Rabu, 29 Maret 2017

Puisi Seja(t)uh Ini




Saya dan puisi seperti sepasang kekasih, yang sudah terbiasa membenci satu sama lain. Namun seringkali menemukan (atau dipertemukan) cara untuk bertemu lagi dan bicara "Aku tak bisa hidup tanpamu!" Aneh. Seaneh puisi itu sendiri. Juga saya -barangkali. Karena sampai sejauh ini saya masih belum ngerti apa itu puisi. Meskipun ia sering menatap mata saya dalam-dalam hingga tenggelam. Saya sungguh tak berkutik dibuatnya.

Saya sangat butuh puisi seperti saya menginginkan jantung hati saya menjadi transparan. Menjadi setumpuk berkas yang mudah saja saya membacanya. Sehingga saya tahu apa yang sebenar-benarnya apa yang saya rasakan. Seperti perasaan saya ketika melihat kabut turun di pegunungan. Dada saya terasa penuh. Begitu saja. Tapi saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan, selain penuh. Tidakkah ini aneh.

Dan puisi seringkali manja, ia tidak serta merta ada ketika kita membutuhkannya. Apalagi kalau saya sudah meningggalkannya dalam waktu yang lama. Butuh usaha keras untuk membujuknya dari masa merajuk. Butuh baca buku-buku puisi dulu. Tidak cuma satu. Barulah ia menampakkan wajahnya. Lamat-lambat.

Itupun saya masih berjuang keras untuk melawan rasa rendah diri dan atau putus asa. Karena dalam puisi-puisi yang saya baca tersebut saya merasa kok begitu mudahnya para penyair itu mendedahkan perasaanya. Dalam bahasa yang karib. Unik. dan seringkali pada sudut-sudut yang tidak tersentuh.

Saya jadi yakin proses ini sebagaimanapun kerasnya saya melawan, akan masih terus berulang. Semoga. Semoga saya kuat dan umur saya panjang.

0 komentar:

Posting Komentar