah…
***
Ibu Tety, akhirnya sekarang saya tahu. Dan lebih dari sekedar tahu apa yang Ibu rasakan setiap kali mengajari kami. Bagaimana payahnya, bahkan hanya untuk menyampaikan suara di ruang kelas, belum lagi jika siswanya banyak, dengan bermacam-macam tingkah polah, yang untuk menyiapkannya saja butuh waktu dan tenaga super ekstra. Ditambah lagi dengan menjelaskan, memberikan umpan, balikan, melayani siswa-siswa per-individual, kemudian memberikan penilaian. Dan belum lagi mengenai menjaga sikap kita di luar kelas, berkaitan dengan pencitraan, menjadi teladan, membimbing dan banyak macamnya lagi.
Ya, kadang-kadang saya senyum sendiri bila terkenang hal ini. Hebat betul skenario Tuhan itu. Tak pernah saya sangka bila suatu saat saya juga ditakdirkan menjadi seorang guru seperti sekarang ini. hingga saya pun dapat menyelami secara langsung suka dukanya menjadi seorang guru.
Saya kadang berpikir inilah karma yang harus saya jalani akibat perbuatan saya. Tapi, ah… apapun itu, saya akan tetap berpikir positif. Bukankah Tuhan tak pernah menyia-nyiakan hambaNya yang senantiasa tulus. Seperti Ibu Tety, juga guru-guru, serta seluruh pengajar lainnya yang senantiasa menyampaikan cahaya ilmu dalam derai suka dan dukanya.
Demikian saja, Ibu… terimakasih.
0 komentar:
Posting Komentar