“Emmh… masih enakan masakannya
bunda, ueeekkh!”
“sssst, mulutmu itu, Dik!” (menekan
geram)
Sedari tadi udara disesaki sepi,
tidak ada kata-kata yang berani menegaskan wujudnya, hanya desisan bibir dan
delikan mata yang saling hujam satu sama lain. Celoteh cicak mengiringi denting sendok dan garpu yang memantul-mantul
di ruangan bercat coklat krem, yang berpadu manis dengan meja dan kursi coklat
tua mengilap serta bersiku dinamis ala Art
Deco. Di sudut lain, berdiri sebuah jam antik tegap dan dingin, seperti
berputar maju mundur memelihara waktu.
Empat rongga mulut di ruangan itu
memamah dan mencecap dalam masing-masing hati yang seperti mengidap ambeien, gusar.
Terutama si perempuan paruh baya yang sedang menggesek-gesek steak kejal yang tak mau putus-putus
itu. Si perempuan paruh baya dengan decit kursi keenam kalinya, yang
menghujamkan Sour De Parisnya ke
lubang hidung tiga manusia lain di ruangan itu hingga pening, termasuk juga sepasang
cecak terbakar asmara di sudut langit-langit ruangan. Dan si perempuan paruh
baya dengan rambut coklat bergelung-gelung, yang rikuh gelagatnya segera di
tangkap pria buncit berjambang lebat, berkaus tipis, bersuara berat yang duduk
bersisian dengannya.
“Ehem… bagaimana ulanganmu tadi,
Dit?” (udara pecah)
“O begitu, tapi kemungkinan
minggu depan Ayah ada meeting di pusat. (pria buncit menoleh ke sisi kiri,
menatap perempuan paruh baya yang cepat-cepat menata senyumnya) Atau, biar
Tante saja yang…”
“…Yaaaaah! Ade’ maunya masakan
Bundaaa!” (Pria buncit tercekat dengan vokal “a” yang hampir terjungkal dari
bibirnya. Perempuan paruh baya berdesir, menggulung senyumnya kembali)
“Psssssttttt!!! Berapa kali harus
abang bilang!” (menekan bisik)
“Adduuuh! Abang jangan main
cubit-cubit gitu doonk! Sakit tauu’!!!”
(*Si perempuan paruh baya gelagapan,
lalu mendecitkan lagi kursinya. Kali ketujuh!)
***
Dalam waktu yang hampir
bersamaan, dari sebuah kamar berudara remang jingga. Di sebuah rumah lain yang direntang
tujuh jam bis malam dari rumah di atas berada.
“Aku kangen Radit dan Rahmi,
Mas!” (meratakan sejenis krim awet muda di hadapan cermin)
“Hmmh… kamu ini! beri aku waktu
dong, nanti biar aku yang urus” (menyempit-nyempitkan dasi)
“Ahh, dari dulu kamu selalu
ngomong begitu! Tapi mana buktinya?” (naik kasur, menggelusur, mengoceh kecil dalam
selimut)
“Kamu ngertiin aku dikit dong,
beberapa minggu ini aku dikejar deadline, belum lagi nanti…”
“…aaah ya udahlah, aku ngerti! Ngertiii
banget, Maaas!
“Nah, trus kapan kita ke rumah
orang tuamu, Mas?” (menyibak selimut dari wajahnya)
“Gila kamu! Ya tunggu kamu urus
tetek bengek perceraian kamu dengan suami kamu itu!” (kemudian meraih tas
kulit, sembari melangkah keluar pintu kamar)
(bunyi mobil distarter di halaman, beringsut, menderu,
lalu hilang di tikungan ujung komplek)
“huufffffff…”
(beberapa saat senyap turun mengendap)
“Klik” (Lampu meja dimatikan)
0 komentar:
Posting Komentar