Aku bosan dengan kota ini. Semua jalan besar hingga gang-gang paling sempit sudah pernah aku jelajahi. Ribuan jalur, ribuan tujuan membentang, semua sudah pernah aku jejaki dengan kedua kakiku ini.
"Apa ada dunia lain selain kota yang membosankan ini Bu?"
"Hush!"
Selalu saja jawaban itu yang kudengar dari ibu. Sepertinya pertanyaan itu teramat tabu untuk ditanyakan di kalangan bangsa kami, bangsa Harda. Sebuah bangsa yang hidup di sebuah wilayah yang sangat tertutup rapat dari dunia luar.
Hidup kami penuh dengan perjalanan. Ya, kami hidup dengan berjalan dan terus berjalan, bergerombol, berdesak-desakan, tak kenal kata henti kecuali jalanan yang tiba-tiba menyempit atau kami mati, baik karena serangan musuh tiba-tiba atau mati karena menua.
Di sepanjang jalan terbangun benteng yang sangat kokoh, yang tak mungkin tertembus jika hanya mengandalkan kekuatan kami. Selain itu pasukan putih selalu siaga berpatroli di mana-mana.
"Kalau kau beruntung kau bisa ke luar dari kota ini" kata seorang lelaki paruh baya yang kali ini berjalan beriring denganku.
"Ba.."
"Sesuatu akan muncul tiba-tiba dari balik benteng dan akan menarikmu menuju dunia luar. Tapi jangan kau berharap, sebab keberuntungan itu hanya akan membawamu kepada dunia yang sama sekali asing bagimu, yang bisa membunuhmu!" katanya memotong sebuah pertannyaan yang ingin aku ajukan. Namun belum sempat aku bertanya lagi ia sudah lesap. Kami berpisah di sebuah tikungan bercabang.
Berhari-hari kata-katanya menghantuiku. Dunia luar itu benar-benar ada. Tapi apakah aku bisa terbunuh jika aku keluar dari kota ini? Ah sama saja, bukankah di kota inipun aku bisa terbunuh oleh musuh yang menyergap masuk.
****
Kutampar-tampar pipiku. Ini bukan mimpi. Aku tersenyum sendiri di tengah suara teriakan panik puluhan bangsa Harda yang tiba-tiba tersedot ke sebuah ruang yang berdinding tipis dan transparan ini.
"Lihatlah! Lihatlah! Itu semesta! Itu alam raya!" terdengar sebuah teriakan, yang setelah kucari-cari ternyata dari lelaki paruh baya yang waktu itu aku temui. Ah ternyata dia juga menginginkan perjalan ini.
Belum sempurna aku tersenyum, tiba-tiba laki-laki itu menjerit dan menangis. Dan tinggallah aku sendiri yang tak menangis dalam ruang sempit ini.
Dari dinding tipis transparan itu aku lihat keluar. Inikah alam raya itu? Kegelapan di mana-mana, namun ada sebuah pelita yang semakin lama semakin besar, semakin terang. Sepertinya ruang ini terbawa bergerak mendekat ke sana. Adakah petualangan baru di sana? Tapi entah kenapa tiba-tiba aku pun ingin ikut menjerit.
(Malam itu di balik lampu belajar, seekor cicak bersiap menyergap seekor nyamuk yang terbang lambat sebab perutnya baru saja penuh oleh darah)
"Apa ada dunia lain selain kota yang membosankan ini Bu?"
"Hush!"
Selalu saja jawaban itu yang kudengar dari ibu. Sepertinya pertanyaan itu teramat tabu untuk ditanyakan di kalangan bangsa kami, bangsa Harda. Sebuah bangsa yang hidup di sebuah wilayah yang sangat tertutup rapat dari dunia luar.
Hidup kami penuh dengan perjalanan. Ya, kami hidup dengan berjalan dan terus berjalan, bergerombol, berdesak-desakan, tak kenal kata henti kecuali jalanan yang tiba-tiba menyempit atau kami mati, baik karena serangan musuh tiba-tiba atau mati karena menua.
Di sepanjang jalan terbangun benteng yang sangat kokoh, yang tak mungkin tertembus jika hanya mengandalkan kekuatan kami. Selain itu pasukan putih selalu siaga berpatroli di mana-mana.
"Kalau kau beruntung kau bisa ke luar dari kota ini" kata seorang lelaki paruh baya yang kali ini berjalan beriring denganku.
"Ba.."
"Sesuatu akan muncul tiba-tiba dari balik benteng dan akan menarikmu menuju dunia luar. Tapi jangan kau berharap, sebab keberuntungan itu hanya akan membawamu kepada dunia yang sama sekali asing bagimu, yang bisa membunuhmu!" katanya memotong sebuah pertannyaan yang ingin aku ajukan. Namun belum sempat aku bertanya lagi ia sudah lesap. Kami berpisah di sebuah tikungan bercabang.
Berhari-hari kata-katanya menghantuiku. Dunia luar itu benar-benar ada. Tapi apakah aku bisa terbunuh jika aku keluar dari kota ini? Ah sama saja, bukankah di kota inipun aku bisa terbunuh oleh musuh yang menyergap masuk.
****
Kutampar-tampar pipiku. Ini bukan mimpi. Aku tersenyum sendiri di tengah suara teriakan panik puluhan bangsa Harda yang tiba-tiba tersedot ke sebuah ruang yang berdinding tipis dan transparan ini.
"Lihatlah! Lihatlah! Itu semesta! Itu alam raya!" terdengar sebuah teriakan, yang setelah kucari-cari ternyata dari lelaki paruh baya yang waktu itu aku temui. Ah ternyata dia juga menginginkan perjalan ini.
Belum sempurna aku tersenyum, tiba-tiba laki-laki itu menjerit dan menangis. Dan tinggallah aku sendiri yang tak menangis dalam ruang sempit ini.
Dari dinding tipis transparan itu aku lihat keluar. Inikah alam raya itu? Kegelapan di mana-mana, namun ada sebuah pelita yang semakin lama semakin besar, semakin terang. Sepertinya ruang ini terbawa bergerak mendekat ke sana. Adakah petualangan baru di sana? Tapi entah kenapa tiba-tiba aku pun ingin ikut menjerit.
(Malam itu di balik lampu belajar, seekor cicak bersiap menyergap seekor nyamuk yang terbang lambat sebab perutnya baru saja penuh oleh darah)
NB: Alhamdulillah, cerita ini menjadi Best of The Night pada 9 April 2011
http://writingsessionclub.blogspot.com/2011/04/best-of-night-9-april-2011.html
0 komentar:
Posting Komentar