Jumat, 28 Oktober 2011

FARO

"Menikah?! Heh?" Laras menjatuhkan putung rokoknya di lantai, mematikannya dengan menginjakkan sepatu bootnya, lantas mengepulkan asapnya di wajah Faro.
 
"Aaarrrgghh!" Lelaki berambut sedikit pirang itu mengerang. Pecahan kaca itu sudah berhasil ia cabut dari punggungnya. Ia merasa punggungnya sudah sangat basah dan lengket oleh darah. "Aku cuma ingin menikahimu, dan jangan pernah berharap aku akan mencintaimu."

"HAHAHAHAHA, kau tak akan mungkin mencintai pembunuh seperti aku!"  

Faro mematikan lampu senternya. Ruangan jadi begitu gelap seketika. Perlahan Faro mengeluarkan pisau belati dari celana cargonya.  


*****

Ia menekan wajahnya di permukaan kaca. Pandangan bulat matanya yang sedikit kecokelatan menancap pada suatu titik tuju. Benda keras kehitaman itu berkilat-kilat memantulkan sorotan cahaya yang memancar dari lampu senter yang digenggam Faro.  

Satu, dua, tiga, lima, tujuh puluh menit sudah Faro berdiri mematung di salah satu ruang Museum Kota itu. Gedung tua yang porak poranda di tengah kota. Langit malam yang tak berbintang dengan leluasa menumpahkan dingin anginnya di gedung yang tak lagi beratap itu.  

Kota berlimpahan kegelapan dan sepi, tak tampak pertanda geliat kehidupan. Hanya dari kejauhan di ufuk barat tampak aura cahaya dari sumber yang begitu benderang. Juga sesekali tampak larik-larik cahaya seperti bintang jatuh di langit, yang datangnya dari arah tak terduga, yang sebenarnya adalah meteor-meteor yang terus berjatuhan  berdeburdebam menghantam bumi.  

Faro tersentak dari posisi berdirinya ketika sebuah benda terbang menukik nyaris menghantam kepalanya. Beberapa detik kemudian benda kedua menyusul. Faro sampai terguling hingga ke seberang ruangan yang tak lagi terbatasi dinding, menghindari benda yang berukuran tiga kali tubuh gempalnya itu. Ketika benda kedua yang ternyata sesosok robot itu hendak terbang serentetan peluru menghantam bagian dadanya. Ia kehilangan keseimbangan hingga menabrak kaca yang memagari pecahan batu meteror pertama pencetus hujan meteor di bumi 73 tahun lalu itu.  

Seketika nyeri merambati sekujur tubuh Faro yang terhujani pecahan kaca. Darah mengalir meresap dan menetes dari kemeja kotak-kotaknya. Beberapa pecahan kaca juga menancap di punggungnya.   Belum sempat ia bangkit, namun tiba-tiba sesosok robot setengah manusia berdiri angkuh di depannya. Menarik pelatuk pistolnya yang berdiameter 18,6 centimeter dan menodongkannya ke arah Faro.

"Awas!!!" Faro melompat dan menjatuhkan robot yang di beberapa bagiannya telah rusak dan berasap itu. Puluhan robot terbang mengepung sambil menembakkan peluru dengan membabi buta.  

Dengan cepat Faro merogoh benda seukuran ballpoint di saku celananya, yang setelah ia tekan di bagian tengahnya benda itu langusng mengembang jadi sebuah perisai baja yang kuat. Sementara manusia robot -yang ternyata seorang perempuan- tadi menembakkan senjatanya ke udara, ia berlari menyeberangi ruangan, menekan sebuah tombol di balik sebuah lukisan dan segera berbalik.  

Pakaian robot perempuan itu sudah nyaris rusak total dihujani peluru, namun tiba-tiba serangan dari udara berhenti. Faro dan perempuan itu sama terbelalaknya ketika melihat lima belas meter di atas mereka sudah berjejal robot-robot berwarna pekat siap dengan senjatanya masing-masing.  

Tepat ketika robot-robot itu mulai menyerang, lantai ruangan yang kosong itu bergetar hebat, dan tepat ketika ratusan peluru akan menembusi dua tubuh manusia itu lantai ruangan itu sudah berbalik dan menjatuhkan mereka ke ruangan gelap di bawahnya.  

"Jadi, apakah kau masih berniat membunuhku, Nona?"    

*****  

Lampu senter itu menyala kembali dengan sinar yang lebih redup.

"Ini akan mampu bertahan hingga besok malam." Faro menggunakan senter itu untuk memeriksa lengannya dari kemungkinan masih tersisanya pecahan kaca. "Arghhhhhhh!!!" Ia mengerang kesakitan saat mencoba mencongkel serpihan kaca yang masuk terlalu dalam dengan belatinya itu.  

"Aku akan keluar malam ini juga." Laras yang sama-sama duduk di lantai menyodorkan tanganya ke sorotan cahaya, lalu melepas sebuah pengait sarung besi tangannya.  

"Aku tak pernah menyangka ada manusia yang bersekutu dengan mesin untuk membantai bangsanya sendiri."   
"Ya, dan aku adalah satu-satunya orang itu. Tapi aku kira aku tak jauh beda dengan Walikota yang sudah menghabisi seluruh keluargaku."

"Keluargaku… dan bahkan istriku sudah dibunuh rongsokan tak berdaging itu!"

"Dan sekarang kau ingin menikahiku."  

"Demi kelanjutan umat manusia. Tadinya aku mengira aku adalah manusia terkahir yag tersisa di bumi ini. Dan bagaimanapun kau telah berhutang nyawa padaku."  

"Cih! Siapa yang sudi kau selamatkan, aku lebih baik mati di tangan robot-robot rekananku itu."  

"Rekan? Mereka yang mau membunuhmu?!"

"Ada masalah dalam komponen penutup kepalaku, jadi mereka sempat melihat diriku yang sebenarnya." Laras menatap pergelangan tangannya yang kosong dengan tatapan sedih. "Tak ada pengkhianatan di antara mereka, prasangka buruk apalagi kecurangan. Dan sekarang mereka telah mengambil alih dunia ini, dengan masih menyisakan kita berdua."

"Karena itulah pernikahan kita satu-satunya harapan kelangsungan manusia."

"Sudah tidak ada yang bisa diharapkan, kita tinggal dua biji manusia yang akan musnah, dibantai robot itu, atau kita sendiri yang saling bunuh. Lagipula, menikahiku adalah sesuatu yang akan sangat berat bagimu."  

"Kenapa?"

"Coba kau sorot wajahmu." Laras memandangi wajah Faro dengan seksama. "Yak, tidak salah lagi, kau sudah ada dalam daftar buruanku, jauh sebelum kubunuh istri dan keluargamu."  

Lampu senter itu tiba-tiba padam. Tangan Faro bergetar hebat. Menggenggam erat pisau belatinya.

1 komentar:

Rafiqotul ifadah mengatakan...

hah, ada faro lagi!!!
gubrak! pliss deh....

Posting Komentar