Sabtu, 02 Februari 2013

Life of Pi Vs Life of Pi - Part II


(baiklah sekarang susah saatnya kita masuk ke bagian/tindakan bodoh saya; membandingkan film dengan buku)


Saya tidak menyalahkan Ang Lee atau siapapun lah itu. Tapi menurut saya tidak seluruh nyawa dalam buku itu tersalurkan (baca: hidup) dalam film ini. 


“Lho sah-sah saja dong, film itu punya keterbatasan durasi, lagipula film kan interpretasi sutradara terhadap keseluruhan buku, terserah dia mau buat jadi apa, bahkan mau mengambil bagian yang mana saja.” Tiba-tiba terdengar suara protes yang entah datangnya dari mana.


Memang. Atau katakanlah film tersebut adalah versi terbaik yang dapat dibuat oleh manusia. Saya pun mengakui banyak visualisasi yang bagus sekali. Seperti petikan-petikan gambar berikut ini.

link foto
link foto
link foto
Pun tokoh-tokoh dalam film itu, bahkan para binatang pun berakting dengan sangat baik. Tapi saya –lagi-lagi- merasa bahwa buku yang hanya berupa lembaran-lembaran kertas putih yang –juga- hanya berisi cetakan huruf-huruf itu jauh labih dahsyat ketimbang versi audio visual yang penuh dengan warna-warni dan suara dari gambar-gambar hidup.


Yann Martel sangat berhasil mengisahkan perjalanan seorang Piscine Molitor Patel. Ceritanya sangat mengalir, sangat berdaya visual, pun mampu membuat kita pembaca betah dan asyik menjalankan kedua mata menulusuri tiap rangkai abjad-abjadnya.


Ia tahu betul bahwa cerita ini sudah sarat dengan tegangan. Dan memang banyak sekali potensi tegangan-tegangan cerita yang ia buang begitu saja, agar ‘perahu cerita’ tidak tenggelam sehingga dapat terus berlayar.

Contoh yang paling utama dan menonjol adalah, di awal kita langsung diceritakan tentang si tokoh saat dewasa, cerita kemudian langsung flashback saat dia masih anak-anak. Ini penting untuk bekal pembaca, karena betapapun ngeri kisahnya nanti, kita bisa menenangkan diri, “Tenang tokohnya tak akan mati.” Berbeda sekali dengan cerita kebanyakan, yang justru menumpukan tegangan cerita pada kemungkinan hidup dan mati sang tokoh utama.


Harimau, perahu sekoci, anak laki-laki seorang diri, dan samudera adalah rangkaian yang sungguh mengerikan. Bila salah menceritakan orang akan segera membuang novel ini sebelum tuntas membacanya. Di sinilah kecemerlangan penulis terlihat. Ia menguasai betul tegangan cerita itu dan mampu menarik ulur dengan selipan-selipan humor atau bahkan ironi yang segar.


Penulis yang memperoleh penghargaan Man Booker Prize pada tahun 2002 ini benar-benar memperlakukan para pembacannya (tidak hanya tokohnya) sebagai petualang. Di bagian awal cerita kita diberi bekal-bekal yang mewah, yang begitu banyak.


Saya sangat suka sekali cerita dibagian awal (maksudnya di sini saat Pi belum berlayar). Ceritanya benar-benar utuh. Tidak ada satu bagian pun yang dapat dibuang. Dan tidak sekadar utuh saja, isinya juga mencerahkan. Kita jadi betul-betul paham tentang tabiat binatang-binatang. Ada perubahan paradigma, cara pandang kita kepada kebun binatang, yang selama ini kita sangka sebagai penjara bagi binatang.


Penggambaran India, keluarga, sekolah, pergulatan pemikiran Pi kecil semua diceritakan dengan takaran yang pas, juga masih dalam bingkai penjabaran karakter bocah yang nantinya akan terombang-ambing di lautan selama 227 hari ini.


Seorang sahabat dekat saya mengatakan bahwa di awal ceritanya terlalu berpanjang-panjang. Tentu saja saya tidak sepakat. Dibanding dengan cerita pergulatan dengan harimau dan lautan bagian awal ini juga tak kalah mengasyikkan.


Nah, pada versi film, menurut saya bagian awal ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru malah ‘diboroskan’ dengan selipan percintaan ala anak-anak remaja yang tidak ada di dalam buku. Padahal tidak juga penting. Kalau bagian itu dibuang pun sama sekali tidak mengganggu jalannya cerita.


Saya kira di situlah jiwa holywood berada. Selalu saja ada bumbu-bumbu percintaan. Apakah kalau tidak ada kisah percintaannya lantas film itu jadi hambar. Tidak laku terjual? Hemm... entahlah.


Secara umum novel Life of Pi sangat bagus, saya tidak tergerak untuk mencari kekurangan-kekurangan di dalamnya. Barangkali jika diharuskan ada catatan tentang cacatan, saya merasa (iya ini dengan perasaan) bahwa kepribadian si penulis sedikit banyak ikut tertumpah pada sang tokoh Pi. Hal ini bisa dilihat di  catatan penulis di awal buku. Si tokoh Aku penuliis punya karakter yang hampir sama dengan aku pi. Padahal dari penggambaran saat ia bertemu dengan tokoh Pi Patel juga dalam tubuh novel (yang dicetak miring) saya merasa tokoh Pi lebih pendiam dan berwibawa tidak semeriah si Aku penulis.


Seperti yang telah saya ungkapkan di postingan beberapa waktu lalu, saya merasa menyesal baru membaca novel ini saat dunia telah begitu hingar bingar membahasnya. Tapi saya juga beruntung dengan tekad saya waktu itu; tidak akan menonton filmnya sebelum membaca bukunya. Saya khawatir apa yang telah divisualkan di film mengunci mati – mengerdilkan daya imajinasi saya.


Saya yakin sekali, siapapun yang membaca buku ini punya imajinasi- gambaran yang jauh lebih hebat dari yang terpampang di layar lebar. Betapa berdayanya sebuah buku. Betapa hebatnya imajinasi manusia. Batapa Agungnya Tuhan yang telah menciptakannya.

0 komentar:

Posting Komentar