"Bila siang adalah saudara lelaki tua, maka malam adalah adik putri kecilnya, yang bergantian menjaga bumi."
Aku tak benar faham dengan rangkai kata itu. Urutan kata yang sering kuulang hingga menjadi kalimat paling akrab dengan lisan ini. Urutan kata yang dilafazkan ibu di akhir waktunya. Akhir waktu yang menjadi awal mula dari keterpisahan kita; aku, ibu, dan Anjani adik kesayanganku.
Tepat seminggu setelah pemakaman ibu adikku menghilang, entah ke mana. Tapi aku yakin betul kalau adikku itu hanya menghillang. Maksudku, ia hanya menjadi tubuh yang tak tampak. Entahlah, karena kulihat bapak masih mencucikan bajunya yang hanya ada dua pasang. Bapak pun melarang aku merapikan kotak kardus dan tumpukan koran yang menjadi alas tidurnya, yang tepat di pojok kamar, kamar yang kami tempati secara bersama-sama. Kamar yang menjadi satu-satunya ruang dalam rumah kami, atau tepatnya kamar berdinding kayu tipis, bersegi empat dengan ukuran tujuh kali langkah orang dewasa pada masing-masing sisinya.
Kasihan bapak, dalam kelumpuhannya harus menanggung ini semua. Sewaktu ibu masih hidup ibulah yang bekerja sebagai pemulung. Tapi kini setiap pagi bapak sudah menyeret dua kakinya -yang tak lebih besar dari pipa saluran gas- menuju bukit sampah yang terbentang tepat di depan rumah.
"Pak biar Bayu sendirian aja ya yang kerja," rengekku.
"Nanti kalau kamu sudah besar. Lihat, keranjang ini jauh lebih gede dari kamu."
"Tapi kok pagi-pagi banget sih Pak. Yang lain belum pada ke luar rumah."
"Bapak kan jalannya susah, lama sampai ke sana, lagian ini sudah lapar, siapa tau ada makanan sisa yang masih bisa dimakan,"
Begitulah, bapak tak mau pernah tinggal sendiri di rumah. Mungkin karena benda-benda kenangan ibu dan Anjani yang tak seberapa banyaknya masih utuh di kamar ini. Mukena lusuh penuh tambalan, sendal jepit ibu yang penuh dengan lilitan tali rafia warna abu-abu kusam, tas kecil Anjani yang berisi lipatan-lipatan kertas dan beberapa potongan pensil, hingga bando pinknya yang tergantung di balik pintu, semua masih tampak seperti semula, kecuali sebuahh kotak putih persegi yang mengisi bagian di mana biasanya ibu berbaring.
*****
"Pak! Bapak! Lihat, Anjani sudah pulang."
"Mana, mana?"
"Ini lihat Pak," kataku sambil menunjukkan beberapa lembar kertas. "Ini pasti Anjani yang menggambar!"
"Bukan."
"Iya Pak, sebelumnya kertas yang ini masih kosong belum ada gambarnya."
"Bukan!!!"
Kertas dalam genggamanku berjatuhan. Aku terkaget bukan main. Tak pernah bapak semarah ini. Dengan mengepalkan kedua tangannya bapak berjalan, melangkah ke luar. Namun sekilas kutangkap kesedihan menggenang di air mukanya.
Aku sangat merasa bersalah. Kutampar-tampar pipiku. Aku yakin betul ini coretan Anjani. Gambar rumah, bunga-bunga kecil, dan matahari yang sedang tersenyum.
Ah, tapi akhir-akhir ini pun aku merasa aneh. Sebagai anak yang seharusnya telah duduk di kelas enam sekolah dasar kalau sekadar mengingat hari dan tanggal adalah hal yang mudah. Namun nyatanya aku sering berselisih hari atau pun tanggal, baik dengan teman maupun dengan mandor TPA.
"Ini hari KAMIS! Bukan Rabu, kemana saja kau kemarin. Ini upahmu untuk tiga hari! Sudah malas, pintar bohong lagi!" Suatu ketika aku dibentak saat ingin meminta upah mingguan.
****
Malam melangkah hampir separuh perjalanan. Langit penuh mendung. Tiada rembulan. Namun kota belum sepenuhnya terlelap. Di sebuah rumah kumuh di tepian gunungan sampah seorang lelaki memasukkan anak laki-lakinya dalam sebuah peti, setelah sebelumnya mengeluarkan anak putrinya.
"Saatnya kau hidup hari ini nak, saatnya kau makan pagi nanti." Katanya sambil membelai rambut si puteri kecilnya.
Aku tak benar faham dengan rangkai kata itu. Urutan kata yang sering kuulang hingga menjadi kalimat paling akrab dengan lisan ini. Urutan kata yang dilafazkan ibu di akhir waktunya. Akhir waktu yang menjadi awal mula dari keterpisahan kita; aku, ibu, dan Anjani adik kesayanganku.
Tepat seminggu setelah pemakaman ibu adikku menghilang, entah ke mana. Tapi aku yakin betul kalau adikku itu hanya menghillang. Maksudku, ia hanya menjadi tubuh yang tak tampak. Entahlah, karena kulihat bapak masih mencucikan bajunya yang hanya ada dua pasang. Bapak pun melarang aku merapikan kotak kardus dan tumpukan koran yang menjadi alas tidurnya, yang tepat di pojok kamar, kamar yang kami tempati secara bersama-sama. Kamar yang menjadi satu-satunya ruang dalam rumah kami, atau tepatnya kamar berdinding kayu tipis, bersegi empat dengan ukuran tujuh kali langkah orang dewasa pada masing-masing sisinya.
Kasihan bapak, dalam kelumpuhannya harus menanggung ini semua. Sewaktu ibu masih hidup ibulah yang bekerja sebagai pemulung. Tapi kini setiap pagi bapak sudah menyeret dua kakinya -yang tak lebih besar dari pipa saluran gas- menuju bukit sampah yang terbentang tepat di depan rumah.
"Pak biar Bayu sendirian aja ya yang kerja," rengekku.
"Nanti kalau kamu sudah besar. Lihat, keranjang ini jauh lebih gede dari kamu."
"Tapi kok pagi-pagi banget sih Pak. Yang lain belum pada ke luar rumah."
"Bapak kan jalannya susah, lama sampai ke sana, lagian ini sudah lapar, siapa tau ada makanan sisa yang masih bisa dimakan,"
Begitulah, bapak tak mau pernah tinggal sendiri di rumah. Mungkin karena benda-benda kenangan ibu dan Anjani yang tak seberapa banyaknya masih utuh di kamar ini. Mukena lusuh penuh tambalan, sendal jepit ibu yang penuh dengan lilitan tali rafia warna abu-abu kusam, tas kecil Anjani yang berisi lipatan-lipatan kertas dan beberapa potongan pensil, hingga bando pinknya yang tergantung di balik pintu, semua masih tampak seperti semula, kecuali sebuahh kotak putih persegi yang mengisi bagian di mana biasanya ibu berbaring.
*****
"Pak! Bapak! Lihat, Anjani sudah pulang."
"Mana, mana?"
"Ini lihat Pak," kataku sambil menunjukkan beberapa lembar kertas. "Ini pasti Anjani yang menggambar!"
"Bukan."
"Iya Pak, sebelumnya kertas yang ini masih kosong belum ada gambarnya."
"Bukan!!!"
Kertas dalam genggamanku berjatuhan. Aku terkaget bukan main. Tak pernah bapak semarah ini. Dengan mengepalkan kedua tangannya bapak berjalan, melangkah ke luar. Namun sekilas kutangkap kesedihan menggenang di air mukanya.
Aku sangat merasa bersalah. Kutampar-tampar pipiku. Aku yakin betul ini coretan Anjani. Gambar rumah, bunga-bunga kecil, dan matahari yang sedang tersenyum.
Ah, tapi akhir-akhir ini pun aku merasa aneh. Sebagai anak yang seharusnya telah duduk di kelas enam sekolah dasar kalau sekadar mengingat hari dan tanggal adalah hal yang mudah. Namun nyatanya aku sering berselisih hari atau pun tanggal, baik dengan teman maupun dengan mandor TPA.
"Ini hari KAMIS! Bukan Rabu, kemana saja kau kemarin. Ini upahmu untuk tiga hari! Sudah malas, pintar bohong lagi!" Suatu ketika aku dibentak saat ingin meminta upah mingguan.
****
Malam melangkah hampir separuh perjalanan. Langit penuh mendung. Tiada rembulan. Namun kota belum sepenuhnya terlelap. Di sebuah rumah kumuh di tepian gunungan sampah seorang lelaki memasukkan anak laki-lakinya dalam sebuah peti, setelah sebelumnya mengeluarkan anak putrinya.
"Saatnya kau hidup hari ini nak, saatnya kau makan pagi nanti." Katanya sambil membelai rambut si puteri kecilnya.
0 komentar:
Posting Komentar