Rabu, 23 Maret 2011

Bacalah



Bacalah hingga basmalah berdarah-darah. Hingga detik detak retak dan pecah. Lalu kau dapati ruang keabadian diterang cahaya sang Mustafa.

Selasa, 22 Maret 2011

Sungai



Adalah setubuh tabah yang menampung tadah. Menawar redam gejolak lautan hingga seluruh jiwanya meluruh asin air mata doa. Ibu.

Senin, 21 Maret 2011

SEKISAH DI TUBIR BATANG


Cahaya matahari menjilati kilau emas tubuh muaro yang menghanyut tenang. Layar-layar kapal gembung disangkari angin, mengarung sesak oleh rempah dan lada kerinci yang membuat lidah saudagar tiongkok mayau kepayang. Punggau, singgasana Dharmasraya yang pamit lima puluh pandang dari tahta mula tak jua menyurutkan hilir mudik kapal Gujarat  pun Cina yang memuat kapas, kain, dan benang emas. Arus perdagangan masih berpusar deras sebab buih ombak Selat Melaka masih terbau garamnya dari sini. Tentu saja perihal itu membuat Sri Wijaya lantas cemburu kemudian memintal setumpuk siasat.
Di sepanjang arus muaro rumah-rumah panggung bulian betam ditanam bersejajar. Tanah kampungnya begitu basah. Pabilo ditanam, padi kan ranum. Pabilo ditakuk, durian kan rindang. Tiap-tiap manusianya telah paham kemana badan menganut adat. Sebab telah dimulakan  pada hari pagi perempuan-perempuan sehabis beranak berjongkok di ujung titian kayu, mencelup separuh badan bayinya yang belum lunas bulan kedalam sungai. Membiarkan sejenak tubuh telanjang itu dikenali arus. Barulah kemudian diangkat dan dipeluk si perempuan dalam buncah airmata. ”Telah sah melayu kau, hai Bujang!”

Kata Berbalas Cinta


Kau :
Aku tak suka saya. Senang satu ikat kita. Mereka reka kelompok kelopak mana yang gugur setelah aku paku pada seketika kita.

Aku :
Aku pun tak reka senang atas paku yang aku tancapkan. Semisal pilar pemanggul atap sinar. Penahan gelapnya mata.

Kau :
Mata gelap. Paku menancap. Apa nan hendak jadi ceritera pada bibir sepi yang perlahan mengucap?

Aku :
Bisu kupatri pada nyata yang tak bisa diharap. Kisah indah kau tebas saat kelopak mulai mekar.  Wewangi kunanti. Angin menabur angin.

Kau :
Wangi kenang kenanga ke mana cari. Hanya sebatang lalang menahan rubuh, menatah nafas, menghitung bilang hari dari saat kau pergi.

Aku :
Sadarkah, kala tubuhku pergi meninggalkanmu, adalah hati sedang menyelami kisah terbesar yang ada dalam hidupku. Kisah itu adalah dirimu.

Kau :
Aku kisah yang dituturkan hujan. Digenangkan mata cuaca. Maka selamlah sehingga. Luap laut tumpah terbaca bukan sebagai air mata.

Selasa, 15 Maret 2011

LANGGAM BUIH

Nun, di julur seranting perdu berdaun ungu. Di sebuah negeri awan ampas paling kapas tempat kami memutek rahim. Lenggang dalam kokoh sebatang tubuh yang tak berimbuh rubuh. Sampai tiba takdir yang semampai mentitahkan kami mengkal; berbuncahan, berkerubut, bersentuh rengkuh dalam rengkuh-rengkuh kecil licin nan wangi. Bulat penuh, bening kaca. Seribu, sejuta atau mungkin tak terjamah perhitungan isi tengkulukmu.
Kami tak empu sebutan, seperti yang lelah-telah, sebab selain juga tak ada berfedahnya perihal itu. Cukuplah kami dimafhumi (*kadangkala) sebagai gulir-gemulir pucat yang mengurai pejal dan amis jamuan malam Rembulan kepada Matahari, atau juga sebagai sebasuh sela-sela jemari perjalanan kaki tua Tuan Musim nan sengak amat kemarau. Ah, mana pernah pernah kami ambil pusing perihal itu.
Dua menit; seratus dua puluh langgam, ketika amat pun singkat masa kami sempurna, dengan lembut sesuatu serupa ajal mengusap kami lembut di tengkuk. Mengisyaratkan tetarian penutup kemana perhelatan dihalau, seperti nan sepunggau-punggau.
Lalu kami pun menjodohkan jemari bertungkup-tungkupan, beringsut elok seiring tetabuhan gendang besak dan akordion (langgam bekaseh*), mengemasi wangi kedalam kecampang pandan, lalu mengiring irama memudak liang segelap entah. Yang sedari mula sigap merangkum syahdu langkah kami kembali. layaknya ritual setelah mengalamatkan lipat sirih kepada suluk tangkup seorang tamu digdaya. (gendang besak dan akordion rehat. jenjang dan halaman rumah panggung dikhitbah sunyi).
Sementara lain cerita-cerita berhelat. Di putek lain yang dahannya menjulur kepada rerumputan tinggi bersemu ungu, kami kembali merahim. Menanti masa nan mengkal kembali menebahkan kami. Sebab masih ada seratus dua puluh langgam lain yang harus tunai lunas. Ibarat pelita sampan bersauh labuh, batang ke batang, muara ke muara; tak kunjung padam. Hingga anyir gerugut garam melapukkan lambungnya karam, dan pukat bujang tanjung tak lagi tunjam.

Kamis, 03 Maret 2011

Masjid Seribu Tiang


Aku ingin remuk roboh, dan hanya nyeri alifMu yang menegakkan persendian sujudku.

Selasa, 01 Maret 2011

Matahari Daun

 

Hebatnya kaki-kaki hujan yang kecil itu. Begitu ia datang, kami, orang-orang bersepatu nomor empat puluhan langsung berlarian, menyingkir dari jalanan.

Aku menepuk-nepuk jaket dan bajuku, mengusir butir-butir air yang terlanjur mencengkeram di sana. Rambutku basah. Kulit kepalaku gatal. Kugaruk-garuk tapi semakin gatal. Mataku terpejam. Aku mengutus dua orang di dalam mata. Lalu katanya sebuah taman tumbuh, di dalam kepalaku. 

Ada sebangku panjang. Dua orang bercakap akrab. Aku sempat mendengarkan saat awalnya mereka bertemu dan saling memperkenalkan nama. Nama yang sama. Namaku.

Percakapan-percakapan itu. Getar swara yang menggugurkan. Satu tujuh lima sembilan kosong kosong ganjil daun-daun di cabang. Reranting syaraf. Bibirku merentangkan senyum. Membiarkan. Toh daun-daun itu sudah layu semula.

Namun tiba-tiba tanganku merogoh ke dalam kepala. Mencari selembar pada serakan daun. Daun yang tak sembarang daun. Daun yang padanya sempat hijau oleh senyumanmu.