Dunia sihir –dunia rekaan ini- memang selalu
diidentikkan dengan sapu terbang, topi kain hitam berbentuk kerucut, yang
keduanya dikenakan oleh si nenek sihir. Kenapa sapu terbang? Mungkin krena
sifatnya yang praktis serta bentuknya yang pas untuk dipakai terbang; secara
langsung sudah terdiri dari tempat duduk dan pegangan tangan. Coba misalnya
sendok terbang, kan jadi repot.
Selain itu sapu terbang memiliki tingkat
aerodinamis yang bagus (semoga saya tidak salah istilah) yaitu dengan dipakai
dalam posisi merunduk ke depan, secara keseluruhan bagian depan sapu terbang
mempunyai luas penampang yang kecil sehingga dapat dengan mudah dipakai ngebut
menembus angin. Beda kasus kalau misalnya yang
dipake itu baliho terbang, beuh mau terbang sepuluh meter aja susah
banget.
Terlepas dari asumsi saya yang mengada-ngada
tersebut, bila ditarik ke zaman di mana kita denyutkan kehidupan yang
sekali-sekalinya ini, barangkali benda ajaib yang mewakili sapu terbang itu
ialah Hand Phone. Apapun merek dan tipenya.
Alat tersebut bisa membuat kita ‘terbang’
hampir ke mana saja yang kita mau, dengan menekan mantra (nomor telepon) yang
tepat. Jarak memendek. Waktu‘tempuh’ menyingkat.
Dan bila ditarik –lagi- ke suasana yang lebih
riuh, maka di situ lah social media berada. Sebuah perkampungan yang siapapun
dari manapun bisa berada di dalamnya. Sebuah komplek perumahan maya yang
dinamis –selalu beputar-, yang kita tidak pernah tahu dengan tepat siapa
tetangga sebelah rumah kita.
Seingat saya, friendster adalah sosmed pertama
yang saya gunakan. Barangkali sekitaran tahun 2007. Tidak banyak kesan selain
kekepoan melihat siapa saja yang telah melirik akun kita –di kemudian hari
(sekarang) banyak yang membawa ‘mental’ seperti ini ke twitter-. Kalaupun ada
kenangan paling boss saya semasa saya kerja di Jakarta dulu, beliau tiba-tiba nyeletuk
ngomentarin puisi saya saat berlangsungnya rapat. Beuh. Setelah selesai rapat
saya langsung mencoret nama perusahaan di profil.
Kemudian berlanjut facebook. Sebelum berjaya
seperti sekarang, saya dulu sangat mendeskreditkan jejaring ini. Tampilannya
sangat minimalis. Tidak banyak warna seperti friendser. Sebagai anak-anak yang
sering terdistorsi oleh warna-warna saya mengacuhkannya.
Tentu saja akhirnya menjadi tidak banyak kesan,
selain mudahnya ditemukan oleh kerabat, teman-teman dan orang-orang yang
bersinggungan di dunia nyata. Yang kebanyakan jusrtru lebih membuka siapa diri
mereka dibanding pada saat tampil di keseharian.
Saya pernah mencerai akun facebook ini, namun
tetap saja sering ada email minta rujuk dengan intensitas di luar dugaan.
Sampai saya bete. Sampai saya menghidupkannya kembali. Sekarang, keadaanya
barangkali sudah penuh sarang laba-laba karena teramat jarang sekali saya
kunjungi.
Twitter kemudian datang tidak hanya sebagai
alternatif namun juga sebagai solusi untuk masalah gigi sensitif saya. Twiiter
terserap hingga ke akar gigi, menutupnnya, dan mencegah rasa ngilu itu datang
kembali. Lah, malah jadi iklan begini.
Manfaat twitter baru terasa benar saat awal-awal
2010 lalu. Ketika itu saya baru saja pindah kerja dari Jakarta yang hingar
bingar dan langsung bekerja menangani proyek konstruksi pertambangan yang
lokasinya di pelosok Jambi. Sangat berkebalikan.
Sistem kerja yang lebih dari 14 jam perhari
dan berlangsung 7 hari seminngu mau tak mau benar-benar menguasai kehidupan
saya, dan tiwtter menjadi semacam dunia lain (hanyu dong) yang mengasikkan.
Terlebih lagi (dan mungkin yang paling utama) ketika itu komunitas fiksimini
baru saja menetas dan lagi giat-giatnya. Setiap pagi topik dilempar dan
kemudian kita ‘berebut’ retweetan moderator.
Untung saja pekerjaan saya saat itu
membutuhkan konsentrasi tingginya saat jam satu siang ke atas, jadi sebelum itu
kepala saya terbelah dua, yang satu mikirin kerjaan yang satu berfikir keras
membuat fiksimini sambil ketik-hapus-ketik-hapus-ketik-kirim melalui program
snaptu di E63 saya ketika itu. Pusing, tapi menantang, tapi nikmat sekali.
Hehe..
Dan berlanjutlah kecanduan itu (bertwitter)
hingga satu bulan yang lalu. Selain fiksimini banyak sekali manfaat yang saya
dapat dari twitter, mulai dari info-info paling update, ‘perang-perang’
pemikiran hingga para penyair-penyair yang keren-keren twitnya, oh juga bincang
edukasi.
Tapi di mana langit dijungjung di situ bumi
diinjak-injak. Di mana ada yang baik terjunjung tak jarang pula di situ ada
keburukan yang berkembang biak (iya, ini terjemahan versi saya sendiri). Mulai
dari kegalauan yang diperturutkan hingga lelucon-lelucon vulgar yang sangat
bukan konsumsi publik.
Memang, bagaimanapun kita adalah pemegang
kendali akun masing-masing, tapi bagaimanapun –lagi- ‘pergaulan’ dengan segala
harus-tidak tega-sungkannya tentu saja tetap membawa dampak.
Saat saya berkomentar tetnang sebuah hal buruk
yang dilakukan orang bukan berarti saya baik, tapi saya tengah mencoba memberi
garis-garis sambil mengatakan pada diri saya agar tidak melewati garis-garis
berwarna merah itu.
Salah satu garis merah itu adalah –barangkali-
kepopueran. Banyak sekali atraksi yang dibuat di twitter cuma untuk mengejar
jumlah pengikut. Mulai dari memamerkan aib-aib orang lain bahkan dirinya
sendiri (dengan penuh kebanggaan) hingga mencaci bahkan ‘merobek-robek’ kitab
suci agama sendiri. Naudzubillah.
Seperti debus. Orang berjalan di atas golok
tapi tidak terluka. Hebat. Orang menentang dan menantang Tuhan tidak terluka.
Hebat.
Hal lainnya, dan ini yang utama bagi saya adalah
terlantarnya tulisan-tulisan, terutama di blog ini. Hi..hi... Bagaimanapun –dan
memang- twitter itu microblogging jadi seharian twitteran berasa sudah nulis
saja. Padahal cuma berhaha-hihi.
Akhirnya saya memutuskan untuk memutuskan
untuk memustuskan (hiyaahhh ribet) hubungan dengan beberapa bentuk interaksi
maya, mulai dari twitter, whatsapp, hingga bbm (baru sekitar satu minggu ini
bbm saya aktif lagi). Memutuskan untuk bersendiri dahulu (iya beberapa saat ke
depan saya masih akan ngetwit lagi) dan bersosial dengan kehidupan nyata yang
selama ini cukup terabaikan.
Meskipun tulisan-tulisan yang pada akhirnya nongkrong
di blog ini tak jelas juga juntrungannya tapi saya yakin kalau semuanya
berhasil sebagai tulisan yang cuma ngalor-ngidul saja. Lahhhh sama saja dong.
Hehe.. Bukan, sekali lagi bukan, tulisan-tulisan ini tidaklah sebagai tujuan, tetapi proses agar
saya terjangkiti oleh virus ide, agar sekeluarnya dari 2013 ini saya sakit
kalau tidak menulis (amin...).
Kamu?
0 komentar:
Posting Komentar