Senin, 21 Maret 2011

Kata Berbalas Cinta


Kau :
Aku tak suka saya. Senang satu ikat kita. Mereka reka kelompok kelopak mana yang gugur setelah aku paku pada seketika kita.

Aku :
Aku pun tak reka senang atas paku yang aku tancapkan. Semisal pilar pemanggul atap sinar. Penahan gelapnya mata.

Kau :
Mata gelap. Paku menancap. Apa nan hendak jadi ceritera pada bibir sepi yang perlahan mengucap?

Aku :
Bisu kupatri pada nyata yang tak bisa diharap. Kisah indah kau tebas saat kelopak mulai mekar.  Wewangi kunanti. Angin menabur angin.

Kau :
Wangi kenang kenanga ke mana cari. Hanya sebatang lalang menahan rubuh, menatah nafas, menghitung bilang hari dari saat kau pergi.

Aku :
Sadarkah, kala tubuhku pergi meninggalkanmu, adalah hati sedang menyelami kisah terbesar yang ada dalam hidupku. Kisah itu adalah dirimu.

Kau :
Aku kisah yang dituturkan hujan. Digenangkan mata cuaca. Maka selamlah sehingga. Luap laut tumpah terbaca bukan sebagai air mata.


Aku :
Keharuan langit yang tercipta memaksa bola mata tenggelam dalam biru kisah tertahan. Raih tanganku dan bawa diriku menyelami hatimu. Hingga terenang terbang sayap pembawa harap.

Kau :
Pada hasrat yang mengemas, maka bentang kepak sayapku tiada bersayup cemas. Sekalipun terpanah badai berdarah. Sekalipun patah. 

Aku :
Luka tercipta pada tiap kepak sayap saat kau pergi meninggalkanku, sayup angin bawa kabarmu dalam samar. Aku buta melangkah.

Kau :
Kepergian ini serakit sakit sehilang bintang. Maka kubakar sumbu di tangan sebagai mata angin yang tak melihat selain cakrawala hatimu. 

Aku :
Suar mana yang harus kutuju saat lilin hati meredup, bebintang sekalipun ternaungi muramnya langit, suluk hidupku menanti hadirmu.

Kau :
Tetap tegaklah di situ saja. Suar itu hanya pelita yang berputar-putar. Aku pun masih terombak. Hilang pantai terangkat jangkar.

Aku :
Kunanti jangkar kau jatuhkan dalam samudera rindu. Kupasrah harap pada debur ombak yang membimbingmu berlabuh ke dermaga cinta.

Kau :
Atau kau lipatkan putih doa, biar aku tandai pendar cahayanya yang lesat tika menjadi lapis langit dunia. 

Aku :
Terbentang mimbar tempat mengharap sinarMu, suci untai kata terucap bahagia selalu dalam naunganmu, aku pasrah takdir mempertemukan kami.


NB: teriring terima kasih tak hingga teruntuk @onlyDODO yang telah menjadi "Aku". Di alun melayu, kita melayar kata yang tak berkasta. Sedatar mata memandang mata, selembut jiwa berdendang jiwa.

0 komentar:

Posting Komentar