perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan
sayang kau tak duduk
di sampingku
kawan
Bila sendiri adalah bunyi. Maka ia akan menjadi gelegar saat kita melakukan perjalanan, sendirian. Terutama bepergian menuju tempat yang jauh dan ditempuh dalam rentang waktu lebih dari beberapa putaran jam.
Saat di stasiun, terminal, ataupun pelabuhan kita berpapasan dengan puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan orang. Wajah-wajah. Tergesa. Muram. Sumringah. Lelah. Cuek. Jutek. Dan lain sebagainya. Terkadang saya iseng saja menebak-nebak suasana hati dari gurat wajah yang tampak. Apakah mereka sedang menempuh perjalanan untuk sebuah pertemuan, atau justru baru saja merasakan beratnya perpisahan dengan yang ditinggalkan, atau bahkan keduanya?
Dan biasanya rasa empatik itu serta merta memantul ke diri. Sedang di posisi manakah saya? Apa yang akan saya tuju? Apa yang sedang atau sudah saya tinggalkan? Kenapa ada jarak? Kenapa kita tidak bisa mempertahankan semua? Sebenarnya apa yang benar-benar saya punyai secara hakiki? Kenapa mesti ada duka yang mengiringi bahagia dan sebaliknya? Hingga... Kenapa dunia terasa begitu fana?
Perjalanan memang kerap kali memelantingkan saya pada perasaan melankolis yang begitu jauh. Yang pada hari-hari biasa perasaan itu saya tepis mentah-mentah. Tapi alih-alih diserbu perasaan gundah justru perjalanan adalah saat saya bermesra dengan diri sendiri. Meski diselingi dengan deru dan suara lalu lalang kendaraan, suara-suara dari dalam diri justru menjadi lantang terdengar.
Dalam hal ini, saya tidak sanggup membantah saran sahabat saya Seno @menghunjam yang lebih suka bepergian sendirian. Dan ternyata memang beda sekali rasanya. Bahkan meskipun dibandingkan dengan perjalanan yang hanya ditemani oleh satu orang. Berpergi sendiri akan jauh lebih banyak membawa perenugan.
Tidak hanya diri yang berbicara tentang perasaan-perasaan terdalamnya, namun langit, gunung, sawah, rumah hingga tiang-tiang listrik yang berlarian juga membisikkan hatinya. Bertanya perihal keeksistensian. Bertanya tentang apakah arti keberadaanya.
Perenungan dibutuhkan jiwa sebagaimana raga membutuhkan makanan. Jika diri telah menjadi sedemikian peka, maka duduk di dekat jendela rumah pun cukup untuk membangkitkan 'suara-suara'. Seperti Tagore. Penyair legendaris yang menerima nobel sastra tahun 1913 ini telah berujar dalam salah satu baitnya yang lembut.
Aku duduk di jendelaku pagi ini
di mana dunia seperti seorang lewat
yang berhenti sejenak
mengangguk kepadaku
dan pergi