Para warga mengenalinya dari keranjang bambu yang tersangkut di sebatang pohon jati yang roboh menjulur ke sungai. Tapi kami melihatnya bahkan pada detik pertama ia terjatuh. Kerumunan warga semakin banyak. Namun semua tak dapat berbuat apa-apa. Kecuali kamu.
*****
“Hore!!! Ayo kita buat jam matahari!” teriakmu waktu itu. Kau letakkan sebuah batu di pinggir sungai lalu kau berjalan mundur di jalan setapak hingga bayangan kepalamu tepat menyundul batu itu. Lalu kau mulai menjengkalkan jarak bayangan dengan telapak kaki sambil berhitung “Satu, dua, tiga, empat, enam...”
“Lima, Pur!” potongku. Lalu kau dengan gugup mengulanginya lagi. Mengulangi semuanya. Mulai dari memindahkan batu (ini kau lakukan seolah ketika salah hitung maka batu itu sudah tak suci lagi pada posisi itu dan harus digeser) lalu mundur mengepaskan bayanganmu dan mulai berhitung lagi.
Aku selalu tak dapat menahan senyum, karena kau pasti akan melakukannya berkali-kali, entah terlewat menghitung pada angka lima, enam, tujuh dan seterusnya. Dan sepertinya pelajaran jam Matahari dari Bu Wanti membuatmu jadi suka dengan angka-angka, meskipun tak membuatmu jadi mau akrab dengan matematika.
Entahlah, apa yang ada di kepalamu sehingga kau mampu tersenyum saat teman-teman mengejekmu bodoh, goblok, si tinggal kelas dan sebagainya. Hingga kini aku masih bertanya-tanya kenapa kau tak begitu tertarik dengan matematika atau bahkan pelajaran-pelajaran sekolah lainnya. Dan jika mengingat-ingat itu semua aku akan jadi merasa bersalah karena tak membelamu saat teman-teman mengejek “Pur goblok karena ndak pernah pakai sepatu, otakknya kan di kaki! hahahaha...!”
Ah maafkan aku Pur.
*****
“Kamu kapan pulang ke Jakarta lagi.”
“Minggu sore Bu.”
“Lha kok cepet bener, Ibu kan masih kangen”
“Kan senin sudah kerja lagi.”
“Kamu ini udah jadi robot kantor, waktunya habis buat kerja, kapan cari jo..”
“Eh Bu, Pur apa kabarnya?”
“Ah kamu itu kalau diajak ngomong .”
Beberapa menit berikutnya (yang tak terasa menjadi berjam-jam) dengan berapi-api ibu menceritakan tentang kekagumannya terhadap Pur. Bagaimana segelitir dari pemuda-pemudi desa ini yang masih bertahan hidup mengabdi pada desa, sawah, ladang dan palawija. Sementara pemuda-pemudi yang lain lebih memilih hidup merantau sekadar menjadi buruh-buruh pabrik di kota-kota besar (tentu saja penjelasan ini sangat menyinggungku). Sementara warga desa yang bertahan pun telah menjual sawah-sawah mereka dan segera disulap jadi pabrik-pabrik tekstil yang pembuangan limbahnya digelontorkan begitu saja dan mencemari sungai.
Aku pun baru menyadari bahwa desa ini telah banyak terjadi bencana, mulai dari banjir bandang, serangan hama, hingga tanah longsor karena hutan jati dan pinus di hulu yang terus ditebangi, serta sawah ladang yang mulai beralih fungsi.
“Mau bawa oleh-oleh apa besok.”
“Telur asin Bu, ada?”
“Nah kalau kau mau beli, biar besok sore diantar Pur, soalnya dia yang biasa menjual telur bebeknya ke sana, barangkali nanti kamu dikasih murah kalau ke sananya sama Pur.”
“Baiklah bu besok sore aku akan menemui Pur, eh maksudku beli telur asin.”
*****
Dua menit. Seperti masih segar bunyi “byuuur!!” di telingaku saat Pur melompat masuk ke dalam arus sungai yang begitu deras karena terjangan banjir. Aku baru menyadari bahwa arus sebesar ini akan sangat sulit menyelamatkan Wono, bocah desa yang kami lihat sendiri terjatuh dari sepeda dan terperosok ke dalam sungai lalu terhanyut bersama keranjangnya yang penuh dengan hijau rumput.
Tiga menit. Kerumunan warga terbelah, seorang berpakaian coklat-coklat dengan memakai topi bulat berwarna krem mendekat ke arah sungai. Sepertinya dia kepala pabrik itu. “Tenang-tenang bapak ibu, saya sudah menelfon tim SAR, mereka akan datang lengkap dengan peralatan yang canggih!” katanya penuh pongah sambil tangan kanannya menjungjung tinggi telefon genggamnya sementara tangan kirinya berkacak pinggang. Namun begitu, warga menanggapinya dengan dingin.
Aku menatap arlojiku. Sudah empat menit, namun belum tampak tanda-tanda satu sosok pun yang muncul. Semua tampak tegang dan beberapa warga perempuan sudah ada yang mulai menangis.
Siapa yang mampu bertahan lebih lama lagi dalam arus sungai seperti sapi gila yang tengah mengamuk ini. Seketika aku lepaskan arlojiku lalu kutaruh di atas bebatuan di bibir sungai, ku pukul-pukul hingga pecah. Tapi waktu tak juga behenti apalagi bergerak mundur.
Aku berdiri lunglai, matahari senja memanjangkan bayangan gedung pabrik tekstil di atas permukaan sungai yang bergolak. Di bawah arusnya, mungkin sebuah jarum jam matahari telah patah.
0 komentar:
Posting Komentar