Minggu, 27 Februari 2011

Walau Galau



LUKA juga bisa menjelma ruang bertembok tebal dan kedap suara. Di mana kau bisa mengaduh segaduh-gaduhnya, pun semesra-mesra bersamaNya.


KATA CINTAMU tak perlu sayap untuk sampai di dengarku. Telingaku sendiri yang akan merangkainya. Dari segala gemuruh aduh hingga nyeri paling sunyi.


ADA KALA mengayuh dayung. Ada masa layar terkembang. Pasrah pada angin dan gelombang. Yang diam-diam melupakan aku pada sebuah dermaga. Sebuah nama.


SEPERTI LAUT sibuk di ujung tanjung. Menahan gemuruh di relung jantung. Menggapai menyibak pasiran. Memunguti pecahan gelombang. Air matanya sendiri.


TAK KUDENGAR bahkan langkah matahari seberdebam ini. Ruang rungu tak berpenunggu. Pemiliknya pergi ke puri hati. Yang hanya ada getar swaramu.


ELOK BUMI segala tumpu. Namun resah hati siapa menahu. Sepadam sepi ingin dihuraikan. Remang menggenang renang hingga hujung kenang.


TIADALAH KEBUN ini melain tetabah musim. Maka maafkanlah tubuhmu yg pilu menanggung rindu. Karena bebuah inipun menanggung begitu.


LUKAKU, seperti seceruk danau yang mampu menampung berabad-abad tangis benua.


LIHATLAH ISYARAT RANGGAS JATI. Kemarau yang mengemas pergi. Bila nanti kaudengar suara hujan pertama. Maka aku telah sampai. Jatuh berkeping di hatimu.


KUSUDAHKAN AIR MATAKU dari mengeja kepergiannya. Meski diam-diam aku tak mampu terpejam dalam kepedihan paling rajam.


KAMI PATAHKAN SEMENANJUNGMU, menjadi telaga yang merendam sebulat mata-gelisah-harimu.


PAGI DUHAI MATAHARI. Mendekatlah. Kuraslah habis tujuh samudera. Beri aku tempat untuk mengalirtampungkan air mata.


TUNTUTAN-TUNTUTAN ITU akan terus mengejarmu hingga kau jatuh, lemah dan terbunuh. Lalu kau kan bangkit lagi. Dengan sayap yang lebih kuat. Lalu kau akan dikejar lagi, dengan tuntutan-tuntutan yang lebih lesat. Lebih menyesat.

0 komentar:

Posting Komentar