Cahaya matahari menjilati kilau
emas tubuh muaro yang menghanyut tenang. Layar-layar kapal gembung disangkari
angin, mengarung sesak oleh rempah dan lada kerinci yang membuat lidah saudagar
tiongkok mayau kepayang. Punggau, singgasana Dharmasraya yang pamit lima puluh
pandang dari tahta mula tak jua menyurutkan hilir mudik kapal Gujarat pun Cina yang memuat kapas, kain, dan benang
emas. Arus perdagangan masih berpusar deras sebab buih ombak Selat Melaka masih
terbau garamnya dari sini. Tentu saja perihal itu membuat Sri Wijaya lantas
cemburu kemudian memintal setumpuk siasat.
Di sepanjang arus muaro rumah-rumah
panggung bulian betam ditanam bersejajar. Tanah kampungnya begitu basah. Pabilo
ditanam, padi kan ranum. Pabilo ditakuk, durian kan rindang. Tiap-tiap
manusianya telah paham kemana badan menganut adat. Sebab telah dimulakan pada hari pagi perempuan-perempuan sehabis
beranak berjongkok di ujung titian kayu, mencelup separuh badan bayinya yang
belum lunas bulan kedalam sungai. Membiarkan sejenak tubuh telanjang itu dikenali
arus. Barulah kemudian diangkat dan dipeluk si perempuan dalam buncah airmata. ”Telah
sah melayu kau, hai Bujang!”
0 komentar:
Posting Komentar