link foto |
Sebelum saya melakukan tindakan bodoh itu, kisah berikut ini
mungkin bisa menjadi pengantar yang baik.
Malam itu saya sengaja datang. Hanya untuk sebuah kepastian.
Meskipun saya belum terlalu berani untuk menghadapinya. Saya takut jikalau yang
saya dapat nanti adalah kepastian bahwa ia tak jadi datang. Itu akan
menyakitkan sekali.
Tapi nyatanya ketakutan itu terkalahkan juga. Takhluk oleh sebutir keinginan untuk berharap
(kadarnya lebih rendah dari harapan). Seperti sebutir peluru kecil yang
bersarang di jantung serdadu. Merobohkan tubuh beserta meriam tembak yang
tengah ia sandang sebelumnya. Keinginan yang kecil itu telah menaklukkan
kekuatan ketakutan yang besar.
Dengan cepat kedua kaki membawa tubuh. Membelah kerumunan.
Lalu menapak pada tangga berjalan. Tangan saya mengetuk-ngetuk bidang pegangannya.
Tak mampu menyembunyikan kecemasan. Begitu sampai di ujung tangga kaki saya
langsung bergegas lagi. Melangkah-langkah lalu menapak lagi di tangga
berikutnya.
Seharusnya ia akan ada di lantai empat.
Rupanya. Ia tak akan hadir malam ini.
Mataku memastikan lagi. Bahkan untuk malam-malam besoknya! Hati
ini serasa remuk seketika. Segera kudatangi seorang perempuan di sudut sana. Harusnya
ia tahu. Tapi jawabannya nihil. Tak memuaskan.
“Maaf, kami kurang tahu, semuanya tergantung dari pusat,” katanya
“Tapi akan ada di sini, kan, mbak?” tanya saya,
terbata-bata.
“Maaf kami kurang tahu, belum ada info dari pusat.”
“Tapi pasti yang akan nonton banyak lho mbak!”
“Iya, tapi semuanya tergantung pusat.”
Begitu seterusnya, tiap pertanyaan dan pernyataan saya
selalu ditimpali dengan jawaban yang sama. Semuanya tergantung pusat. Tiba-tiba
di kepala saya terbayang sosok lelaki berpakain jas rapi, duduk dikursinya
sambil menatap gelaran peta Indonesia di mejanya, lalu dengan wajah yang licik
ia menentukan peredaran film di daerah-daerah dengan semena-mena.
Oh. Tidaaaakkk.
Saya pulang dengan kepala tertunduk lesu.
Tapi. Alih-alih merasa kecewa dan kesal saya justru mengasihani
diri sendiri. Sebegitunya perjuangan untuk nonton film. Sebenarnya saya sudah
tahu bahwa Life of Pi bahkan tidak ada di daftar ‘coming soon’ tapi saya merasa
harus memastkannya langsung, barang kali info di web itu salah, dan barangkali
pula saya akan mendapatkan info lebih jelas di sini. Tapi ternyata tidak.
Akhirnya saya lelah sendiri dan berhenti mengasihani diri.
Kota kecil ini tidak pantas untuk disalahkan karena tak membuat ‘orang pusat’
itu segera mendistribusikan film-film kesukaan saya. Dan saya pun memutuskan
untuk menggunakan cara yang anarkis. Cling!
Setibanya di rumah, saya langsung terlibat pembicaraan via
bbm dengan ‘sang bandar’. Dia bilang kalau film masih diputar di bioskop
biasanya yang ada baru versi cam (rekaman kamera). Dia menyuruh saya menunggu. Tak
lama lagi ada yang versi ‘TS’, kualitasnya lebih baik.
Entah apa yang dimaskud dengan vesi TS itu, yang jelas saya
menyutujuinya. Mau bagaimana lagi. Pikiran saya untuk segera membeli tiket
pesawat pp jambi-jakarta saya hapus dengan keras. Sampai saya merasa otak saya
bolong! Eww.
Beberapa hari kemudian saya dapat kabar lagi, versi yang
lebih baik dari cam itu sudah ia dapat. Bahkan ia sudah menontonnya. Dan sangat
seru katanya –seperti kata-kata kebanyakan orang yang telah menotonnya-. Hati saya
melompat-lompat tak keruan dibuatnya.
Sepulang dari kantor dengan mata yang berbinar-binar saya
langsung menontonnya. Namun, semakin lama binar itu semakin meredup. –biar pun
semua orang bilang film itu bagus tapi- Saya kecewa dengan filmya.
0 komentar:
Posting Komentar