Sabtu, 02 Februari 2013

Life of Pi Vs Life of Pi - Part I

link foto


Sebelum saya melakukan tindakan bodoh itu, kisah berikut ini mungkin bisa menjadi pengantar yang baik.

Malam itu saya sengaja datang. Hanya untuk sebuah kepastian. Meskipun saya belum terlalu berani untuk menghadapinya. Saya takut jikalau yang saya dapat nanti adalah kepastian bahwa ia tak jadi datang. Itu akan menyakitkan sekali.

Tapi nyatanya ketakutan itu terkalahkan juga. Takhluk  oleh sebutir keinginan untuk berharap (kadarnya lebih rendah dari harapan). Seperti sebutir peluru kecil yang bersarang di jantung serdadu. Merobohkan tubuh beserta meriam tembak yang tengah ia sandang sebelumnya. Keinginan yang kecil itu telah menaklukkan kekuatan ketakutan yang besar.

Dengan cepat kedua kaki membawa tubuh. Membelah kerumunan. Lalu menapak pada tangga berjalan. Tangan saya mengetuk-ngetuk bidang pegangannya. Tak mampu menyembunyikan kecemasan. Begitu sampai di ujung tangga kaki saya langsung bergegas lagi. Melangkah-langkah lalu menapak lagi di tangga berikutnya.

Seharusnya ia akan ada di lantai empat.
Begitu sampai di lantai yang dimaksud, mata saya menjadi liar. Membuat kepala saya menolah-noleh kesana kemari. Mencari pertanda-pertanda di wajah-wajah dinding yang dingin. 
Rupanya. Ia tak akan hadir malam ini.

Mataku memastikan lagi. Bahkan untuk malam-malam besoknya! Hati ini serasa remuk seketika. Segera kudatangi seorang perempuan di sudut sana. Harusnya ia tahu. Tapi jawabannya nihil. Tak memuaskan.

“Maaf, kami kurang tahu, semuanya tergantung dari pusat,” katanya

“Tapi akan ada di sini, kan, mbak?” tanya saya, terbata-bata.

“Maaf kami kurang tahu, belum ada info dari pusat.”

“Tapi pasti yang akan nonton banyak lho mbak!”

“Iya, tapi semuanya tergantung pusat.”

Begitu seterusnya, tiap pertanyaan dan pernyataan saya selalu ditimpali dengan jawaban yang sama. Semuanya tergantung pusat. Tiba-tiba di kepala saya terbayang sosok lelaki berpakain jas rapi, duduk dikursinya sambil menatap gelaran peta Indonesia di mejanya, lalu dengan wajah yang licik ia menentukan peredaran film di daerah-daerah dengan semena-mena.

Oh. Tidaaaakkk.

Saya pulang dengan kepala tertunduk lesu.

Tapi. Alih-alih merasa kecewa dan kesal saya justru mengasihani diri sendiri. Sebegitunya perjuangan untuk nonton film. Sebenarnya saya sudah tahu bahwa Life of Pi bahkan tidak ada di daftar ‘coming soon’ tapi saya merasa harus memastkannya langsung, barang kali info di web itu salah, dan barangkali pula saya akan mendapatkan info lebih jelas di sini. Tapi ternyata tidak.

Akhirnya saya lelah sendiri dan berhenti mengasihani diri. Kota kecil ini tidak pantas untuk disalahkan karena tak membuat ‘orang pusat’ itu segera mendistribusikan film-film kesukaan saya. Dan saya pun memutuskan untuk menggunakan cara yang anarkis. Cling!

Setibanya di rumah, saya langsung terlibat pembicaraan via bbm dengan ‘sang bandar’. Dia bilang kalau film masih diputar di bioskop biasanya yang ada baru versi cam (rekaman kamera). Dia menyuruh saya menunggu. Tak lama lagi ada yang versi ‘TS’, kualitasnya lebih baik.

Entah apa yang dimaskud dengan vesi TS itu, yang jelas saya menyutujuinya. Mau bagaimana lagi. Pikiran saya untuk segera membeli tiket pesawat pp jambi-jakarta saya hapus dengan keras. Sampai saya merasa otak saya bolong! Eww.

Beberapa hari kemudian saya dapat kabar lagi, versi yang lebih baik dari cam itu sudah ia dapat. Bahkan ia sudah menontonnya. Dan sangat seru katanya –seperti kata-kata kebanyakan orang yang telah menotonnya-. Hati saya melompat-lompat tak keruan dibuatnya.
Sepulang dari kantor dengan mata yang berbinar-binar saya langsung menontonnya. Namun, semakin lama binar itu semakin meredup. –biar pun semua orang bilang film itu bagus tapi- Saya kecewa dengan filmya.

0 komentar:

Posting Komentar