Hebatnya kaki-kaki hujan yang kecil itu. Begitu ia datang, kami, orang-orang bersepatu nomor empat puluhan langsung berlarian, menyingkir dari jalanan.
Aku menepuk-nepuk jaket dan bajuku, mengusir butir-butir air yang terlanjur mencengkeram di sana. Rambutku basah. Kulit kepalaku gatal. Kugaruk-garuk tapi semakin gatal. Mataku terpejam. Aku mengutus dua orang di dalam mata. Lalu katanya sebuah taman tumbuh, di dalam kepalaku.
Ada sebangku panjang. Dua orang bercakap akrab. Aku sempat mendengarkan saat awalnya mereka bertemu dan saling memperkenalkan nama. Nama yang sama. Namaku.
Percakapan-percakapan itu. Getar swara yang menggugurkan. Satu tujuh lima sembilan kosong kosong ganjil daun-daun di cabang. Reranting syaraf. Bibirku merentangkan senyum. Membiarkan. Toh daun-daun itu sudah layu semula.
Namun tiba-tiba tanganku merogoh ke dalam kepala. Mencari selembar pada serakan daun. Daun yang tak sembarang daun. Daun yang padanya sempat hijau oleh senyumanmu.
Tapi sia-sia. Daun itu tak lagi ada. Lalu aku memejam kembali hingga dua orang keluar dari bola mataku dan masuk ke sana lagi. Mereka tercengang melihat langit di kepala begitu benderang.
Kupakai kaca mata hitam. Mendongak ke langit dunia dan semakin yakin matahari berbentuk bulat. Berbeda dengan matahari di kepalaku yg berbentuk daun.
Matahari daun. Atau daun yang menjelma matahari. Sinarnya terang tapi tak menyengat. Namun tiba-tiba ada yang terbakar di ujung ranjang.
Dalam sekejap sebidang ranjang penuh kibar kobaran. Seperti ilalang diamuk angin. Di tengah ranjang itu, di balik selimut kerinduan. Hatiku menggigil. Hatiku, sosok yang sempat kekar. Sempat mekar oleh senyumanmu.
0 komentar:
Posting Komentar