(baiklah sekarang susah saatnya kita masuk ke bagian/tindakan bodoh saya; membandingkan film dengan buku)
Saya tidak menyalahkan Ang Lee atau siapapun lah itu. Tapi menurut
saya tidak seluruh nyawa dalam buku itu tersalurkan (baca: hidup) dalam film
ini.
“Lho sah-sah saja dong, film itu punya keterbatasan durasi,
lagipula film kan interpretasi sutradara terhadap keseluruhan buku, terserah
dia mau buat jadi apa, bahkan mau mengambil bagian yang mana saja.” Tiba-tiba terdengar
suara protes yang entah datangnya dari mana.
Memang. Atau katakanlah film tersebut adalah versi terbaik
yang dapat dibuat oleh manusia. Saya pun mengakui banyak visualisasi yang bagus
sekali. Seperti petikan-petikan gambar berikut ini.
link foto |
link foto |
link foto |
Pun tokoh-tokoh dalam film itu, bahkan para binatang pun
berakting dengan sangat baik. Tapi saya –lagi-lagi- merasa bahwa buku yang
hanya berupa lembaran-lembaran kertas putih yang –juga- hanya berisi cetakan
huruf-huruf itu jauh labih dahsyat ketimbang versi audio visual yang penuh
dengan warna-warni dan suara dari gambar-gambar hidup.
Yann Martel sangat berhasil mengisahkan perjalanan seorang
Piscine Molitor Patel. Ceritanya sangat mengalir, sangat berdaya visual, pun mampu
membuat kita pembaca betah dan asyik menjalankan kedua mata menulusuri tiap
rangkai abjad-abjadnya.
Ia tahu betul bahwa cerita ini sudah sarat dengan tegangan. Dan
memang banyak sekali potensi tegangan-tegangan cerita yang ia buang begitu
saja, agar ‘perahu cerita’ tidak tenggelam sehingga dapat terus berlayar.
Contoh
yang paling utama dan menonjol adalah, di awal kita langsung diceritakan
tentang si tokoh saat dewasa, cerita kemudian langsung flashback saat dia masih
anak-anak. Ini penting untuk bekal pembaca, karena betapapun ngeri kisahnya
nanti, kita bisa menenangkan diri, “Tenang tokohnya tak akan mati.” Berbeda sekali
dengan cerita kebanyakan, yang justru menumpukan tegangan cerita pada
kemungkinan hidup dan mati sang tokoh utama.
Harimau, perahu sekoci, anak laki-laki seorang diri, dan
samudera adalah rangkaian yang sungguh mengerikan. Bila salah menceritakan
orang akan segera membuang novel ini sebelum tuntas membacanya. Di sinilah
kecemerlangan penulis terlihat. Ia menguasai betul tegangan cerita itu dan
mampu menarik ulur dengan selipan-selipan humor atau bahkan ironi yang segar.
Penulis yang memperoleh penghargaan Man Booker Prize pada
tahun 2002 ini benar-benar memperlakukan para pembacannya (tidak hanya
tokohnya) sebagai petualang. Di bagian awal cerita kita diberi bekal-bekal yang
mewah, yang begitu banyak.
Saya sangat suka sekali cerita dibagian awal (maksudnya di
sini saat Pi belum berlayar). Ceritanya benar-benar utuh. Tidak ada satu bagian
pun yang dapat dibuang. Dan tidak sekadar utuh saja, isinya juga mencerahkan. Kita
jadi betul-betul paham tentang tabiat binatang-binatang. Ada perubahan
paradigma, cara pandang kita kepada kebun binatang, yang selama ini kita sangka
sebagai penjara bagi binatang.
Penggambaran India, keluarga, sekolah, pergulatan pemikiran
Pi kecil semua diceritakan dengan takaran yang pas, juga masih dalam bingkai
penjabaran karakter bocah yang nantinya akan terombang-ambing di lautan selama
227 hari ini.
Seorang sahabat dekat saya mengatakan bahwa di awal
ceritanya terlalu berpanjang-panjang. Tentu saja saya tidak sepakat. Dibanding
dengan cerita pergulatan dengan harimau dan lautan bagian awal ini juga tak
kalah mengasyikkan.
Nah, pada versi film, menurut saya bagian awal ini tidak
dimanfaatkan dengan baik. Justru malah ‘diboroskan’ dengan selipan percintaan
ala anak-anak remaja yang tidak ada di dalam buku. Padahal tidak juga penting. Kalau
bagian itu dibuang pun sama sekali tidak mengganggu jalannya cerita.
Saya kira di situlah jiwa holywood berada. Selalu saja ada
bumbu-bumbu percintaan. Apakah kalau tidak ada kisah percintaannya lantas film
itu jadi hambar. Tidak laku terjual? Hemm... entahlah.
Secara umum novel Life of Pi sangat bagus, saya tidak
tergerak untuk mencari kekurangan-kekurangan di dalamnya. Barangkali jika diharuskan
ada catatan tentang cacatan, saya merasa (iya ini dengan perasaan) bahwa
kepribadian si penulis sedikit banyak ikut tertumpah pada sang tokoh Pi. Hal ini
bisa dilihat di catatan penulis di awal
buku. Si tokoh Aku penuliis punya karakter yang hampir sama dengan aku pi. Padahal
dari penggambaran saat ia bertemu dengan tokoh Pi Patel juga dalam tubuh novel
(yang dicetak miring) saya merasa tokoh Pi lebih pendiam dan berwibawa tidak
semeriah si Aku penulis.
Seperti yang telah saya ungkapkan di postingan beberapa
waktu lalu, saya merasa menyesal baru membaca novel ini saat dunia telah begitu
hingar bingar membahasnya. Tapi saya juga beruntung dengan tekad saya waktu
itu; tidak akan menonton filmnya sebelum membaca bukunya. Saya khawatir apa
yang telah divisualkan di film mengunci mati – mengerdilkan daya imajinasi
saya.
Saya yakin sekali, siapapun yang membaca buku ini punya
imajinasi- gambaran yang jauh lebih hebat dari yang terpampang di layar lebar. Betapa
berdayanya sebuah buku. Betapa hebatnya imajinasi manusia. Batapa Agungnya
Tuhan yang telah menciptakannya.
0 komentar:
Posting Komentar