Cahaya matahari menjilati kilau
emas tubuh muaro yang menghanyut tenang. Layar-layar kapal gembung disangkari
angin, mengarung sesak oleh rempah dan lada kerinci yang membuat lidah saudagar
tiongkok mayau kepayang. Punggau, singgasana Dharmasraya yang pamit lima puluh
pandang dari tahta mula tak jua menyurutkan hilir mudik kapal Gujarat pun Cina yang memuat kapas, kain, dan benang
emas. Arus perdagangan masih berpusar deras sebab buih ombak Selat Melaka masih
terbau garamnya dari sini. Tentu saja perihal itu membuat Sri Wijaya lantas
cemburu kemudian memintal setumpuk siasat.
Di sepanjang arus muaro rumah-rumah
panggung bulian betam ditanam bersejajar. Tanah kampungnya begitu basah. Pabilo
ditanam, padi kan ranum. Pabilo ditakuk, durian kan rindang. Tiap-tiap
manusianya telah paham kemana badan menganut adat. Sebab telah dimulakan pada hari pagi perempuan-perempuan sehabis
beranak berjongkok di ujung titian kayu, mencelup separuh badan bayinya yang
belum lunas bulan kedalam sungai. Membiarkan sejenak tubuh telanjang itu dikenali
arus. Barulah kemudian diangkat dan dipeluk si perempuan dalam buncah airmata. ”Telah
sah melayu kau, hai Bujang!”
Nun, di julur seranting perdu berdaun ungu. Di sebuah negeri
awan ampas paling kapas tempat kami memutek rahim. Lenggang dalam kokoh
sebatang tubuh yang tak berimbuh rubuh. Sampai tiba takdir yang semampai mentitahkan
kami mengkal; berbuncahan, berkerubut, bersentuh rengkuh dalam rengkuh-rengkuh
kecil licin nan wangi. Bulat penuh, bening kaca. Seribu, sejuta atau mungkin
tak terjamah perhitungan isi tengkulukmu.
Kami tak empu sebutan, seperti yang lelah-telah, sebab
selain juga tak ada berfedahnya perihal itu. Cukuplah kami dimafhumi
(*kadangkala) sebagai gulir-gemulir pucat yang mengurai pejal dan amis jamuan
malam Rembulan kepada Matahari, atau juga sebagai sebasuh sela-sela jemari
perjalanan kaki tua Tuan Musim nan sengak amat kemarau. Ah, mana pernah pernah
kami ambil pusing perihal itu.
Dua menit; seratus dua puluh langgam, ketika amat pun singkat
masa kami sempurna, dengan lembut sesuatu serupa ajal mengusap kami lembut di tengkuk.
Mengisyaratkan tetarian penutup kemana perhelatan dihalau, seperti nan sepunggau-punggau.
Lalu kami pun menjodohkan jemari bertungkup-tungkupan, beringsut
elok seiring tetabuhan gendang besak dan akordion (langgam bekaseh*), mengemasi
wangi kedalam kecampang pandan, lalu mengiring irama memudak liang segelap
entah. Yang sedari mula sigap merangkum syahdu langkah kami kembali. layaknya ritual
setelah mengalamatkan lipat sirih kepada suluk tangkup seorang tamu digdaya.
(gendang besak dan akordion rehat. jenjang dan halaman rumah panggung dikhitbah
sunyi).
Sementara lain cerita-cerita berhelat. Di putek lain yang
dahannya menjulur kepada rerumputan tinggi bersemu ungu, kami kembali merahim.
Menanti masa nan mengkal kembali menebahkan kami. Sebab masih ada seratus dua
puluh langgam lain yang harus tunai lunas. Ibarat pelita sampan bersauh labuh, batang ke batang, muara ke muara; tak kunjung padam. Hingga anyir gerugut garam melapukkan lambungnya karam, dan
pukat bujang tanjung tak lagi tunjam.
Hebatnya kaki-kaki hujan yang kecil itu. Begitu ia datang, kami, orang-orang bersepatu nomor empat puluhan langsung berlarian, menyingkir dari jalanan.
Aku menepuk-nepuk jaket dan bajuku, mengusir butir-butir air yang terlanjur mencengkeram di sana. Rambutku basah. Kulit kepalaku gatal. Kugaruk-garuk tapi semakin gatal. Mataku terpejam. Aku mengutus dua orang di dalam mata. Lalu katanya sebuah taman tumbuh, di dalam kepalaku.
Ada sebangku panjang. Dua orang bercakap akrab. Aku sempat mendengarkan saat awalnya mereka bertemu dan saling memperkenalkan nama. Nama yang sama. Namaku.
Percakapan-percakapan itu. Getar swara yang menggugurkan. Satu tujuh lima sembilan kosong kosong ganjil daun-daun di cabang. Reranting syaraf. Bibirku merentangkan senyum. Membiarkan. Toh daun-daun itu sudah layu semula.
Namun tiba-tiba tanganku merogoh ke dalam kepala. Mencari selembar pada serakan daun. Daun yang tak sembarang daun. Daun yang padanya sempat hijau oleh senyumanmu.