Kau :
Aku tak suka
saya. Senang satu ikat kita. Mereka reka kelompok kelopak mana yang gugur
setelah aku paku pada seketika kita.
Aku :
Aku pun tak
reka senang atas paku yang aku tancapkan. Semisal pilar pemanggul atap sinar.
Penahan gelapnya mata.
Kau :
Mata gelap. Paku
menancap. Apa nan hendak jadi ceritera pada bibir sepi yang perlahan mengucap?
Aku :
Bisu kupatri pada
nyata yang tak bisa diharap. Kisah indah kau tebas saat kelopak mulai mekar. Wewangi kunanti. Angin menabur angin.
Kau :
Wangi kenang
kenanga ke mana cari. Hanya sebatang lalang menahan rubuh, menatah nafas,
menghitung bilang hari dari saat kau pergi.
Aku :
Sadarkah, kala
tubuhku pergi meninggalkanmu, adalah hati sedang menyelami kisah terbesar yang
ada dalam hidupku. Kisah itu adalah dirimu.
Kau :
Aku kisah yang
dituturkan hujan. Digenangkan mata cuaca. Maka selamlah sehingga. Luap laut
tumpah terbaca bukan sebagai air mata.
Aku :
Keharuan
langit yang tercipta memaksa bola mata tenggelam dalam biru kisah tertahan.
Raih tanganku dan bawa diriku menyelami hatimu. Hingga terenang terbang sayap
pembawa harap.
Kau :
Pada hasrat
yang mengemas, maka bentang kepak sayapku tiada bersayup cemas. Sekalipun
terpanah badai berdarah. Sekalipun patah.
Aku :
Luka tercipta
pada tiap kepak sayap saat kau pergi meninggalkanku, sayup angin bawa kabarmu
dalam samar. Aku buta melangkah.
Kau :
Kepergian ini
serakit sakit sehilang bintang. Maka kubakar sumbu di tangan sebagai mata angin
yang tak melihat selain cakrawala hatimu.
Aku :
Suar mana yang
harus kutuju saat lilin hati meredup, bebintang sekalipun ternaungi muramnya
langit, suluk hidupku menanti hadirmu.
Kau :
Tetap tegaklah
di situ saja. Suar itu hanya pelita yang berputar-putar. Aku pun masih
terombak. Hilang pantai terangkat jangkar.
Aku :
Kunanti
jangkar kau jatuhkan dalam samudera rindu. Kupasrah harap pada debur ombak yang
membimbingmu berlabuh ke dermaga cinta.
Kau :
Atau kau
lipatkan putih doa, biar aku tandai pendar cahayanya yang lesat tika menjadi
lapis langit dunia.
Aku :
Terbentang
mimbar tempat mengharap sinarMu, suci untai kata terucap bahagia selalu dalam
naunganmu, aku pasrah takdir mempertemukan kami.
NB: teriring terima kasih tak hingga teruntuk @onlyDODO yang telah menjadi "Aku". Di alun melayu, kita melayar kata yang tak berkasta. Sedatar mata memandang mata, selembut jiwa berdendang jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar