Di dalam tempurung yang besar ini kami hidup bersama ribuan
katak. Ke mana-mana kami naik katak. Entah yang masih balita ataukah tua, kecil
ataukah besar, biru, hijau, orange, atau bahkan pink, pokoknya kami naik katak.
Di dalam tempurung yang selalu dirundung mendung ini kami
tak ling lung. Malam kami begitu terang. Siang kami begitu gelap. Dan di saat
malam ketika kami bepergian, katak-katak kami selalu memancarkan sinar
kegelapan sehingga kami tetap bisa berlalu lintas seperti biasa saat di siang
hari. Untuk menghindari kecelakaanpun di setiap pertigaan atau perempatan
selalu tersedia lampu merah, hijau dan kuning. Tentu saja lampu-lampu itu juga
memancarkan cahaya kegelapan agar bisa dilihat orang.
Di dalam tempurung ini kami terbiasa dengan katak. Sama sekali
tidak jorok. Kecuali kalau kataknya habis nyemplung di sawah atau sekadar
melewati jalan yang becek.
Nah, jika kami keluarkan katak kami dari dalam tempurung,
barangkali ke negeri kalian, hampir dipastikan kalian akan menyebutnya kodok
yang jorok. Terserahlah. Itu hanya sebutan. Hanya nama. Apalah arti sebuah
shakespare?
Seperti kalau kalian datang ke sebuah kafe, lalu disajikan
segelas minuman berwarna coklat kebiru-biruan. Dan sang pelayan tersenyum menyajikan
“Silakan tuan ini es comberannya...” Meski pelayannya mirip Angelina Julie pun
kalian pasti merasa jijik, padahal itu sejenis es coklat biasa. Hanya sekadar
nama, tapi kesannya jadi beda. Begitulah yang terjadi dengan alat-alat
tunggangan –transportasi- yang kami beri nama (label) katak ini.
Dan ini lah tunggangan kami yang kami sebut katak, dan
mungkin kalian sebut kodok.
Bagaimanapun kerennya mobil motor di sini semuanya pakai
nama plat yang sama. Plat paling jorok se Indonesia.
Tapi jangan salah, plat ini diartikan bahwa Jambi, adalah
gabungan dua kota terbesar di Indonesia. Jakarta dan Semarang. Hehehe
1 komentar:
sebenrnya sih pikiran saya gak sampe 'jorok' tapi karna sang penulis menjelaskan,jadi rada ngeres juga deh *LoL*
Posting Komentar