Jumat, 24 September 2010

Perbincangan Waktu


“Apa kau tak lelah hidup terikat dengannya.”
“Entahlah.”
“Sudah, jujur saja, aku tau guru macam dia bukan seleramu, kan?!”
“Tidak.”
“Memang, sih, kalau dia jadi guru kan gara-garanya kualat sama gurunya, tapi...”
“Kualat?”
“Loh dia tak pernah cerita sama kamu?”
“Tidak, Kakak kok tahu?”
“Ya.. aku sih juga cuma curi dengar, waktu itu dia cerita sama temannya yang suka ke sini pakai motor tiger merah itu, kalau dia jadi guru ekonomi gara-gara pernah bikin nangis guru ekonominya sewaktu sma.”
“Haha.. ngarang kamu Kak.”
“Eh BENERAN INI!!”
“Sssstttt!!!! Jangan keras-keras bisa bangun dia nanti.”
“Suara kita tak akan terdengar dari kamar.”
“Tadi, dia pulang hampir larut malam, saking letihnya sampai tertidur di sofa, makanya pelan-pelan saja.”
“Larut malam? Kau tak curiga?.”
“Aku kan juga ikut dia tadi. Seminggu ini banyak guru bimbel yang tidak masuk makanya dia terpaksa menggantikan, padahal ia masih harus menyelesaikan tulisan-tulisannya. ”
“Kalau memang bukan tugas dia, kenapa harus repot menggantikan!”
“Kau tahu sendiri Kak, dia itu..”
“Tak tegaan, kalem, baik! Begitu maksudmu? Ah, heran kakak, padahal bapaknya orang batak, kok dia tidak ada tegas-tegasnya sama sekali.”
“Ah, tak ada hubungannya sama sekali, lagi pula dia lebih mirip dengan ibunya yang orang sunda.”
“Oh ya, kapan kita akan pindah ke rumah yang di Palembang?”
“Tidak, dia bilang sudah betah di Jambi sini, dan akan merintis usaha bersama teman-temannya, yah sama-sama untuk membangun jambi katanya.”
Tiba-tiba terdengar suara orang terbangun.
“Kau cepat kembali sana!.”
Aku melayang, lantas melesat cepat memasuki tubuhku lagi yang masih terikat erat di tangannya. Beruntunglah dia belum sadar betul. Sampai ditubuhku, selain aku sibuk berbicara sendiri dengan suara lirih kudengar pula denyut nadi di pergelangan tangan kirinya.
Ia menatapku sambil menyipitkan matanya, seakan menatapku dengan penuh curiga.
“Pukul 3 dini hari.” Aku tersenyum. Namun tiba-tiba ia melepaskan ikatanku, lalu pergi ke belakang.
Sebentar kemudian dia sudah kembali segar di depan laptopnya di ruang tengah. Wajahnya dan tangannya basah oleh air wudhu yang harum.
Ia mengikatku lagi.
Sambil mengamati kurva-kurva huruf itu berlompatan dari kepalanya ke layar laptop saat ia mulai menulis, kulirik kakakku, jam dinding yang terpampang di seberang ruangan. Ia tampak begitu lesu di atas sana, ditemani pigura-pigura yang terlihat seperti bingkai sepi yang membeku.
Dalam hati aku berucap “Kakak, aku bahagia karena lebih banyak terjaga bersamanya, aku bahagia menjadi jam tangan seorang Tommy Pandiangan.”

0 komentar:

Posting Komentar