15:11:56
“Ajari aku cara untuk tersenyum.”
Seperti
gerak refleks jempolku mengetikkan kata-kata itu lalu mempostingkannya di
twitter (mungkin ia tak tahan juga melihat aku manyun melulu). AC ruang tunggu
bandara yang berhembus sangat dingin sepertinya tak mempan buat menenangkan
desah resah gelisah (halah) para calon penumpang. Malah sepertinya hawa dingin
itu yang membuat awet rasa kesal kami penumpang.
Kurogoh
tiket di tas kecilku. Seharusnya pesawat tujuan Jambi Jakarta ini berangkat jam
15.50 tapi sekarang jam 16.45 pesawatnya pun belum datang dari Jakarta.
Errr....! Iya memang paling malas kalau perjalanan jadi terlambat kayak begini.
Belum lagi kami berdua (Tommy dan Muhyi penghuni punai merindu ini) harus masih
mengejar kereta di Jatinegara. Tapi mau gimana lagi, mau jambak-jambak petugas
bandaranya pun, toh pesawatnya juga tak bakalan lekas datang.
18:45:12
Semoga dengan pembagian snack ini bukan pertanda buruk. -belum ada info kapan
akan berangkat- (tulisku lagi di twitter)
Mungkin
dengan sedikit analogi bahwa orang-orang berperut kosong akan gampang marah
(ini versi buruk sangka) akhirnya pihak maskapai membagi snack. Ah, tapi tetap saja
wajah-wajah gelisah itu tak terhapus. Di sebelahku ada seorang bapak yang dari
garis wajahnya bisa di tebak kalau beliau ini berasal dari negerinya Chibi
Maruko Chan (pada tau kan ya kartun lucu ini). Bapak yang sepertinya bepergian
sendiri itu beberapa kali mondar-mandir, melongok lewat dinding kaca yang
sedikit gelap, lalu duduk lagi membaca majalah yang penuh dengan huruf-huruf
kanji (eh bener kan ya, itu sebutan untuk huruf Jepang).
Sementara
itu, kami dengan tidak senonoh, melepaskan hasrat narsis-narsis cuih dengan
saling potret, dengan kamera pinjaman pulak. Hadehh.. .. Tiga orang lain di
samping kami (dua nenek2 dan satu kakek) mungkin kerap melirik kami dengan
pandangan jijik kali ya. Hahaha... biarin!
18:54:00
Tiba-tiba nama kami berdua disebut di pengeras suara.
Hufftt,
kaget. Jangan-jangan kami kedapatan bawa dua kilogram ganja di bagasi. Eh
rupanya seatnya ditukar jadi kursi deret nomor dua. Bengong mintak ampun. ADA
APA DI BALIK INI SEMUA?!! Tetiba suara Fenny Rose keluar dari tiket yang udah
berganti seat. (Setelah diselidiki ini rupanya ulah adikku yang dulu pernah
kerja di maskapai ini, dan meminta petugasnya mindahin tempat duduk. wah hebat
banget adikku itu yah, lewat telfon aja bisa ngatur-ngatur orang bandara, Tsk).
20:30:52
Boarding.
Woaaa...
delay nyaris LIMA JAM Cuy! Dan setelah satu jam lima menit di pesawat akhirnya
mendarat dengan selamat mendarat di Soekarno-Hatta. Tapi justru setelah
mendarat kami malah bertambah cemas, kereta yang lewat Kebumen tak mungkin lagi
diharap. Pilihannya tinggal bis (dalam benakku masih terbayang bagaimana
pelayanan angkutan bis yang tak memuaskan). Kalau ke Pulo Gadung semalam ini
rasanya seperti menyerahkan diri ke sarang penyamun. Dan akhirnya dengan bis
Damri kami berangkat ke Rawamangun.
22:35:13
Rawamangun yang sepi.
Ya
ampun sudah tak ada bis yang nongkrong. Loket-loket tutup dan kosong. Padahal Omku yang tinggal
di Pondok Gede sudah berkali-kali telfon, meminta kami menginap dulu semalam di
rumahnya, namun mengingat jadwal seminggu ke depan ini sangat padat, jadi ya
kutolak mentah-mentah (jahat gak sih).
Beberapa
orang mulai dari nawarin taksi, ojek, hingga gendong (emang ada gitu?)
mendekat. Tapi kami bilang “Nunggu jemputan.” (Dalam hati: nunggu jemputan bis
maksudnya). Tapi menjelang jam sebelas malam ini, belum ada tanda-tanda ada bis
yang akan datang dan berangkat ke jawa.
Dua
tas ransel yang kami bawa kami jaga dengan hati-hati. Ke toilet pun bergantian.
Memang tak ada barang begitu berharga selain laptop, tapi harta tetap lah harta
dan nyawa harus dibalas dengan nyawa (lho). Beberapa saat kemudian gerimis
turun seperti ingin melengkapi nuansa tragis kami, yang juga berperut kosong
belum terisi nasi. Malam makin gelap di langit Jakarta.
Saat
akan beli makan ada calo mendekat menawarkan bis ke Jawa. Aku tetap bilang
tidak. Akan berapa kali lipat harganya nanti kalau lewat calo. Tapi seketika
terbitlah secercah harapan (jiah) berarti masih akan ada bis ke Jawa.
Dan
benar, ternyata di samping warung nasi padang itu masih ada satu loket yang
buka. Beberapa penumpang lain jurusan Surabaya, Pati, Semarang dsb juga beli, yang
pada akhirnya menggerutu karena harga tiketnya yang TERLALU.
Dua
tiket yang dimasukkan dalam satu amplop sudah di tangan, tapi aku masih merasa
ada yang janggal.
23:01:43
Ada bis yang datang. Jurusan Surabaya.
Masih
menunggu lagi, pikirku. Karena bis jurusan Surabaya ini akan lewat jalur utara
dan hanya akan mengangkut penumpang yang bertujuan kota-kota yang dilewatinya.
Tapi ternyata tidak sodara-sodara! Kami disuruh naik juga. Ah sudah tak beres
ini, pasti nanti akan ada oper sana oper sini. Bisnya memang berAC tapi untuk
ini teralu mahal untuk tempat duduk sekeras dan sesempit ini.
03:13:07
Singgah di Rumah Makan Sinar Minang. Indramayu
Seketika
bis berhenti, aku berebut turun. Ingin segera membebaskan diri dari AC bis yang
sangat dingin dan sangat tak bisa ditutup apalagi sangat dimatikan! Heh. Memang
bis ini sudah seperti kulkas berjalan. Teramat Dingin. Dingin yang seperti
ribuan jarum menusuk-nusuk kulit hingga tulang. Membekukan air mata sebelum sempat
diteteskan. Sepanjang perjalanan aku menggigil dengan tangan yang sia-sia
meraih kehangatan di saku jaket.
Yah
wajar jugalah dengan tiket semahal ini dapat fasilitas makan malam (dengan
menunjukkan tiket), gumamku sambil mengantri di antara penumpang lain. Tapi
betapa kagetnya ketika petugas kasir menegur. “Mas, ini kupon makannya kok
sudah disobek?” “Lho mbak, itu amplop tiketnya belum kubuka-buka dari loketnya kok.”
“Iya, tapi ini tidak ada. Berarti harus bayar.” Alamak! Apa bedanya aku dengan
penumpang-penumpang lain yang masih dapat fasilitas makan. Kenapa pula petugas
loket itu merobek kupon makanku?!
07:35:41
Dioper. Diturunkan dengan tidak legal di pinggir jalan di dekat Terminal Tegal!
Seperti
orang hilang, kami ‘dititipkan’ kepada seorang calo yang sepertinya sudah
terbiasa stand by di pinggir jalan itu.
“Kalau
ke Purwokerto lebih cepat naik ini saja Mas.” katanya menunjuk bis kecil
tanggung dua pintu.
“Kami
kan mau ke Kebumen Pak bukan ke Purwokerto.”
“Wah
kalau ke Kebumen susah, harus ke Purwokerto dulu. Ini juga kurang uangnya.”
“Lho.
Kami bayar tiketnya sampai ke Kebumen. Bapak kan sudah dapat uang dari
kondektur bis tadi.” aku dengar betul mereka tawar-menawar harga saat turun
dari bis tadi.
“Uang
segitu masih kurang.”
“Kenapa
bapak tak minta tambah ke kondekturnya tadi!” nadaku meninggi.
Malas
ribut-ribut lagi dan ingin segera sampai (bila sesuai dengan schedule dan
dengan naik kereta seharusnya kami sudah sampai di Kebumen jam empat subuh
tadi, tapi sekarang masih harus menempuh sekitar empat jam perjalanan lagi),
akhirnya kami naik bis kecil yang tentunya jauh lebih kecil dan tidak berAC
itu.
“Kalau
naik ini pokoknya mas tidak usah bayar lagi!” kata calo itu tersenyum di depan
kami dan kondektur bis kecil yang akan membawa kami itu.
Heh,
tentu saja lah tak usah bayar lagi. Itu memang hak kami, gumamku. Dan pantas
saja dia tersenyum karena uang yang ia beri ke kondektur itu hampir separuh
dari yang ia dapat dari kondektur Bis Surabaya yang entah sudah sampai mana
sekarang.
Akhirnya,
dengan bis itu kami berangkat ke Purwokerto, yang artinya masih harus
menyambung bis ke Kebumen, yang artinya
pula harus merogoh kantong lagi. Dan kami pun harus bersabar mengurung hasrat
segera sampai, karena bis sebentar-sebentar berhenti, menaikturunkan penumpang.
Namun
baru beberapa belas menit tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
“Mas,
ongkosnya kurang!”
0 komentar:
Posting Komentar