Di dalam tempurung yang besar ini kami hidup bersama ribuan
katak. Ke mana-mana kami naik katak. Entah yang masih balita ataukah tua, kecil
ataukah besar, biru, hijau, orange, atau bahkan pink, pokoknya kami naik katak.
Di dalam tempurung yang selalu dirundung mendung ini kami
tak ling lung. Malam kami begitu terang. Siang kami begitu gelap. Dan di saat
malam ketika kami bepergian, katak-katak kami selalu memancarkan sinar
kegelapan sehingga kami tetap bisa berlalu lintas seperti biasa saat di siang
hari. Untuk menghindari kecelakaanpun di setiap pertigaan atau perempatan
selalu tersedia lampu merah, hijau dan kuning. Tentu saja lampu-lampu itu juga
memancarkan cahaya kegelapan agar bisa dilihat orang.
Di dalam tempurung ini kami terbiasa dengan katak. Sama sekali
tidak jorok. Kecuali kalau kataknya habis nyemplung di sawah atau sekadar
melewati jalan yang becek.
Nah, jika kami keluarkan katak kami dari dalam tempurung,
barangkali ke negeri kalian, hampir dipastikan kalian akan menyebutnya kodok
yang jorok. Terserahlah. Itu hanya sebutan. Hanya nama. Apalah arti sebuah
shakespare?
Seperti kalau kalian datang ke sebuah kafe, lalu disajikan
segelas minuman berwarna coklat kebiru-biruan. Dan sang pelayan tersenyum menyajikan
“Silakan tuan ini es comberannya...” Meski pelayannya mirip Angelina Julie pun
kalian pasti merasa jijik, padahal itu sejenis es coklat biasa. Hanya sekadar
nama, tapi kesannya jadi beda. Begitulah yang terjadi dengan alat-alat
tunggangan –transportasi- yang kami beri nama (label) katak ini.
Dan ini lah tunggangan kami yang kami sebut katak, dan
mungkin kalian sebut kodok.
Bagaimanapun kerennya mobil motor di sini semuanya pakai
nama plat yang sama. Plat paling jorok se Indonesia.
Tapi jangan salah, plat ini diartikan bahwa Jambi, adalah
gabungan dua kota terbesar di Indonesia. Jakarta dan Semarang. Hehehe
Sebelumnya,
fiksimini adalah sastra singkat di twitter, kurang dari 140 karakter, digawangi
oleh sastrawan-sastrawan handal Agus Noor, Eka Kurniawan, dan Clara NG.
Sekarang sudah ada tiga puluh ribu lebih peminatnya di twitter setiap harinya.
Beberapa
contoh fiksimini saya (sebenarnya ini gak ada apa-apanya dibanding karya
fiksiminiers yang lain, tapi ya sudahlah hehe)
@fiksimini:
RT@moehyie:
Jatuh Cinta Setengah Mati | Ia terbang dengan sayap-sayap patahnya. Mencoba
melintasi samudera.
@fiksimini:
RT@moehyie:
Larangan Terbang | Ke mana-mana garuda jalan kaki.
@fiksimini:
RT@moehyie:
HARAM | Uang dalam amplop menangis mendengar gadis kecil bertanya siapa ayahnya
dalam doa.
@fiksimini:
RT@moehyie:
KEMBANG DESA Tadi pagi kutemukan kelopaknya berserak di pos ronda, bersama
putung rokok dan puluhan botol miras.
Berikut
ini adalah beberapa potong kalimat yang selalu mengganjal kalau tidak
ditulisakan, juga sebagai lanjutan ceracau saya tempo hari tentang fiksimini.
Mungkin lebih tepatnya ini adalah proses (tidak) kreatif saya dalam menulis
fiksimini
Saya
percaya bahwa menulis itu tak ada teorinya. Menulis ya menulis. Menggoreskan
huruf. Mengandeng-gandengkan kata. Membariskan kalimat. Menumpuk paragraf.
Namun,
bagi saya yang lemah ini merasa perlu alat bantu. Seperti tongkat untuk
berjalan. Kaca mata untuk melihat. Katup jantung untuk menyambung hidup.
Ide
dasar. Ini yang terpenting. Dalam hal ini baik penulis baru/profesional berada
dalam level yang sama.
Semakin
kuat ide dasar ini, semakin kuat daya picu untuk otak untuk menyusun ‘tubuh’
kalimatnya. Seperti bom yang dapat
meledak sendiri di kamp musuh!
Kata-kata
itu seperti Tim Marketing yang julannya ide dasar. Semakin menarik, rapi, unik
dan pintar semakin cepat ide dasar ‘terjual’.
Bahkan,
kalau kita bisa menemukan Tim Marketing yang cocok dan tepat kita bisa
mendapatkan ‘uang’ tanpa menjual ‘apa-apa’.
Kalau
boleh mengelompokkan SETIDAKNYA ada tiga jenis FM. 1. Permainan Imajinasi 2.
Permainan Kata 3. Tragedi.
Jenis
yang I. Permainan imajinasi, banyak sekali fiksiminiers yang mengolahnya,
bahkan yang terlihat sederhana kalau dikemas baik akan mampu membetot
senar-senar imanjinasi.
Jenis
yang II. Permainan kata, iya sekilas hanya seperti ubah susun, bolak-balik,
padu padan kata. Tapi dari situ pun bisa ketemu makna-makna baru.
Jenis
yang III. Tragedi. Ini yang luar biasa. Bagamana seorang fiksiminiers bisa
berinovasi, tak sekadar memburu tema, tapi menghadirkan kelebat peristiwa yang
langsung nancap di dada imajinasi.
Seperti
sekelebat sebilah samurai yang sekali ayun dua tiga kepala putus jatuh ke
tanah. Sadis memang. Tapi itu bisa abadi di liang ingatan.
Nah,
dari mana saja ayunan-ayunan ide itu berangkat, berikut beberapanya saja;
Kadang
bisa berangkat dari permainan kata-kata. Seperti bermain dengan perahu2 kecil,
tanpa sadar kita telah berada di tengah samudera makna.
Kadang
bisa berangkat dari makna. Tapi hati-hati. Salah-salah malah berakhir di mimbar
khotbah.
Diktum
Fiksimini yang paling saya percayai, bahwa penulis itu bukan memotret
peristiwa, tapi dengan peristiwa itu ia mengungkapkan sesuatu.
Pesan;
Jangan terlalu untung-untungan membuat fiksimini (membuat sebanyak-banyaknya,
syukur-syukur di RT) kasihan juga kan followers yang kebanjiran :)
Baiklah
kita coba masuk ke bagian yang lebih teknis. Membuat fiksimini. Tapi perlu
dicatat ini hanya satu cara dari jutaan kemungkinan.
Begitu
topik dilempar, segera asosiasikan kata tersebut dengan kata2 yang lain. Sebanyak2nya
, dan seluas2nya.
Contoh,
topik; BURUNG: terbang, sayap, telur, sarang, sangkar, pesawat, nama2 (beo,
hantu, merpati dll) dst dan sampai tak terhingga.
Segera
FOKUS ke satu titik saja, yang kita anggap paling berdenyut di kepala.
Berfikir
kreatiflah (think opposite, out of the box..dll) ketika topik burung, banyak
sekali di timeline yang buat tentang Burung Hantu, sy rubah dikit jadi Hantu
Burung. *narsis
Contoh
@fiksimini: RT@moehyie: Hantu Burung |
Ratusan pinguin terbang di udara, dengan dada yang bolong
Selain
itu, dari topik dan kata dasar tadi bubuhkan (hemm) tema2 yang lain. Mis;
percintaan, keluarga, politik, dll.
Contoh;
Jatuh Cinta Setengah Mati | Ia terbang dengan sayap-sayap patahnya. Mencoba
melintasi samudera. (burung+ sayap+cinta)
Kemampuan
menulis harus selaras dengan kemampuan apresiasi. Sering-seringlah membaca
karya2 yang di RT dan gali sebanyak mungkin makna di dalamnya.
Amat
sangat mungkin kita menemukan makna yang jauh lebih banyak, bahkan dari
penulisnya sendiri.
Sekian
ajaran sastra yang menyesatkan ini. Mudah-mudahan ada yang ikut tersesat
bersama saya. Selamanya. Hehe :)
“Sudah, jujur
saja, aku tau guru macam dia bukan seleramu, kan?!”
“Tidak.”
“Memang, sih,
kalau dia jadi guru kan gara-garanya kualat sama gurunya, tapi...”
“Kualat?”
“Loh dia tak
pernah cerita sama kamu?”
“Tidak, Kakak kok
tahu?”
“Ya.. aku sih
juga cuma curi dengar, waktu itu dia cerita sama temannya yang suka ke sini
pakai motor tiger merah itu, kalau dia jadi guru ekonomi gara-gara pernah bikin
nangis guru ekonominya sewaktu sma.”
“Haha.. ngarang
kamu Kak.”
“Eh BENERAN
INI!!”
“Sssstttt!!!!
Jangan keras-keras bisa bangun dia nanti.”
“Suara kita tak
akan terdengar dari kamar.”
“Tadi, dia pulang
hampir larut malam, saking letihnya sampai tertidur di sofa, makanya
pelan-pelan saja.”
“Larut malam? Kau
tak curiga?.”
“Aku kan juga
ikut dia tadi. Seminggu ini banyak guru bimbel yang tidak masuk makanya dia
terpaksa menggantikan, padahal ia masih harus menyelesaikan tulisan-tulisannya.
”
“Kalau memang
bukan tugas dia, kenapa harus repot menggantikan!”
“Kau tahu sendiri
Kak, dia itu..”
“Tak tegaan,
kalem, baik! Begitu maksudmu? Ah, heran kakak, padahal bapaknya orang batak,
kok dia tidak ada tegas-tegasnya sama sekali.”
“Ah, tak ada
hubungannya sama sekali, lagi pula dia lebih mirip dengan ibunya yang orang
sunda.”
“Oh ya, kapan
kita akan pindah ke rumah yang di Palembang?”
“Tidak, dia
bilang sudah betah di Jambi sini, dan akan merintis usaha bersama
teman-temannya, yah sama-sama untuk membangun jambi katanya.”
Tiba-tiba
terdengar suara orang terbangun.
“Kau cepat
kembali sana!.”
Aku melayang,
lantas melesat cepat memasuki tubuhku lagi yang masih terikat erat di
tangannya. Beruntunglah dia belum sadar betul. Sampai ditubuhku, selain aku
sibuk berbicara sendiri dengan suara lirih kudengar pula denyut nadi di
pergelangan tangan kirinya.
Ia menatapku
sambil menyipitkan matanya, seakan menatapku dengan penuh curiga.
“Pukul 3 dini
hari.” Aku tersenyum. Namun tiba-tiba ia melepaskan ikatanku, lalu pergi ke
belakang.
Sebentar kemudian
dia sudah kembali segar di depan laptopnya di ruang tengah. Wajahnya dan
tangannya basah oleh air wudhu yang harum.
Ia mengikatku
lagi.
Sambil mengamati
kurva-kurva huruf itu berlompatan dari kepalanya ke layar laptop saat ia mulai
menulis, kulirik kakakku, jam dinding yang terpampang di seberang ruangan. Ia
tampak begitu lesu di atas sana, ditemani pigura-pigura yang terlihat seperti
bingkai sepi yang membeku.
Dalam hati aku
berucap “Kakak, aku bahagia karena lebih banyak terjaga bersamanya, aku bahagia
menjadi jam tangan seorang Tommy Pandiangan.”
Banyak sate
padang disini, tapi ini bukan padang. Banyak mpek-mpek disini, tapi ini bukan
Palembang. Ancol dan Monas juga ada, tapi ini bukan Jakarta. Iko Jambi namonyo
jo’!
Begitulah
uniknya Tanah Melayu kami. Belum lagi jika naik angkot kecil yang dibuat macam
bentuk mobil balap mainan dengan tempelan stiker berserakan
dibadannya. Tuan
akan duduk menyamping,
sembari sopir yang SIMnya diperoleh dengan jalan nista membanting-banting setir
sekehendak perutnya,sambil menyetel musik sangat kencang, dengan salon yang mengganggu
posisi duduk para penumpang.
Dan jadilah para
penumpang layaknya jemaah tahlilan yang bergoyang kiri kanan sembari
mengucap-ucap nama Tuhan dengan nada cemas.
Ah, tak usah berprasangka
buruk dulu. Sebab belum lagi Tuan
temui betapa santun perangai dan murah simpul tersungging diwajah Melayu kami. Jadi
tak heranlah jika yangdirasakan layaknya
manis Masuba (Kue khas Jambi) di hati sebab itulah yang temurun diajarkan tetuo
kami, supaya tetap terjaga elok kalimat “Jambi Kota Beradat” itu.
Anak
jambi janganlah dikenang, jiko dikenang menariklah ngati…
Nah kalulah Tuanmerasa penat,
dan hendak sedikit mengayunkan tangan melenggangkan kaki. Marilah kuantar menikmati syahdunya aliran sungai kecintaan
kami_ Batanghari dengan Sembilan cabangnya yang mengalir dari sepucuk Jambi ke
Sembilan lurah. Tuan
kan dibawa oleh sang saksi sejarah kembali ke masa dimana …mengayuh biduk
menajur kail.
Lalu Datuk Paduko Berhalo, sang pemimpin negeri melayu yang arif bijaksana
melepaskan dua ekor angso guna menentukan batas-batas tanah kerajaan melayu
jambi. Maka mengikutlah angso yang duo itu
menyusur hingga ke. Maka jangann heran bila melihat angso duo itu bertengger di
lambing negeri melayu kami iko.
Tak usah Tuan
pusingkan urusan pemuda-pemudi jaman sekarang yang tak khatam rukun iman yang
bertenggeran di pinggiran sungai. Atau persoalan kenapa pusat jual beli atawa
yang disebut Mall itu mencelupkan kaki-kaki betonnya di pinggiran sungai, itu
bukan urusan kita.
Selain itu
tuan, masih ada sembilan lurah lagi yang dapat tuan singgahi sewaktu -waktu
jika kembali kesini. Juga sedikit sajian sederhana kami, mulai dari tempoyak
sampai gelamai. Dari kain kuluk hingga songket.
Aku terbangun karena terkejut dengan keributan dari luar rumah. Tiba-tiba kulihat ibu sedang menodongkan senapan anginnya. Di rumah tak ada siapa-siapa selain kami berdua. Kemana perginya Ayah? Kenapa ibu memakai kaos lengan panjang bergaris biru mendatar milik ayah? Kenapa ibu ingin menembak?
Kulangkahkan kaki-kaki kecilku. Pada bagian lantai kayu tertentu akan terdengar derit lirih, lantai kayu rumah panggung kami. Dari sebuah jendela –lebih tepatnya dinding yang dibiarkan berlubang- kulongokkan kepalaku. Oh, ada puluhan beruk –monyet besar- di bawah sana, di sekitar rumah.
Beruk-beruk itu ramai sekali. Mereka seperti anjing-anjing yang tengah menggonggong ke arah kami. Tak jauh dari rumah, di tepian hutan juga terdengar dan terlihat monyet-monyet bersahutan dan berlompatan pada ranting-ranting pohon yang tinggi. Tiap kali monyet-monyet melopat ranting-ranting yang kecil itu ikut bergerak-gerak. Dan karena jumlah monyetnya ratusan, sehingga seolah-olah ada angin besar yang sedang menggoyang-goyang pohon-pohon di tepian hutan itu.
“Mereka kenapa Bu?” tanyaku penasaran.
“Mau mencuri pisang kita.” Jawab ibu pelan, matanya masih terfokus pada bidikan senapan angin ke sekawanan beruk. Dan kulihat ketika ibu memindahkan arah bidikannya ke satu beruk ke beruk yang lain, beruk yang dibidik terlihat takut dan mengkerut. Mereka takut senapan.
“Kenapa ibu pakai topi ayah juga?” aku baru tersadar ibu juga memakai topi coklat lusuh milik ayah.
“Mereka takutnya sama laki-laki.” Jawab ibu, masih memindahbidikkan senapan anginnya. Oh, jadi mereka juga takut laki-laki, batinku senang.
Iya, ibu sedang menakut-nakuti beruk-beruk itu saja. Aku yakin ibu tidak tega menembaki mereka. Lagi pula ibu takkan kuat mengokang senapan angin itu. Kalau aku yang jadi beruk itu aku pasti tidak ketakutan, karena bagaiamanapun ibu tidak mirip laki-laki sama sekali. Tapi, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran beruk-beruk berbulu coklat keabu-abuan itu?
Aku berlari kecil ke belakang. Dari sebuah lubang kecil di lantai kuintip dapur. “Oh jadi pisang-pisang itu yang mereka inginkan.” Ada sekitar tiga tandan pisang-pisang yang sudah matang. Aku pun turun ke dapur melewati tangga kayu yang berada di sebelah luar.
Seperti baru tersadar akan sesuatu, tiba-tiba tubuhku langsung terjatuh ke tanah. Ditarik oleh puluhan tangan.
Pria buruk, bisu, tuli, buta, pincang kakinya, pengot mulutnya duduk di meja paling depan. Di kiri kanan berjajar manusia yang tak kalah rupa dengannya. Lampu di seputar ruangan redup menangkap wajah-wajah para hadirin yang beraneka rupa. Aula mahamegah hotel berbintang tujuh itu telah riuh sejak tiga jam yang lalu. Telah jengah mereka menunggu satu lagi rombongan yang belum hadir.
“Ehmm ehm, sodara-sodaraku sekalian. Harap tenang. Sebentar lagi Muktamar kita yang ke tujuh puluh tujuh ini akan dilaksanaken.” Sontak para hadirin bertambah riuh akibat ucapan pria bisu yang berbicara lewat lubang lain di tubuhnya itu. Ia kemudian duduk lalu berbisik-bisik dengan pria buruk yang kita saksikan diatas tadi.
“Sudahlah pimpinan sidang! Kita mulai saja, tak ada faedahnya menunggu mereka”
Hadirin kembali riuh menyetujui usulan pria yang duduk paling belakang itu. Ia tak lain perwakilan dari Dewan Tuna Wicara dengan bendera rombongan yang berlambang Bulan sabit dengan wajah manusia dicekungannya. Lirik lagu “kalau bulan bisa ngomong” telah bisa menginspirasi mereka rupanya.
“Yaa… jangan mentang-mentang sudah mapan jadi mau seenak perutnya saja! Bagaimana dewan ini mau maju kalau keadaannya begini!” satu lagi perwakilan dari Dewan Tuna Susila mencak-mencak, asap rokok menyembur-nyembur dari ocehannya. Keriuhan hadirin kini berganti suit-suitan nakal. Si perempuan masih belum reda marahnya, lalu duduk sambil mengomel-ngomel dengan rombongannya.
“Sabar sodara-sodara,mereka sebenarnya punya urusan yang lebih penting dari Muktamar ini!”
“Haaaa…” para hadirin ternganga. Mereka tak percaya pada pendengarannya.
“Ya!” pria perwakilan Dewan Tuna Wisma itu melanjutkan lagi dengan alibi-alibinya yang membuat para hadirin semakin tak percaya. Rasa kagum dan penasaran mulai tumbuh di benak mereka.
“Aku melihat sendiri, hebat-hebat orang itu sekarang!”
“Bajunya safari, mobil dan rumahnya berbilangan milyar pula. Malah kudengar sebentar lagi mereka akan membangun gedung yang bisa mencapai surga seharga 1 Trilyun lebih. Hah, kalian pikirkan itu sekarang!
Hadirin semakin tak sadar akan ukuran mulutnya yang ternganga.
“Betulkah yang kau ucapkan itu?” pria buruk pimpinan muktamar telah angkat suara.
“Benar ketua. Belum lagi kalau ketua lihat dahsyatnya lidah mereka bersilat menghadapi orang-orang yang mau mengurungkan niat mereka. Dahsyat sekali ketua! Dahsyat! Tak terpatahkan nafsunya itu”
Hei...hei.. Sob, mungkin udah pada tau sama benda
kecil berbentuk segiempat dengan
batangan melengkung diatasnya. Trus punya anak namanya “kunci” yang kadang jumlahnya
lebih dari satu, sebab sang pembuat tuh benda udah paham dan pengalaman sama salah
satu sifat manusia paling lumrah; lalai.
Mungkin juga kalian udah pernah
ngalamin peristiwa lucu, unik yang berhubungan dengan gembok. Misalnya telat
datang ke sekolah dan menemukan gerbang sekolah udah di gembok, ketiduran di WC
umum yang udah di gembok dari luar oleh sang penjaga WC, ato pernah kena timpuk
sama gembok karena gangguin anak gadis pemilik toko bangunan hehe…
Yeah,
whateverlah. Yang pasti kita semua pastinya udah pada tau apa sih kegunaan
benda yang bernama gembok itu. Yap, sepakat!Tentunya demi menjaga
keamanan hak milik kita dari kehilangan, kecurian, kemalingan, kebobolan,
kemasukan, kerampokan, keracunan.
Huss, apaan sih!
Ane iseng-iseng
pernah mikir (mikir pake iseng???), mungkin gak suatu saat dalam kehidupan ini,
kita gak memerlukan lagi yang namanya gembok??? Eithh …idungnya jangan langsung
megar-megar gitu donk! Maksudnya, ketika pada suatu masa dalam kehidupan ini manusia
udah pada memiliki kesadaran untuk saling menjaga hak milik masing-masing.
Tidak saling menggangu hak milik orang lain, sehingga kita gak perlu lagi
khawatir sampe masang gembok sepuluh Cuma buat kandang ayam aja…ops
Ya, bener sih, kalo
kita lihat kondisi hari ini disekitar kita tentu persoalannya gak segampang itu
ya sob. Gak usah ane sebutin lagi masing-masing kita udah pada paham gimana
suitnya menuhin kebutuhan hidup di zaman ini. Makin lama biaya idup makin
mahal, dulu recehan seratus perak udah bisa bayar ongkos angkot atau dituker
permen empat biji. Nah, kalo sekarang paling ntu duit cuma cukup buat kerokan
doank. Jadi gak heran hal inilah yang menjadi “pemaksa” bagi sebagian orang
untuk mengambil jalan pintas untuk membungkam urusan perutnya.
Namun di sisi
lain kesenjangan ekonomi yang menyebabkan kejahatan itu terjadi tidak lain juga
karena sebagian dari kita terlalu mendekap erat harta bendanya sehingga terjadilah
sebuah ketimpangan dalam masyarakat. Jarang kita sadari bahwa didalam harta
yang kita miliki kan juga ada hak milik orang lain. Zoon Politicon, manusia ialah
mahluk sosial alias gak biisa hidup sendiri, sehingga Tuhan tuh sebenernya nitipin
dunia beserta semua isinya ke kita buat dinikmatin bersama, termasuk harta yang
kita miliki.
Hmmm asal Sob
tau, ane pernah KUKERTA disebuah desa dan tinggal di rumah penduduk yang
sekaligus menjadi posko kami. Pintu tuh rumah cuma ditutup alakadarnya. Gak
pernah dikunci. Motor-motor pada diparkir diluar, dari pagi sampe pagi lagi.
Padahal tetangga pada hilir mudik keluar masuk rumah tersebut untuk berbagai
kepentingan. Kadang-kadang dengan tanpa canggung ada dari mereka yang biasa
makan, minum, nonton atau apalah, selagi masih dalam taraf yang sopan dan
wajar. Itu semua tentunya sudah disadari oleh sang empunya rumah, tapi gak
pernah tuh ada larangan-larangan. Karena masyarakat pun menunjukkan respek
balik berupa kesadaran akan batas-batas kewajaran tindakannya, istilahnya
saling memahami lah gitu.
Bukannya
bermaksud menawarkan utopia atau berkhayal yang muluk-muluk. Sebab keadaan yang
ane andaikan ini sebenarnya sudah terbukti, walaupun hanya di sebagian kecil
tempat. Tapi tak menutup kemungkinan kita semua bisa mewujudkan itu semua untuk
kehidupan yang lebih luas dan universal. Bisa aja kita mulai dari diri sendiri,
dari yang terkecil, dan mulai dari saat ini. Hingga “pada suatu hari” (duh jadi
inget masa SD) Ane, sobat pembaca, dan semua mahluk yang mendiami bumi ini
tidak akan lagi membutuhkan gembok untuk melindungi hartanya. Melainkan saling membuka
pintunya lebar-lebar untuk kemudian saling berbagi. Ah, indahnya.
dedaun embun di mana para bidadari memetik parasnya
Selendangnya terjulur dari pucuk gunung
hingga bergelombang di lautan
Ibarat seorang ibu, indonesia –dan kita sebut Ibu Pertiwi-
memiliki 33 anak, yang masing-masing memiliki karakter dan keunikan budaya
masing-masing. Aku jadi membayangkan alangkah repotnya kalo mengurusi anak
sebanyak itu. Yang satu nangis, yang satu minta makan, yang satu naik genteng,
yang dua perempuan saling jambak-jambakan, yang dua orang berantem sambil
lempar-lemparan pisau, yang satu ditaboki preman, yang satu ditangkep pulisi,
yang satu ngaku hamil, yang.... ARGHHHH setres deh!!
Jadi ingat, waktu itu di metro tv ditayangkan ada seorang ibu
yang telah melahirkan sekitar dua puluhan anak (aku lupa jumlah tepatnya
berapa, maklumlah aku bukan suaminya, apaan sih). Tapi untunglah keluarganya
berlangsung damai-damai aja tuh, meskipun beliau ini berada dalam keluarga yang
pas-pasan. Salut lut lut lut.
Lain peristiwa, di Kick Andy pernah ditayangkan tentang ibu-ibu
perkasa. Mereka yang mampu mengangkat truk sampah di atas kepalanya, sementara
tangan kanannya tengah sibuk mengolesi kutek merah jambu di kuku tangan kirinya
(ih hoax banget). Ceritanya tentang ibu-ibu single parent yang penuh perjuangan
membesarkan banyak anaknya sendirian.
Dan bukankah Ibu Pertiwi pun selama ini membesarkan anak-anak
sendirian?? Ada yang tahu ke mana perginya Bapak Pertiwi?? Adakah Bang Toyib
berada di balik ini semuah muah muah muah?? (pake efek gema)
Kembali ke Kick Andy, ada seorang Ibu, nama beliau Ibu Nafisah
Ahmad Zen Shahab yang juga merupakan single parent mengasuh dan membesarkan 12
orang anak. Hebatnya nih, dari 12 anaknya, 10 orang sudah menjadi dokter, satu
Sarjana Kimia, dan 1 lainnya lulus SKP. Ck.ck.ck.. selain Ibu Nafsiah juga
diwawancarai ibu-ibu lainnya yang tak kalah hebatnya, yang juga banyak
anaknya.
Lucunya, saking banyaknya anaknya kadang-kadang ibu-ibu sampai
lupa dengan anaknya, entah nama ataupun urutannya. Asal gak lupa aja kalo dia
anaknya.
Kembali ke Ibu Pertiwi, adakah kita kutu-kutu loncat ini hafal
dan paham dengan semua anak-anaknya? Hemm ga yakin deh. Coba berapa propinsi di
Pulau Sulawesi beserta ibu kotanya lengkap dengan nama semua ketua RT yang ada
di propinsi tesebut! Tuh pada nyerah kan?! Huh.
Dari puluhan anak ibu pertiwi ini, ada yang emang terkenal sampe
go internasional bahkan lebih terkenal dari Ibu Pertiwi, sampe-sampe ada
anekdot; Indonesia sebelah mananya Bali? Selain itu banyak pula daerah yang
memang masih malu-malu kucing untuk go internasional, bahkan di kalangan lokal
sendiri banyak yang gak ngerti akan propinsi tersebut, contohnya propinsi
kesayanganku –jangan kaget ya- JAMBI!!
Sebagai putra Jambi aku sering merasa tersinggung, karena
ternyata banyak banget yang gak tahu dengan propinsi paling imut ini. “Jambi
tuh mana ya?” “Sumatra?” “Masuk propinsi mana?” Erghhhhhh saking sebelnya
rasanya pingin mencakar-cakar trio macan, deh.
Gak di mana-mana. Paling yang tau Jambi mereka yang ada saudara
di Jambi atau yang IQ nya jauh di atas rata-rata sehingga bisa mengafal hingga
seluruh nama daerah terpencil di dunia.
Bahkan pernah waktu kuliah di solo dulu ditanyain “Kamu dari mana?”
“Jambi.” Jawabku datar.
“Apa? Zombie?!”
Walhasil besok-besoknya kalo dia main ke kosan dia tanya-tanya
sama tetangga kamar. “Eh si zombie ada?”
Ampun deh, nih kuselipin petanya deh biar pada dong ya... :)
Nah, mulai sekarang jangan sampe pada gak tau ya, minimal letaknya deh (nawar).
Untuk lebih detail tentang Jambi akan dipaparkan dalam postingan-postingan
mendatang. so terus pantengin blog ini ya hehehe....
Meski 'hanya'
seorang pendatang, namun di tanah Jambi lah usiaku tumbuh berkembang, kau tetap
berada di lubuk hatiku terdalam. Seperti Cinta! Tsaaaaaahhhhhhh......
Judul ini emang kalah aduhai dibandingkan dengan melihat orang
yang lari terbirit-birit dikejar anjing. Ha..ha.. tapi kembali menjadi sesuatu
yang menakutkan kalau hal ini sampai menimpa pada seseorang (pencet hidung
sendiri).
Dulu sewaktu kecil aku punya beberapa pengalaman buruk dikejar
anjing. Waktu asyik joging sama adik malah dikejar anjing yang badannya aja
udah segede kambing, taringnya sebesar gading, matanya sebesar piring (???).
Untunglah si anjing ini rupanya pingin ikut joging saja, soalnya waktu aku
berhenti lari karena kecapekan dan kehabisan nafas (hosh hosh hosh), eh si dogi
malah berhenti juga sambil melet-melet tanpa rasa berdosa.
Mulai dari situlah, dan beberapa peristiwa memilukan lainnya
akhirnya kusimpulkan bahwa anjing itu menyeramkan. Segala macam anjing, TAN-PA
TER-KE-CU-A-LI !!! (emosi)
Melempar anjing itu nekat!
Sebenarnya, anjing itu sebelas dua belas sama tawon, kalau
enggak diganggu dia gak bakalan ganggu juga, gak bakalan menggonggong apalagi
sampe mengejar. Tapi, kalau bukan sang tuannya, jangankan mencolek, cuma
deketin pintu pager rumahnya sewotnya minta ampun, seperti ibu-ibu kebakaran
jenggot. Eh.
Maka dari itu, adalah sebuah kenekatan kalau ada anjing yang
amat sangat super hyper bengisnya sedang berleha-leha kita lempar batu sembari
pake jurus meha-meha. (acak-acak rambut gaya sun go kong)
Melempar anjing itu menghancurkan zona nyaman
Tapi, ada yang menarik lho dari orang yang dikejar anjing
(selain wajah pucat dan teriakan konyolnya), Ia akan mengerahkan segala
kekuatannya, segala yang ada pada dia. Entah itu dengan melempar batu/kerikil
di dekatnya, atau berlari sekencang-kencangnya. Semua itu dalam kerangka
mengerahkan kekuatan dari dalam dirinya.
Beda kasusnya kalau misal kita disuruh lari begitu saja, apalagi
kalau lari karena dihukum untuk mengelilingi lapangan upacara. Kita akan lari
dengan ala kadar-kadirnya, meskipun masih beribu kali lipat dari kecepatan lari
bekicot. Sih.
Karena dikejar anjing itulah kita keluar dari zona nyaman,
mengerahkan segala kekuatan yang ada pada diri kita. Kita jadi tahu bahwa kita
mampu berlari lebih kencang dari yang diduga selama ini. Dengan dikejar anjing
kita akan melewati batasan-batasan yang kita buat sendiri. (sok filosofis, deh)
Melempar anjing itu #30Harimenulisblog
Ide ini muncul dari twitter, dari @perempuansore yang getol
mengkampanyekan orang-orang untuk menulis selama 30 hari berturut-turut. Dan
ditambah lagi dengan keinginan yang penuh semangat juang 45 untuk mendarah
dagingkan gen menulis (halah), kami berdua (Tommy & Muhyi) akhirnya
menyusun program ini, yang dimulai pertanggal 20 september 2010 (20 09 2010 –
angka yang cantik bukan... hehe)
Dikatakan melempar anjing karena kami sebenarnya punya alibi
yang kuat untuk tidak menulis di tengah kesibukan pekerjaan sari senin sampai
sabtu (ALESAN!). Selain itu kebiasaan menulis yang biasanya seperti tabrak lari
karena lebih senang dengan aktifitas impian lainnya (baca: tidur) membuat kami
ingin melempar anjing, keluar dari zona nyaman dengan menulis sampai larut
malam (sebenarnya tulisannya sedikit, cuma karena kebanyakan ‘BACKSPACE’
jadinya perlu waktu lama, maklumlah pemula, he2)
Melempar anjing itu nekat jilid 2
Alamak macam judul buku aja! Eh iya lho, dengan mengasah mata
pena ini kami bercita-cita untuk menerbitkan buku (baik fiksi maupun non
fiksi), selain itu masih ada segudang cita-cita lain yang mungkin akan
teruraikan pada tulisan-tulisan mendatang. Doakan ya semuanya berjalan lancar
amin......
Terakhir, kukutip perkataan Trisnoyuwono yang tekumpul dalam
buku proses kreatif; “Aku mengarang karena yakin aku bisa mengarang, karena aku
tidak ngeri untuk gagal sebagai pengarang.”
Nah dalam bahasaku akan menjadi: Aku menulis blog karena yakin
aku bisa menulis blog, karena aku masih merasa ngeri untuk gagal dan digigit
anjing! ~ tetep :D
NB: buat anjing: maap lho, ini cuma analogi kok, enggak melempar
beneran, so jangan dimasukkan ke hati ya.... salam persahabatan. GUK! :p
Sesuluk
salam pado kanti semuo, supayo elok cerito hari iko!
Hmm, hari yang indah. Ditengah lelah kepak
memburu mimpi, kini sang punai hinggap
sejenak untuk berbagi kicau. Adalah 19 September 2010, dalam pagi yang damai,
di sebuah kafe kecil bersama segelas teh hangat dan cappuccino ice dua anak
manusia mencoba mewujudkan mimpi-mimpi indahnya bersama…halah!
Yap, langsung aja nih sob,
“Kicauan Rindu Sang Punai” tak lain dan tak bukan merupakan blog sederhana yang
bercerita mengenai sisi-sisi kehidupan berdasarkan pandangan subjektif dengan tema lokal (Jambi) sebagai warna khasnya. Yang lokal yang
vokal, ciee…
Small is beautifull (kecik tu elok)
mungkin bisa sedikit mewakili keindahan dan keunikan ragam sosial budaya sebuah
kota kecil bernama Jambi, yang kami tuangkan dalam tulisan di blog ini.
Meskipun disadari langkah terjal sedang menanti didepan.
Jujur aja nih, dari kita bedua gak ada
yang megang lisensi aseli sebagai Bujang Melayu Jambi. Sehingga sumber-sumber referensi
mengenai Originally of Jambi mesti bener-bener dikomplitin demi mengatasi
keterbatasan kami dalam hal kebudayaan Jambi yang begitu kaya ragam (lebih
tepatnya: gak merusak keaslian sejarah dan budaya Jambi, hihihi), meskipun kami
cukup kesulitan.
Tak kenal maka tak sayang, so gak ada
salahnya kamisang
empunya blog untuk sedikit mengenalkan diri kami yang tidak hina ini.
Tommy Pandiangan: Bujang rantau
kelahiran Palembang Januari 1987. Menamatkan kuliah dan bekerja sampai detik
ini di Kota Jambi. “gak balik ke Palembang Tom?” sering temen-temen alumni
mengutarakan pertanyaan yang sedemikian.
Berikutnya Achmad Muhyidin, lelaki pemalu kelahiran Februari
1984 yang juga berdomisili di Jambi. Bekerja sebagai kontraktor di sebuah
perusahaan. Hobinya membaca dan menulis sms.
Mengenai nama blog kami Kicauan Rindu
Sang punai yang tentunya amat terdengar Melayu ini, memiliki filosofi yang amat
dalam serta mewakili harapan-harapan kami kepada blog ini. Kicauan, yang
berarti setiap kata-kata yang kami tuliskan disini berasal dari kicauan hati.
Sebagai refleksi diri terhadap keadaan juga menggapai kepuasan jiwa melalui
kegiatan menulis. Layaknya kicau sang punai, meski tak ada insan yang
mendengarnya ia tetap jua berkicau.
Sedangkan rindu, adalah kata yang
mewakili hasrat hati agar tercapai mimpi dan cita-cita kami melalui blog kecil
ini. Dan mengenai mengapa unggas punai yang kami gunakan ialah tak lain karena
bentuknya yang cantik, bebas. Seperti yang kami harapkan pada blog ini.
At least harapannya blog
kecil ini dapat ikut ambil bagian dalam kancah percaturan blog di Indonesia tercinta, dan
dunia akhirat. Ciyaaaelahh...