Kita tak pernah tahu seberapa besar potensi seseorang untuk menghancurkan dunia, sampai kita datang ke sebuah pesta perkawinan dan mendapati ia memegang mic, menjerit, dan diiringi musik.
Kalimat tersebut adalah petikan dari salah satu status di twitter saya yang juga saya forward ke facebook. Beberapa teman merespon. Mulai dari “LOL”, “Iya aku ngalamin juga tuh”, sampai “maksudnya?” Hemm... (menanggapi komentar yang terakhir) meskipun facebook itu hadir lebih dulu, tapi saya kok malah melihatnya seperti dunia berpentium dua alias loading lama. Banyak hal yang udah lazim di twitter dengan kalimat sarkas tingkat tinggi, atau hal-hal yang lainnya kalau dibawa ke facebook masih belum bisa dicerna dengan baik.
Well, kita tak sedang membahas tentang facebook dan twitter sekarang.
Pernikahan itu perayaan, yap mungkin seperti itu (dengan segala definisi atauperpanjagan arti dari perayaan). Makanya memang dalam penyelenggaraannya harus relatif ramai, meriah, relatif jedag-jedug, atau bahkan ajep-ajep, halaah.
Bentuknya? Macem-macem. Yang paling umum itu organ tunggal atau hingga musik dengan peralatan band yang lengkap. Namun begitu, pernah saya jumpai beberapa orang dari golongan tua, dari pembicaraan mengenai hal ini sepertinya mereka resah dengan perhelatan pernikahan sekarang yang makin cenderung kebarat-baratan.
Kembali ke perihal ramai. Sebagai orang yang bisa terbunuh oleh keramaian (jiaahh, serem amat) saya lebih sering ke acara pernikahan dengan perasaan terpaksa (yayaya ini pengakuan terbesar abad ini). Kalo gak karena tetangga, keluarga, atau teman dekat biasanya rasa malasnya bertubi-tubi-tubi-tubi (back sound d’bagindas).
Paling apes kalo sudah dateng, tanda tangan buku tamu, kasih kado atau masukkan amplop, ambil piring dan ambil makanan dengan membabi buta, lalu duduk (biasanya gini sih SOPnya), eh duduknya di depan menara sound yang mulia itu, hadeuuhh.
Lebih parahnya lagi, panggung pernikahan itu kerap jadi surganya para karaokeers pemula (gratis, dilihat dan didengarkan puluhan hingga ratusan orang pula). Maaf ini tidak bermaksud ingin merendahkan atau apa-apa. Tapi memang sering saya temui , alih-alih ingin memberikan suara pada hadirin, beberapa tamu penyumbang yang baik itu malah lebih terdengar sebagai suara jeritan daripada suara nyanyian, atau bahkan suara mereka itu tak pantas disebut sebagai nada! *begaya ala Simon Cowell*
Weitss… yang merasa tersinggung jangan pada ngambek dulu ya, suara pas-pasan, lirik asal-asalan itu sebenarnya tidak –terlalu- masalah, paling pol gangguan itu sampai hanya pada taraf pendengaran. Coba bandingkan dengan ini; suara bolehlah, lirik-lirik dari lagu tempo dulu hingga terbaru banyak yang hafal, TAPI tampilannya itu (biasanya ini malah sang Biduanita yang secara professional dikontrak bersama dengan musik pengiring) seronok luar biasa.
Entah itu sudah menjadi semacam paket yang wajib ada atau seperti apa. Dan yang saya heran kenapa golongan ibu-ibu yang dalam hal ini sebagai pihak yang dirugikan tak protes dan membiarkan suami-suami mereka ‘menikmati’ pertunjukan yang kurang layak itu. Apakah pihak keluarga mempelai juga sengaja menghadirkannya agar acaranya menarik? Apakah acara itu diadakan secara tertutup dan di pintu masuk ada petugas yang memeriksa ktp untuk memastikan yang hadir delapan belas tahun ke atas?
Yah, saya memang belum mengerti benar tentang hal ini. atau pula saya pasih kesusahan untuk melogikakan nalar saya agar hal ini terkesan biasa dan wajar. Jadi tolong dibantu ya… prok prok prok… (gak nyambung woiii).
Seperti seorang yang melempar Ferari ke jurang dan memilih sepeda butut yang kempes dan peot bannya, seperti itulah mungkin gambaran (yaah ini memang bukan analogi yang tepat dan menarik) masyarakat kita yang lebih memilih nuansa kebaratan yang ‘serba terbuka’. Saya jadi teringat lagi perkataan golongan tua yang saya temui waktu itu; bahwa kita punya kebudayaan yang kaya, unik, menarik, cantik dan sangat ketimuran. Lantas kenapa itu malah kita tinggalkan?
Nb : mungkin ada yang bertanya-tanya tentang budaya yang menarik untuk perhelatan pernikahan itu bentuk kongkritnya seperti apa, tunggu aja pada postingan berikut-berikutnya ya… hehe (dilempar kompangan)
0 komentar:
Posting Komentar