Jumat, 13 September 2019

Sejenak Merenungi Hutan Kita

Apa yang kamu lakukan jika suatu pagi saat terbangun dari tidur, kamu mendapati seekor harimau sumatera sedang berbaring cantik di dapur rumahmu? 

Terdiam mematung? Berteriak minta tolong? Atau mengambil smartphone lalu mengklik fitur live Instagram sembari berkabar riang “Hai, Guys! Ada yang dapurnya pernah kemasukan Harimau kayak gue sekarang?!”

Sepertinya pilihan yang terakhir amatlah mustahil. Tapi percayalah perihal disatroni Harimau Sumatera tidak mustahil, dan bahkan sering terjadi kepada masyarakat yang bermukim di wilayah sekitaran hutan. Sebut saja di kawasan Sungai Gelam - Muaro Jambi, atau di kelurahan Teluk Meranti, Provinsi Riau. Di mana Harimau Sumatera masuk ke pemukiman warga karena kerusakan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Seperti yang dipaparkan oleh Dr. Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia dalam event Forest Talk With Netizen Jambi di Swissbel Hotel pada hari Sabtu, 31 Agustus 2019.


Mengusung tajuk “Pengelolaan Hutan Lestari”, event yang digagas The Climate Reality Project Indonesia dan Yayasan Dr. Sjahrir tersebut menghadirkan para narasumber kompeten yang wilayah konsentrasinya bersentuhan langsung dengan upaya pelestarian hutan.



Jaga hutan, siapapun kita!

Oh ya, kita lanjut tentang paparan Dr. Atiek yang begitu relevan dengan keadaan yang dihadapi Provinsi Jambi sekarang, yaitu bencana kabut asap. Dijelaskan oleh beliau hingga Agustus 2019 Jambi telah kehilangan 500 hektar areal hutan akibat kebakaran. Dan masih terekam jelas bagi masyarakat Jambi bencana kabut asap terparah pada tahun 2015, yang juga terjadi di enam provinsi lainnya di Indonesia hingga merenggut 2,6 juta hektar areal hutan.


Persoalan Harimau masuk pemukiman di atas bisa saja hanya secuil dampak di antara segunung dampak membahayakan lainnya. Yang diakibatkan oleh deforestasi (perubahan permanen areal berhutan menjadi tidak berhutan), degradasi atau penurunan kualitas hutan, dan konversi hutan. Parahnya setiap lapisan masyarakat punya andil dalam perusakan hutan ini. Mulai dari masyarakat kecil dengan ladang berpindah sampai kelas korporat dengan pembukaan lahan sawit ratusan hektar.


Solusi Dr. Atiek mengenai “bencana” ini adalah dengan mengembalikan fungsi hutan melalui pengelolaan lanskap berkelanjutan. Mengembalikan fungsi hutan dengan penghijauan, restorasi, agroforestri atau memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian.

Mungkin kita sudah terbiasa mendengar ungkapan “hutan adalah warisan anak cucu kita”, secara pribadi kalimat ini amat menohok ketika anak saya terbatuk-batuk karena paparan kabut asap. Boro-boro diwarisi kekayaan hutan, justru kini kabut asap yang malah mengancam masa depan generasi kita. Jadi, setiap kita memiliki andil penting dalam menjaga hutan dengan kemampuan kita masing-masing. Blogger, youtuber, seniman, fotografer, siapapun anda!

30 kali pakai? Saya bisa lebih!
Kenapa tidak, jawab saya dalam hati saat pembicara: Dr. Amanda Katili dari The Climate Reality Project, menjelaskan tentang 30 Wears Challenge atau tantangan memakai pakaian sebanyak 30 kali pakai yang sedang trending di masyarakat negara maju. Jangankan 30 kali, saya bahkan terbiasa memakai baju sampai “bulukan”. Baju lebaran pun bisa dipakai sampai lusuh dan bertransformasi menjadi baju tidur, lalu berujung lagi kisahnya sebagai kain lap yang teronggok di lantai dapur.


Pemaparan Dr. Amanda sebetulnya berkonsentrasi kepada perubahan iklim. Yang ternyata juga merupakan dampak dari budaya fashion masyarakat dunia yang semakin tahun semakin konsumtif. Kebutuhan tren membuat mereka berlomba menjadi yang paling up to date. Menyebabkan suplai industri pakaian begitu bergeliat dan cepat (fast fashion). Menyumbang 10% peningkatan emisi gas rumah kaca. Ditambah dampak sampah dari tak terpakai mencapai kisaran 15,1 juta ton sampah tekstil diproduksi pada tahun 2013 (Environmental Protection Agency).

Tragedy of the Commons atau Tragedi Kepemilikan Bersama  mengambil porsi paling besar terhadap perubahan iklim. Setiap manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya, dampaknya pun akhirnya merugikan mahkluk hidup lain. Contohnya pembalakan liar, pertambangan, perburuan dsb dengan konsekuensi berupa meningkatnya suhu global, mencairnya es di kutub bumi, sampai pemanasan dan pengasaman samudera.


Tentu tidaklah terlambat bila kita turut andil mengatasi hal di atas, dimulai dari upaya dalam lingkup diri dan keluarga. Seperti diet kantong plastik, menghemat listrik & BBM, serta beralih menggunakan produk-produk ramah lingkungan.

Hutan Sumber Kehidupan
Sejujurnya kita yang mengaku modern ini mesti belajar banyak dengan kebijaksanaan Orang Rimba yang bermukim jauh di dalam hutan. Dengan segala kerterbatasan modernisme, mereka mampu memperlakukan hutan dengan sangat arif dan bijaksana. Tidak menebang pohon penghasil makanan, tidak memburu hewan selain untuk mencukupi diri, juga menanam pohon “sakral” pada setiap momen kelahiran anggota keluarga.


Maka seharusnya kita dengan segala kemudahan ilmu pengetahuan, alat produksi, dan kreatifitas seharusnya lebih mampu memperlakukan hutan dengan layak. Sebab hutan menyediakan segala sumber kebutuhan hidup seperti sumber serat, sumber pewarna sampai sumber energi terbarukan.

Desa Makmur Peduli Api
Pertama kali mendengar program yang disingkat DMPA ini saya merasa tidak begitu asing. Karena dua minggu sebelumnya saya berkunjung langsung ke lokasi DMPA, di Desa Dataran Kempas tepatnya di sebuah lokasi produksi pupuk kompos.

DMPA diinisiasi oleh APP Sinar Mas guna mencegah kebakaran hutan, perambahan lahan serta memberdayakan masyarakat sekitar hutan secara sosial ekonomi. Dengan dukungan terhadap potensi lokal masyarakat seperti peternakan, pertanian, perikanan, termasuk pembuatan pupuk kompos oleh kelompok tani.



Enam pilar program DMPA antara lain pemetaan sumber daya secara partisipatif, transfer teknologi, perlindungan & pengawasan kawasan hutan, pencegahan & penyelesaian konflik, kemitraan pemasaran produk, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Dengan program ini saya melihat sendiri kesejahteraan dan pola pikir masyarakat terutama di sekitar kawasan perusahaan menjadi lebih baik dan berdaya.

Oh ya, yang tak kalah menarik dalam event ini adalah kehadiran mini stan. Yang meskipun dengan ukurannya yang mini, ternyata memiliki kisah dan cerita-cerita besar di baliknya.

Tas Rajut Pandan, Trauma Jadi Peluang.
Di awal saya memasuki ruangan, stan yang dipenuhi produk anyaman ini lumayan disesaki peserta. Mereka begitu asyik menyimak penjelasan dari seseorang berpakaian paling nyentrik di ruangan itu. Bang Vinto, begitu panggilan akrab pemilik brand Kain Vinto, yang produk-produknya sudah merambah Jepang, Turki dan beberapa negara Eropa lainnya karena ciri khas alam dan artisan yang dimilikinya.

Sebut saja syal bunga ilalang. Yang memang terbuat dari bunga ilalang dengan serat dan warna yang begitu alami. Begitu juga dengan tikar pandan rawa, tas rajut, batik dsb yang dibuat dengan teknik artisan dan terbatas jumlahnya.
Saat sesi berbagi kisah, saya dapat menangkap semangat Bang Vinto untuk mengangkat nama Jambi, terutama Muara Bungo sebagai tempat bermukimnya, dengan produk unggulan yang “betul-betul” bisa dibanggakan. Sehingga lahirlah beberapa produk dengan semangat ketekunan dan kreatifitas, sampai-sampai lumut dan getah pisang pun dapat diubah menjadi pewarna alami.

Bahkan produknya begitu laris di negara Jepang, karena masyarakat di sana begitu gemar dengan produk artisan atau buatan tangan. Selain itu keunikan tas rajutnya tidak berjahit dan menggunakan pewarna. Bahkan pola bercak alami pada rotan sengaja tidak dihilangkan karena permintaan dari konsumen yang begitu concern terhadap ke-khasan alam. Tas tersebut juga tidak menggunakan pewarna, sebab konsumen di Jepang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap bahan-bahan serupa, dikarenakan trauma masa lalu mengenai dampak bahan kimia saat peristiwa bom atom di Kota Hiroshima - Nagasaki pada tahun 1945. Nah, ternyata trauma pun bisa jadi peluang.

Topi peneduh hutan
Rengke-rengke, seingat saya berasal dari bahasa Suku Anak Dalam yang berarti keren-keren. Sesuai dengan produk, terutama gerakan UKM Rengke-rengke dalam memberdayakan komunitas Suku Anak Dalam di daerah Kabupaten Batanghari.
Digagas oleh Ali dkk saat masih duduk di bangku kuliah di Universitas Jambi tahun 2010, selain membantu masyarakat agar lebih berdaya secara ekonomi, Rengke-rengke juga bertujuan agar masyarakat lebih peduli terhadap kelestarian hutan. Contohnya dengan menawarkan opsi penghasilan alternatif berupa usaha kerajinan kepada masyarakat yang masih melakukan penjualan arang kayu Bulian. Di mana kayu ini merupakan kayu langka endemik Provinsi Jambi.

Produk Rengke-rengke begitu unik karena merupakan buatan tangan. Terbuat dari rotan dan juga resam, seperti ambung, topi, gantungan kunci dan plakat. Saya sempat terbersit menggunakan topi rotan Rengke-rengke untuk mendongeng suatu hari nanti, jika temanya tentang pelestarian hutan pastilah cocok sekali. Sebab topi ini memberi pilihan kepada masyarakat untuk berhenti mengeksploitasi hutan, dan lebih memilih produk kreatif yang lebih ramah dan bernilai ekonomi.

 Menjamurkan jiwa wirausaha masyarakat

“Ciciplah, Bang!” kata mbak di seberang meja saat saya mampir di stan Jamur Krispi Ragel. Jajaran kemasan jamur krispi memenuhi meja. Rasanya memang krispi dan gurih. Sebenarnya saya sudah tahu mengenai jamur krispi sebelumnya. Tetapi yang membuat menarik adalah penggagasnya. Tiga perempuan muda yang berani mengajak masyarakat untuk menaikkan derajat tanaman jamur mereka menjadi produk hilir yang lebih disukai dan mudah dipasarkan tanpa tergantung waktu dan harga pasar. Sebab awalnya, penduduk desa yang kebanyakan petani jamur banyak mengeluh sebab jamur mereka dihargai murah dan mahalnya ongkos pemasaran jamur. 

Eh, usut-punya usut ternyata Mita, salah satu pendiri Ragel adalah adik tingkat saya di Fakultas Pendidikan Ekonomi, Universitas Jambi. Wah, makin bangga deh!

Pak Supari Kapok dikepung asap
Nah, tadi saya sempat menceritakan tentang kunjungan saya ke Desa Dataran Kempas, Tanjung Jabung Barat sebagai salah satu dari Desa Makmur Peduli Api. Di mana saya dkk berkunjung ke lokasi wisata edukasi pupuk kompos. Saat itu kami di”guide” langsung oleh pelopor dan pembina kelompok tani Mekar Jaya: Pak Supari, melihat proses pembuatan dan pengemasan pupuk kompos.


 
Pak Supari orangnya super kocak. Ia tidak berniat melucu tetapi memang lucu adanya. Sesekali ia bercerita tentang pertemuannya dengan menteri-menteri di Jakarta, bertemu presiden di istana, dan juga bercerita tentang lawatannya ke Polandia, dan beberapa negara Asia Tenggara untuk memberikan workshop. Setelah bercerita ia selalu mengakhiri dengan ucapan “saya ini cuma orang desa, mas!”. Waduh si bapak ini mengejek kami atau bagaimana. Hehehe…

Di stan DMPA pada event Forest Talk With Netizen Jambi, produk kompos Pak Supari dkk mejeng bersama beberapa produk seperti wedang jahe merah, keripik tempe, kopi, produksi masyarakat DMPA Tanjung Jabung Barat.

Pak Supari patut diacungi sepuluh jempol karena segudang prestasinya karena mendorong masyarakat desa lebih berdaya. Dari yang semula hanya sebagai peternak dengan penghasilan setahun sekali (jangka panjang), sekarang bertransformasi sebagai pembuat dan penyuplai pupuk kompos dengan omset miliaran rupiah.

“Tahun 2015 kami berhadapan langsung dengan kabut asap di sini. Mau lari kemana kami? Tidak ada pilihan lain, kejadian itu jangan terulang lagi!”ucap Pak Supari dengan tatapan menerawang. 

Waduh, kalau serius begini kami kok jadi sedih, Pak! :'(







*Kegiatan ini dapat pula kamu saksikan di: http://lestarihutan.id/video-acara-forest-talk-with-netizen-jambi-31-agustus-2019/ 

Salam Lestari!

0 komentar:

Posting Komentar