Sabtu, 26 Februari 2011

Pada Mulanya Adalah Delay Pesawat Lalu Perjalanan dari Preman ke Preman

 


15:11:56 “Ajari aku cara untuk tersenyum.”

Seperti gerak refleks jempolku mengetikkan kata-kata itu lalu mempostingkannya di twitter (mungkin ia tak tahan juga melihat aku manyun melulu). AC ruang tunggu bandara yang berhembus sangat dingin sepertinya tak mempan buat menenangkan desah resah gelisah (halah) para calon penumpang. Malah sepertinya hawa dingin itu yang membuat awet rasa kesal kami penumpang.

Kurogoh tiket di tas kecilku. Seharusnya pesawat tujuan Jambi Jakarta ini berangkat jam 15.50 tapi sekarang jam 16.45 pesawatnya pun belum datang dari Jakarta. Errr....! Iya memang paling malas kalau perjalanan jadi terlambat kayak begini. Belum lagi kami berdua (Tommy dan Muhyi penghuni punai merindu ini) harus masih mengejar kereta di Jatinegara. Tapi mau gimana lagi, mau jambak-jambak petugas bandaranya pun, toh pesawatnya juga tak bakalan lekas datang.

18:45:12 Semoga dengan pembagian snack ini bukan pertanda buruk. -belum ada info kapan akan berangkat- (tulisku lagi di twitter)

Mungkin dengan sedikit analogi bahwa orang-orang berperut kosong akan gampang marah (ini versi buruk sangka) akhirnya pihak maskapai membagi snack. Ah, tapi tetap saja wajah-wajah gelisah itu tak terhapus. Di sebelahku ada seorang bapak yang dari garis wajahnya bisa di tebak kalau beliau ini berasal dari negerinya Chibi Maruko Chan (pada tau kan ya kartun lucu ini). Bapak yang sepertinya bepergian sendiri itu beberapa kali mondar-mandir, melongok lewat dinding kaca yang sedikit gelap, lalu duduk lagi membaca majalah yang penuh dengan huruf-huruf kanji (eh bener kan ya, itu sebutan untuk huruf Jepang).

Sementara itu, kami dengan tidak senonoh, melepaskan hasrat narsis-narsis cuih dengan saling potret, dengan kamera pinjaman pulak. Hadehh.. .. Tiga orang lain di samping kami (dua nenek2 dan satu kakek) mungkin kerap melirik kami dengan pandangan jijik kali ya. Hahaha... biarin!

18:54:00 Tiba-tiba nama kami berdua disebut di pengeras suara.


Hufftt, kaget. Jangan-jangan kami kedapatan bawa dua kilogram ganja di bagasi. Eh rupanya seatnya ditukar jadi kursi deret nomor dua. Bengong mintak ampun. ADA APA DI BALIK INI SEMUA?!! Tetiba suara Fenny Rose keluar dari tiket yang udah berganti seat. (Setelah diselidiki ini rupanya ulah adikku yang dulu pernah kerja di maskapai ini, dan meminta petugasnya mindahin tempat duduk. wah hebat banget adikku itu yah, lewat telfon aja bisa ngatur-ngatur orang bandara, Tsk).

20:30:52 Boarding.

Woaaa... delay nyaris LIMA JAM Cuy! Dan setelah satu jam lima menit di pesawat akhirnya mendarat dengan selamat mendarat di Soekarno-Hatta. Tapi justru setelah mendarat kami malah bertambah cemas, kereta yang lewat Kebumen tak mungkin lagi diharap. Pilihannya tinggal bis (dalam benakku masih terbayang bagaimana pelayanan angkutan bis yang tak memuaskan). Kalau ke Pulo Gadung semalam ini rasanya seperti menyerahkan diri ke sarang penyamun. Dan akhirnya dengan bis Damri kami berangkat ke Rawamangun.

22:35:13 Rawamangun yang sepi.

Ya ampun sudah tak ada bis yang nongkrong. Loket-loket  tutup dan kosong. Padahal Omku yang tinggal di Pondok Gede sudah berkali-kali telfon, meminta kami menginap dulu semalam di rumahnya, namun mengingat jadwal seminggu ke depan ini sangat padat, jadi ya kutolak mentah-mentah (jahat gak sih).

Beberapa orang mulai dari nawarin taksi, ojek, hingga gendong (emang ada gitu?) mendekat. Tapi kami bilang “Nunggu jemputan.” (Dalam hati: nunggu jemputan bis maksudnya). Tapi menjelang jam sebelas malam ini, belum ada tanda-tanda ada bis yang akan datang dan berangkat ke jawa. 

Dua tas ransel yang kami bawa kami jaga dengan hati-hati. Ke toilet pun bergantian. Memang tak ada barang begitu berharga selain laptop, tapi harta tetap lah harta dan nyawa harus dibalas dengan nyawa (lho). Beberapa saat kemudian gerimis turun seperti ingin melengkapi nuansa tragis kami, yang juga berperut kosong belum terisi nasi. Malam makin gelap di langit Jakarta.

Saat akan beli makan ada calo mendekat menawarkan bis ke Jawa. Aku tetap bilang tidak. Akan berapa kali lipat harganya nanti kalau lewat calo. Tapi seketika terbitlah secercah harapan (jiah) berarti masih akan ada bis ke Jawa.

Dan benar, ternyata di samping warung nasi padang itu masih ada satu loket yang buka. Beberapa penumpang lain jurusan Surabaya, Pati, Semarang dsb juga beli, yang pada akhirnya menggerutu karena harga tiketnya yang TERLALU. 

Dua tiket yang dimasukkan dalam satu amplop sudah di tangan, tapi aku masih merasa ada yang janggal.

23:01:43 Ada bis yang datang. Jurusan Surabaya.

Masih menunggu lagi, pikirku. Karena bis jurusan Surabaya ini akan lewat jalur utara dan hanya akan mengangkut penumpang yang bertujuan kota-kota yang dilewatinya. Tapi ternyata tidak sodara-sodara! Kami disuruh naik juga. Ah sudah tak beres ini, pasti nanti akan ada oper sana oper sini. Bisnya memang berAC tapi untuk ini teralu mahal untuk tempat duduk sekeras dan sesempit ini.

03:13:07 Singgah di Rumah Makan Sinar Minang. Indramayu

Seketika bis berhenti, aku berebut turun. Ingin segera membebaskan diri dari AC bis yang sangat dingin dan sangat tak bisa ditutup apalagi sangat dimatikan! Heh. Memang bis ini sudah seperti kulkas berjalan. Teramat Dingin. Dingin yang seperti ribuan jarum menusuk-nusuk kulit hingga tulang. Membekukan air mata sebelum sempat diteteskan. Sepanjang perjalanan aku menggigil dengan tangan yang sia-sia meraih kehangatan di saku jaket.

Yah wajar jugalah dengan tiket semahal ini dapat fasilitas makan malam (dengan menunjukkan tiket), gumamku sambil mengantri di antara penumpang lain. Tapi betapa kagetnya ketika petugas kasir menegur. “Mas, ini kupon makannya kok sudah disobek?” “Lho mbak, itu amplop tiketnya belum kubuka-buka dari loketnya kok.” “Iya, tapi ini tidak ada. Berarti harus bayar.” Alamak! Apa bedanya aku dengan penumpang-penumpang lain yang masih dapat fasilitas makan. Kenapa pula petugas loket itu merobek kupon makanku?!

07:35:41 Dioper. Diturunkan dengan tidak legal di pinggir jalan di dekat Terminal Tegal!

Seperti orang hilang, kami ‘dititipkan’ kepada seorang calo yang sepertinya sudah terbiasa stand by di pinggir jalan itu. 

“Kalau ke Purwokerto lebih cepat naik ini saja Mas.” katanya menunjuk bis kecil tanggung dua pintu.
“Kami kan mau ke Kebumen Pak bukan ke Purwokerto.”
“Wah kalau ke Kebumen susah, harus ke Purwokerto dulu. Ini juga kurang uangnya.”
“Lho. Kami bayar tiketnya sampai ke Kebumen. Bapak kan sudah dapat uang dari kondektur bis tadi.” aku dengar betul mereka tawar-menawar harga saat turun dari bis tadi.
“Uang segitu masih kurang.”
“Kenapa bapak tak minta tambah ke kondekturnya tadi!” nadaku meninggi.

Malas ribut-ribut lagi dan ingin segera sampai (bila sesuai dengan schedule dan dengan naik kereta seharusnya kami sudah sampai di Kebumen jam empat subuh tadi, tapi sekarang masih harus menempuh sekitar empat jam perjalanan lagi), akhirnya kami naik bis kecil yang tentunya jauh lebih kecil dan tidak berAC itu.

“Kalau naik ini pokoknya mas tidak usah bayar lagi!” kata calo itu tersenyum di depan kami dan kondektur bis kecil yang akan membawa kami itu.

Heh, tentu saja lah tak usah bayar lagi. Itu memang hak kami, gumamku. Dan pantas saja dia tersenyum karena uang yang ia beri ke kondektur itu hampir separuh dari yang ia dapat dari kondektur Bis Surabaya yang entah sudah sampai mana sekarang.

Akhirnya, dengan bis itu kami berangkat ke Purwokerto, yang artinya masih harus menyambung bis  ke Kebumen, yang artinya pula harus merogoh kantong lagi. Dan kami pun harus bersabar mengurung hasrat segera sampai, karena bis sebentar-sebentar berhenti, menaikturunkan penumpang. 

Namun baru beberapa belas menit tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.

“Mas, ongkosnya kurang!”



0 komentar:

Posting Komentar