Rabu, 25 November 2015

Jatuh Tinta


Perpustakaan UI Depok


Agung ataukah semenjana? Tulus atau berharap sesuatu? Dibuat-buat atau benar tumbuh dalam hati? Adalah pertanyaan yang sering berkenaan dengan cinta. Dan bagi saya tak dapat untuk membagi jawab atasnya. Bukan cuma tak dapat, meski dipaksa berkata pun akan menjadi bias. Sebab saya tak tahupun suara yang keluar itu apakah dari hati, atau yang lainnya.

Maka saya menyerahkan kepada waktu untuk mengusahajawabkan

Dalam rentang yang lama saya terbiarkan. Dibebasnya saya untuk tetap bersetia atau sebaliknya. Disibuk-sibukkannya hati dan fikiran saya terhadap beraneka perkara. Hari, pekan, bulan hingga tahun berbilang. Hingga saya lupa. Hingga saya lena.

Teryata saya bisa berlepas atasnya. Saya dapat berdiri hati di luar tapal batas apa yang disebut dengan daratan rindu atasnya. Ternyata cinta ini hanya semenjana, ternyata dulu saya berharap sesuatu, ternyata ini hanyalah perasaan yang saya buat-buat.

Dalam satu sore yang biasa saya berseduduk dengan para mahasiswa di perpustakaan. Wajah-wajah yang berasyiktekun dengan lembaran-lembaran. Dari sekian banyak kesadaran saya merasai kepala tertunduk bertumpuk beban. Tumpukan tugas yang mesti saya lunasi dengan berjild-jilid buku. Di tengah mencari rujukan bacaan di antara rak-rak yang panjang dan tumpuk ada sesuatu yang menggerakkan kaki saya.

Dan matapun tak mampu mengelak dari terbelalak tatkala bertemu pandang dengannya.
Saya sadar penuh bahwa ini adalah tempat yang salah. Semestinya saya  berada di sela buku bersampul teknologi konstruksi dan semisalnya. Tapi hati saya kepalang riang. Naskah-naskah puisi dan ceritera zaman lawas. Saat semaian bahasa sedang tumbuh seranum-ranumnya.

Tiga buku kemudian pulang dalam tas punggungg. Bersatu bersama buku enjinering dan satu buku puisi yang selalu saya bawa kemana pergi (meski amat jarang saya membacanya). Lalu saya kembali ke laman blog ini. Sejenak terasa seperti kembali yang tak pernah mampu pergi. Meskipun saya menyadari dengan pasti bahwa saya akan kembali berkelana. Dan akan sering hidup dengan biasa yang jauh dari rentang ranting teduh bahasa. Hari-hari berjerat angka-angka dan silogisme, serta sekian sehimpun ambisi hidup yang menyesaki dada.

Saya masih belum berani bilang bahwa ini cinta. Cinta sejati sendiri sejatinya satu, tiada berbilang.

Maka saya kembali menyerahkan kepada waktu untuk mengusahajawabkan, adakah saya jatuh tinta?

0 komentar:

Posting Komentar