Nun, di julur seranting perdu berdaun ungu. Di sebuah negeri
awan ampas paling kapas tempat kami memutek rahim. Lenggang dalam kokoh
sebatang tubuh yang tak berimbuh rubuh. Sampai tiba takdir yang semampai mentitahkan
kami mengkal; berbuncahan, berkerubut, bersentuh rengkuh dalam rengkuh-rengkuh
kecil licin nan wangi. Bulat penuh, bening kaca. Seribu, sejuta atau mungkin
tak terjamah perhitungan isi tengkulukmu.
Kami tak empu sebutan, seperti yang lelah-telah, sebab
selain juga tak ada berfedahnya perihal itu. Cukuplah kami dimafhumi
(*kadangkala) sebagai gulir-gemulir pucat yang mengurai pejal dan amis jamuan
malam Rembulan kepada Matahari, atau juga sebagai sebasuh sela-sela jemari
perjalanan kaki tua Tuan Musim nan sengak amat kemarau. Ah, mana pernah pernah
kami ambil pusing perihal itu.
Dua menit; seratus dua puluh langgam, ketika amat pun singkat
masa kami sempurna, dengan lembut sesuatu serupa ajal mengusap kami lembut di tengkuk.
Mengisyaratkan tetarian penutup kemana perhelatan dihalau, seperti nan sepunggau-punggau.
Lalu kami pun menjodohkan jemari bertungkup-tungkupan, beringsut
elok seiring tetabuhan gendang besak dan akordion (langgam bekaseh*), mengemasi
wangi kedalam kecampang pandan, lalu mengiring irama memudak liang segelap
entah. Yang sedari mula sigap merangkum syahdu langkah kami kembali. layaknya ritual
setelah mengalamatkan lipat sirih kepada suluk tangkup seorang tamu digdaya.
(gendang besak dan akordion rehat. jenjang dan halaman rumah panggung dikhitbah
sunyi).
Sementara lain cerita-cerita berhelat. Di putek lain yang
dahannya menjulur kepada rerumputan tinggi bersemu ungu, kami kembali merahim.
Menanti masa nan mengkal kembali menebahkan kami. Sebab masih ada seratus dua
puluh langgam lain yang harus tunai lunas. Ibarat pelita sampan bersauh labuh, batang ke batang, muara ke muara; tak kunjung padam. Hingga anyir gerugut garam melapukkan lambungnya karam, dan
pukat bujang tanjung tak lagi tunjam.
0 komentar:
Posting Komentar