“Apa kau tak
lelah hidup terikat dengannya.”
“Entahlah.”
“Sudah, jujur
saja, aku tau guru macam dia bukan seleramu, kan?!”
“Tidak.”
“Memang, sih,
kalau dia jadi guru kan gara-garanya kualat sama gurunya, tapi...”
“Kualat?”
“Loh dia tak
pernah cerita sama kamu?”
“Tidak, Kakak kok
tahu?”
“Ya.. aku sih
juga cuma curi dengar, waktu itu dia cerita sama temannya yang suka ke sini
pakai motor tiger merah itu, kalau dia jadi guru ekonomi gara-gara pernah bikin
nangis guru ekonominya sewaktu sma.”
“Haha.. ngarang
kamu Kak.”
“Eh BENERAN
INI!!”
“Sssstttt!!!!
Jangan keras-keras bisa bangun dia nanti.”
“Suara kita tak
akan terdengar dari kamar.”
“Tadi, dia pulang
hampir larut malam, saking letihnya sampai tertidur di sofa, makanya
pelan-pelan saja.”
“Larut malam? Kau
tak curiga?.”
“Aku kan juga
ikut dia tadi. Seminggu ini banyak guru bimbel yang tidak masuk makanya dia
terpaksa menggantikan, padahal ia masih harus menyelesaikan tulisan-tulisannya.
”
“Kalau memang
bukan tugas dia, kenapa harus repot menggantikan!”
“Kau tahu sendiri
Kak, dia itu..”
“Tak tegaan,
kalem, baik! Begitu maksudmu? Ah, heran kakak, padahal bapaknya orang batak,
kok dia tidak ada tegas-tegasnya sama sekali.”
“Ah, tak ada
hubungannya sama sekali, lagi pula dia lebih mirip dengan ibunya yang orang
sunda.”
“Oh ya, kapan
kita akan pindah ke rumah yang di Palembang?”
“Tidak, dia
bilang sudah betah di Jambi sini, dan akan merintis usaha bersama
teman-temannya, yah sama-sama untuk membangun jambi katanya.”
Tiba-tiba
terdengar suara orang terbangun.
“Kau cepat
kembali sana!.”
Aku melayang,
lantas melesat cepat memasuki tubuhku lagi yang masih terikat erat di
tangannya. Beruntunglah dia belum sadar betul. Sampai ditubuhku, selain aku
sibuk berbicara sendiri dengan suara lirih kudengar pula denyut nadi di
pergelangan tangan kirinya.
Ia menatapku
sambil menyipitkan matanya, seakan menatapku dengan penuh curiga.
“Pukul 3 dini
hari.” Aku tersenyum. Namun tiba-tiba ia melepaskan ikatanku, lalu pergi ke
belakang.
Sebentar kemudian
dia sudah kembali segar di depan laptopnya di ruang tengah. Wajahnya dan
tangannya basah oleh air wudhu yang harum.
Ia mengikatku
lagi.
Sambil mengamati
kurva-kurva huruf itu berlompatan dari kepalanya ke layar laptop saat ia mulai
menulis, kulirik kakakku, jam dinding yang terpampang di seberang ruangan. Ia
tampak begitu lesu di atas sana, ditemani pigura-pigura yang terlihat seperti
bingkai sepi yang membeku.
Dalam hati aku
berucap “Kakak, aku bahagia karena lebih banyak terjaga bersamanya, aku bahagia
menjadi jam tangan seorang Tommy Pandiangan.”
0 komentar:
Posting Komentar