Halo Takita yang baik, sebelumnya perkenalkan, aku Puni. Kukirim
Surat ini langsung dari rumahku di jantung Sumatera. Tepatnya di Taman Nasional
Berbak Propinsi Jambi. Cukup jauh bukan? He..he..
Surat dari Takita sampai beberapa hari yang lalu, aku senang
sekali sampai membacanya berulang-ulang. Aku memang suka dengan surat dan
sering berkirim surat. Kata almarhum ibuku, nenek moyangku dulu adalah para
tukang pos yang sangat diandalkan para raja-raja.
Kalau Takita sering mendengarkan cerita dari Ayah dan Bunda
tidak demikian halnya dengan aku. Sudah tiga tahun belakangan ini aku hidup
sebatang kara, maksudku tanpa Ayah dan Ibu. Mereka berdua terbang ke syurga
lebih dahulu saat pada suatu hari sekawanan pemburu merangsek masuk ke
pedalaman rimba.
Tapi Takita tak usah khawatir. Aku tidak benar-benar hidup
sendirian kok. Aku bersahabat baik dengan Rimo, seekor harimau yang lucu. Nanti
kalau suatu saat Takita bertandang ke rumahku pasti aku kenalkan dengan dia. Emm
nanti Takita harus nasehatin dia juga ya.., soalnya dia agak pemalas dan sering
tidur. Huh.
Sama halnya dengan aku, Rimo juga hidup tanpa ayah dan ibu.
Saat dia sedang bersemangat, kami sering menyusuri rimba bersama-sama. Kalau
aku letih aku akan bertengger di punggungnya yang belang dan empuk. Enak sekali
hihi...
Kami berdua berkeliling rimba untuk mendengarkan cerita dari
para guru kami. Ada Pak Kijang yang bercerita kepada kami tentang Ibu peri. Ada
Tupi, teman yang juga guru kami menceritan tentang negeri seribu satu malam. Ia
banyak tahu cerita itu dari hasil mencuri dengar sebuah kelas kecil di
perkampungan penduduk pinggiran rimba. Sebagai seekor tupai ia memang mudah
melakukannya dari sebuah pohon kelapa di pinggir madrasah.
Rimo paling suka dengan cerita Sinbad. Seorang pelaut yang
gagah berani dan suka menolong orang. Tapi sayangnya Rimo baru sekadar suka
tuh. Kalau tiba malasnya ia bisa tidur-tiduran saja sepanjang hari. Huuuufftt..
Oh. Aku hampir lupa dengan guruku yang satu ini. Dan pasti
Takita sering bertemu dengan beliau. Dia berperut besar dan berwajah kemerahan
seperti orang marah, matanya selalu terbuka memancarkan cahaya emas. Ya, dia
matahari.
Setiap pagi, ia datang dengan senyum yang ramah. Lalu
bercerita kepadaku tentang negeri-negeri di dunia! Ia bisa cerita tentang perempuan-perempuan bermata sipit di
pegunungan Tibet hingga tentang sekelompok lelaki yang berlari mengejar (atau
bahkan dikejar) buruannya di pedalaman Afrika.
Aku belajar darinya tentang letak-letak benua, pulau,
samudera dan semua yang terlihat oleh matahari. Kalau kata Tupi itu namanya
geografi. Saking banyaknya ilmu yang dipunyai oleh matahari aku bahkan berfikir
kalau ia tidak pernah tidur.
Aduh, sekian dulu cerita dan kabar dari sini, Takita. Aku
harus menemani Rimo dulu. Dia tak boleh jalan-jalan sendirian, sekarang makin
banyak pemburu dan jerat perangkap.
Oh iya kalau Takita ada waktu balas suratku ya, aku
penasaran sekali dengan cerita kambing hitam dan putih. Salam untuk Ayah dan
Bunda. Aku dan seluruh penduduk di rimba ini selalu mendoakan agar putra-putri
Indonesia selalu baik, rajin, bersemangat dan saling bersahabat. Termasuk
Takita. Termasuk seluruh putra-putri di dunia.
Salam.
NB; Lain kali aku akan cerita tentang guru berhitungku. Kamu
pasti akan suka. Seekor landak yang pendiam dan sering menabrak segala sesuatu.
Sepertinya sudah saatnya dia memakai kaca mata, setidaknya agar dia bisa melihat aku dengan baik. Seekor burung punai yang cantik. :P