Di meja biru persegi itu, kita akan duduk bersisian. Setelah kau renggangkan sedikit sebuah kursi rotan, lalu mendudukkan tubuhku yang mendongak menghadap meja.
Seorang pelayan, bujang berumur tanggung, sekenanya menggelusurkan dua gelas besar teh hambar. Sejujurnya, aku benci sekali rasa pahitnya.
Pelayan itu mendekatkan wajah datarnya padamu. Kalian bercakap-cakap sebentar. Dan pastilah bukan mengenai alasan macam apa yang menyurupi Mike Tyson untuk mengerat kuping musuh beratnya, Evander Hollyfield di ronde permulaan, dua pekan lalu. Karena bujang tanggung itu lantas menegakkan dua jari kepada karibnya_ bujang tambun yang sedang berdiri menghadap semacam plat besi sebesar tampah beras, namun hampir datar berlumur minyak mendidih.
Bujang tambun itu pun memecah dua butir telur itik diatas adonan yang telah ditepuknya setipis daun keladi. Dan cekat ia tilam telur itu kedalam adonan menjadi empat sama sisi, dengan aroma khas yang mengeriapkan penjuru bilik lambung.
Ingin kuutarakan sesuatu padamu. Namun buru-buru redup mata itu mencegah.
Kupegang erat raportku. Yang tadi pagi kau ambil agak lama, pada antrian belakang, sebab harus menganggukkan beberapa petuah wali kelasku yang sering bertajir-tajir dalam berucap. Sedang aku masih menunggu dan mengintip senyummu dari kejauhan.
Ah, pesanan kita datang. Ajaib memang, adonan tipis daun keladi itu kini menjelma semacam lipatan sapu tangan berwarna coklat dengan pinggiran mutung dan dicacah kecil-kecil. Ada lumuran kuah kentang amat kental beruap-uap di atasnya. Tak lupa ikut juga sepiring kecil cuka hitam dengan potongan cabai hijau dan bawang Bombay yang menyisakan janggal di lidah kelak.
Dan sebelum tanganmu menghampiri piring sendiri, terlebih dahulu kau tegaskan lagi garis-garis cacahan itu agar lebih mudah nanti ketika kucatut ia dengan garpu. Sesekali kau tiup-tiup uap panasnya yang bergelung-gelung harum. Dan setelah itu kita langsung membungkam lambung masing-masing.
Mungkin benar, restoran ini tak diciptakan untuk anak delapan tahun, sehingga masih tertinggal beberapa cacahan lagi yang tak kukhatamkan. Dan kau cuma menarik simpul bibirmu sembari menyulut sebatang kretek berlambang dua buah jambu berwarna hitam dari saku baju. Bungkusnya tak bertera peringatan pemerintah. Tapi mungkin dua buah jambu hitam itu cukuplah sebagai isyarat bagi dua benda penting di rongga dadamu.
Dan sesekali kau kibas lentingan nyala abu yang ingin menambahi lelubang sebesar kepala jarum di celana dinasmu. Yang dua kali setahun dijatahkan pemerintah dari pungutan pajak Negara itu.
Batang tembakaumu pun lunas, dan kita beranjak. Beberapa alasan dan pemakluman telah kau sulam dalam kepalamu, agar kelak nyonya besar di rumah kita bisa sedikit memaklumi barisan bilangan kuyu dalam raportku.
Setelah kau mengijabkan lembaran rupiah pada bujang tambun tadi, kau tegakkan lagi tubuhku dibagian depan skuter yang lagi-lagi kepalanya membuatku mendongakkan dagu.
Di perjalanan, angin membelai bebas rambutku, sesekali ia terselip aroma keringatmu. Sepertinya setiap kerat daging dan deru darahku tak asing lagi dengannya.
Namun percakapan mata kita di meja itu belum juga selesai. Ia tertinggal dan senantiasa akan selalu menunggu.
Menunggu untuk beberapa meja lagi kita akan bersisian, dan segala peristiwa-peristiwa lainnya yang hanya akan menggelantung di tubir ucapku, dan ulas simpulmu.
Tapi... aku tak benar-benar yakin akan hal itu, Ayah! Meski sampai nanti, di suatu masa kan kurampungkan riwayat huruf-hurufkku, yang sudah letih mengurai isyarat kalbu.
0 komentar:
Posting Komentar