Kamis, 21 April 2011

Milly

Menjelang pagi menuding angka tujuh, muka etalase toko itu telah sesak oleh riuh renyah anak-anak sekolah. Mereka sandarkan Gazzele-nya lalu dengan badan terbungkuk, dan ada juga yang berjongkok_ melemparkan wajah polosnya ke dalam etalase kaca. Tepat pada sebuah rumah mungil yang hampir seluruh bagiannya terbuat dari coklat, bertabur butiran permen berwarna-warni nakal di dindingnya. Sedang pada halamannya terhampar lumuran krim hijau bening mentol dengan tatanan biskuit yang berpura-pura sebagai petak-petak batu di jalan setapak yang meliuk dari mulut pintu rumah, Olala…

Cuma itu? O, tentunya tidak! Inilah dia! Anak-anak ini telah paham betul,  jika jarum panjang menyinggul angka dua belas, maka seekor mahkluk berukuran biji kenari akan muncul dari dalam rumah mungil itu, menguap, meregangkan badan sembari mengepakkan kedua sayap mungilnya yang masih nampak kuyu.

"Olaaa!" katanya sembari melambaikan tangannya yang sepanjang batang korek api. Dan anak-anak pun membalas dengan keriuhan tak kalah gempita. Lalu setelahnya, mahkluk itu pun akan mengepakkan sayap, terbang rendah mengitari rumahnya untuk merapihkan lagi letak permen dan biskuit di sekeliling halaman yang sebenarnya memang tak butuh dirapihkan.
 
                                                                     ***
Milly, begitulah tiap bibir menyebut mahkluk itu. Seekor peri hutan yang menjadi daya tarik toko coklat janda gemuk ramah yang dipanggil Nyonya Isabel. Bahkan warga kota menyebut nama toko coklat itu dengan sebutan Toko Coklat Milly, bukannya Toko Delicious sebagai nama asli toko itu sendiri.
Tapi tak mengapa, karena sesungguhnya Nyonya Isabel pun sangat diuntungkan oleh keberadaan Milly, karena setiap pejalan yang melintasi tokonya tak akan melewatkan perhatian pada aktivitas Milly di rumah mungilnya. Masuk toko, dan membayar sejumlah coklat sembari terkagum-kagum pada Milly dari jarak paling dekat adalah salah satu kebiasaan pelanggan yang membuat Nyonya Isabel begitu menyayangi Milly.

                                                                                     ***
Lihatlah, kini Milly sedang menjemur beberapa helai pakaian hijaunya yang hanya selebar sehelai  kelopak mawar. Seorang ayah dan putrinya yang melonjak-lonjak kegirangan di muka etalase ia sapa dengan lambaian riang kedua tangannya.

Ah, Milly merasa sangat senang dengan keadaannya sekarang. Lambat laun duka pun mulai surut dari rona wajahnya yang lucu. Walaupun, terkadang peristiwa musim dingin setahun lalu masih menjadi hantu yang mengucurkan keringat pasi di bantal tidurnya.

                                                                                     ***
Sungguh tak akan lekang dari ingatannya bagaimana saat itu, Bangsa Qitch_ Peri Danau Hitam yang kehilangan tempat tinggal akibat serbuan koloni belibis laut timur_ harus mencari tanah baru demi menyelamatkan diri dari cakar tajam musim dingin nan bengis. Tak ada cara lain kalau bukan merampas tempat tinggal Peri Hutan dengan paksa. Atau, bukan hanya merampas, tepatnya memberangus. Dengan keji mereka membantai seisi kampung Peri Hutan hingga seluruh koloni di dalamnya hampir tak bersisa. Oh, mesti sebegitukah?

Untungnya, saat itu Milly berhasil kabur. Dengan bantuan kecepatan sayap seekor Peri Hutan yang sebenarnya tak ia kenal betul saat sedang bersamaan mengumpulkan putik mawar liar jauh di lembah belakang perkampungan. Namun peri penyelamat itu akhirnya ikut tewas, akibat luka yang dideritanya ketika meloloskan diri dari kejaran segerombolan pejantan Peri Danau Qitch.

Milly sangat terpukul, sebab tak cuma itu, ternyata seluruh keluarganya pun ikut menjadi korban. Berhari-hari Milly terkatung dari hutan ke hutan, bertemu mahkluk-mahkluk pemangsa yang belum pernah ia jumpai selama hidupnya. Beberapa peristiwa hampir merenggut nyawanya.
Hingga takdir menuntun sayapnya ke sebuah tempat yang sangat asing, dipenuhi mahkluk-mahkluk besar yang juga asing namun hampir menyerupai dirinya. Dan suatu pagi ia ditemukan tergeletak lemas dalam sebuah mangkuk di dapur oleh pembantu Nyonya Isabel yang kaget.

Hari demi hari berjalan, akhirnya Milly terbiasa dengan bangsa manusia. Ia pun dipersilahkan menempati pajangan rumah coklat di etalase. Ibarat kumbang dan mawar yang saling menguntungkan satu sama lain. "Peri dan manusia, hidup bersama?", "Kenapa tidak!" Ujar Nyonya Isabel dan pembantunya kepada tiap pengunjung toko sembari menebar tawa yang ramah.

                                                                                   ***
"Milly hilang!" Suatu hari seisi kota gempar, mereka berduyun-duyun mendatangi toko coklat Nyonya Isabel demi memastikan kebenaran kabar angin itu, dan benar saja! Yang mereka dapati, rumah coklat di etalase memang telah kosong. Nyonya Isabel terisak-isak dalam pelukan pembantunya.

Media cetak dan radio lokal memberitakan perihal kegemparan itu. Oh, Milly! Warga kota tak habis pikir, mereka sangat menyayangkan kejadian ini. Tanda tanya yang kusut masai simpang siur dalam kepala warga kota.
***

Seminggu setelah kejadian itu. Seekor kunang-kunang yang penasaran pada keabsahan kisah yang dituturkan seekor peri yang ditemuinya, datang dan menyusup lewat ventilasi menuju dapur toko coklat Nyonya Isabel.

Di dapur itu, yang pintunya selalu terkunci seperti biasa, Nyonya Isabel mengaduk adonan berwarna hitam kelat sembari menanti cincangan-cincangan beku yang sedang dikerjakan pembantunya.

Cincangan-cincangan beku itu diambil dari sebuah lemari pendingin yang juga selalu terkunci rapat pada siang hari.

ketika sudah dekat tiba-tiba kunang-kunang menjerit, terbang tunggang langgang meninggalkan toko. Si pembantu merasakan ada sesuatu yang mengusiknya namun ia tak mengacuhkan, lalu menekuni kembali cincangan-cincangan peri hutan beku itu untuk dituang kedalam adonan Nyonya Isabel.

0 komentar:

Posting Komentar