foto dari sini |
--sebuah kutukan bagi seorang penyair
Sebutlah namanya Boy. Seorang lelaki yang sebenarnya kini
tengah memasuki usia paruh baya. Punya tiga orang anak dan seorang istri -tentu
saja (karena Boy memang bukan tipe penyelingkuh). Tubuhnya memang tambun, dan
bisa dikatakan cikal bakal Paman Vernon masa depan. Tapi dompetnya yang tebal,
wajahnya yang innocent dan mobilnya yang belum lama ini ia beli dari showroom
mobil-mobil bergengsi akan membuat banyak wanita tak berfikir dua kali.
Namun begitu sesungguhnya Boy adalah seorang bayi besar yang
sangat merepotkan tatkala di rumah. Ia pernah sekali menggebrak meja makan yang
membuat si pembantu yang tengah mengantarkan segelas susu rendah lemak
terlonjak, hingga gelas itu terlepas. Jatuh dan pecah. Pasalnya menu yang kali
itu tersedia di meja makan daging olahan semua (sebenarnya wajar karena hari
itu hari raya kurban).
Ia pun pernah membentak istrinya sambil memukul stir mobil
dalam perjalanan pulang dari berbelanja di supermarket saat istrinya tersadar
belum membeli gula diet. Vonis dokter tiga bulan lalu yang membuat ia jadi
begini. Dilahirkan dari keluarga Jawa yang berada, Boy terbiasa dengan makanan
enak dan manis. Gulai, sate, tongseng dan segala macam aneka menu berbahan
dasar daging kambing adalah favoritnya. Begitupun dengan minuman; teh, kopi,
sirup, coklat hangat hingga es dawet dengan kadar gula yang tinggi menjadi
idamannya setiap waktu.
Kini ia harus terbiasa dalam hidup yang penuh aturan (baca;
kekangan). Mulai dari beras merah, sayur, lauk dan menu-menu yang harus ditakar
dulu sebelum masuk ke dalam piring makannya hingga minuman-minuman yang tawar
(ataupun manis tapi dengan manis yang aneh) harus dijalaninya. Padahal salah
satu kenikmatan hidup adalah dari apa yang kita makan. Banyak orang yang rela merogoh
sakunya dalam-dalam demi memanjakan kebutuhan ‘wisata’ lidahnya. Nah jika hidup
tak lagi bisa memberi kelezatan perihal makanan (sesuatu yang selalu kita
butuhkan untuk hidup) buat apa lagi kita hidup?
Kurang lebih begitulah –kadar lebainya. Kurang lebih begitu
pulalah dengan apa yang dirasakan oleh seseorang penulis saat mendapatkan
kutukannya.
Sindrom kertas putih
Bagaimana kita mengetahui seorang penyair (ah bagaimana
kalau kita turunkan sejenak ‘tahta’nya menjadi penulis) sedang menjalani masa
kutukannya? Sodorkanlah padanya kertas putih kosong dan sebatang pena yang
penuh tinta dan tak macet. Lalu suruhlah ia membuat tulisan jenis apapun di
situ. Satu, dua, lima menit. Satu, dua, lima jam. Kertas itu masih putih
seperti semula. Pena tergeletak, sementara kita bisa melihat bahasa tubuhnya
yang berubah. Geliat tubuhnya tak tenang. Tangannya berkeringat dingin. Wajahnya
pucat.
Sedemikian mengerikankah menulis itu? Yap! Dan kadar
mengerikannya itu berbanding lurus dengan keahlian atau kemapanan seseorang itu
dalam hal tulis menulis. Semakin ahli seseorang maka kutukan itu akan semakin
kuat dan menakutkan karena saat ia akan menulis bersamaan dengan itu pula sisi
dirinya yang lain muncul. Sisi pengkritik yang ganas. “Tulisan apa ini? Sampah!”
teriaknya.
Nah, salah satu perjuangan melepaskan diri dari kutukan
adalah bagaimana kita membebaskan diri dari pengaruh si pengkritik itu. Kalau perlu
sumpal mulutnya dengan kotoran kerbau! Tulis apapun yang ada di benak kita. Apapun.
Tuangkan semua gagasannya. Jangan ada yang ditahan. Tulis betapapun buruknya
kalimat-kalimat itu. Karena hanya dengan begitu sedikit demi sedikit kertas
putih kosong itu akan ternodai hingga hilang kesan putihnya yang seram dan
sakral.
Teknik teknik teknik
Jadi, menulis adalah kemampuan menodai? Kalau frase itu
(kemampuan menodai) membuat kita lebih ingat tentang teknik atau cara dalam
menulis jawab saja dengan lantang “Ya!”
Kesulitan dalam menulis membuat kebanyakan orang lantas
berburu teknik. Sibuk mencari tahu bagaimana membuat puisi yang baik, bagaimana
memunculkan tokoh yang berkarakter dalam cerita, apakah plot itu? dsb. Dalam beberapa
hal mungkin itu berhasil untuk membantu kebuntuan kita dalam menulis –melepaskan
diri dari kutukan. Namun itu takkan bertahan lama.
Kegiatan menulis bukanlah kegiatan seperti berburu di hutan.
Semakin canggih teknik dan peralatan maka akan semakin mudah mendapatkan hewan
buruan. Tidak, yang terjadi kadang justru kebalikannya. Semakin kita memahami
tentang teknik dan teori-teori bersamaan dengan itu pula keberadaan sisi
pengkritik dalam diri kita akan semakin kuat. Ia akan semakin punya gaya gedor
dengan palu seperti palu hakim yang berat dan besar. Ia akan semakin
mengerdilkan kita dengan tulisan-tulisan yang berbuah dari cabang dan
ranting-ranting pemikiran kita sendiri. Ironis bukan?
Dari biasa lama-lama
jadi binasa
Lantas bagaimana kita bisa mengatasi ini semua? Kenapa semuanya
malah terlihat jadi rumit begini? Tenang. Hernowo dalam bukunya ‘Mengikat Makna
Sehari-hari’ menggaris bawahi kalimat berikut. Jadikanlah kebiasaan lebih
dahulu, baru kuasai teknik-teknik membaca dan menulis. Darah dagingkan menulis
itu di kehidupanmu, mungkin begitulah (versi lebaynya).
Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi
kebutuhan mendasar tentunya akan memiliki nilai yang krusial bagi pribadi yang
melaksanakannya. Seperti udara bagi nafas. Seperti langit bagi elang. Seperti kebodohan
bagi Patrick Star!
Menulis pada akhirnya akan melampaui kewajiban. Kalau tidak
menulis serasa ada yang kurang dalam hidup. Sebagaimana Boy yang menderita
karena sudah tak bisa menjamah makanan-makanan yang dari dulu digandrunginya.
“Ah ini sih teori cemen. Aku sudah puluhan tahun berjibaku
sama tulisan tetap saja stuck berbulan-bulan!” barangkali ada atau bahkan
banyak yang protes begitu. Itu sih lain cerita, Bung. Bila sudah terbiasa
menulis lantas kemudian berhenti untuk waktu yang lama itu bisa terjadi karena
banyak hal. Utamanya adalah kejenuhan. Kejenuhan itu timbul karena kita
bertahan menulis pada level itu-itu saja. Kita menulis yang begitu-begitu saja.
Dengan cara dan perenungan yang monoton.
Ya, menulis itu bisa juga menjemukan. Tapi kejemuan itu
penting agar kita tertantang untuk tumbuh. Jemu adalah sistem alami yang
dibentuk tubuh agar manusia yang punya potensi luar biasa tak lengah dengan ‘kehanyaannya’.
Pada akhirnya semakin kita mendalami dunia kepenulisan maka
akan semakin pening dan uring-uringan kita jika suatu saat buntu dalam
berkarya. Satu cara ampuh adalah (seperti yang dijelaskan di atas) kembali ke
titik awal. Dengan brutal menuliskan apapun ide di kepala. Meskipun biasa. Meskipun
standar. Meskipun jelek. Karena tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang
penulis dari ketidakkebisaan menggoreskan kata-kata (jauh melebihi rasa sakit
karena kritikan terpedas seorang kritikus karya sekalipun).
Terakhir. Tulisan yang payah ini memang tak mengajukan
solusi yang banyak. Karena memang cuma diniatkan sebagai obat pencahar yang
mengosongkan perut dan membuat lapar pembaca untuk mendalami lagi tentang;
motivasi menulis, menjaga stamina dalam menulis, dan seabrek teknik kepenulisan
lainnya. Utamanya mendalami kerja menulis itu sendiri.
Sahutlah rasa lapar itu dengan kerakusan yang digdaya. Seperti
penderita stroke dan diabetes melahaprakus makanan kesukaannya yang terpantang.
Tulis. Dan tulislah seperti mereka mengabaikan (menyerahkan) nyawanya. Bukankah tinta itu lantas seperti cinta, meminta jiwa kita meluruh seutuh-utuhnya?
0 komentar:
Posting Komentar