foto dari sini |
Terkadang perjalanan untuk mendapatkan sebuah
buku punya cerita tersendiri. Tak sesederhana pergi ke toko buku, mengambilnya
di rak lalu pergi ke kasir –merampungkan hukum jual beli. Atau bila menilik
model yang sedang berkembang; melihat katalog di web, pesan, transfer, lalu
terima kiriman buku satu dua atau beberapa hari berikutnya. Ada beragam kisah
yang lain, terutama bila dikaitkan dengan pencarian buku yang bagus.
Aku masih percaya dengan adanya buku yang
bagus dan buku yang tidak bagus. Buku yang baik dan buku yang tidak baik. Sebab
buku memang tak sesederhana mencetak kekata dalam lembaran kertas. Ada banyak
hal lain yang ikut mengklamufasekan isi di dalamnya. Tidak hanya cover,
cetakan, penerbit dsb, namun iklan –dalam segala bentuknya- pun ikut
berpengaruh.
Leila S. Chudori, penulis 9 dari Nadira dalam twitternya beberapa waktu lalu
mengungkapkan kegeramannya dengan ulah toko buku yang mempolitisir keberadaan
rak-rak yang berlabel Buku Laris. Ada atau banyak buku di sana yang bukan ‘sudah laris’ tapi ‘agar laris’.
Label laris rupanya cukup penting. Mungkin
dalam kebanyakan pemikiran para pembeli; bila banyak orang yang mau atau bahkan
butuh untuk membelinya berarti buku itu bagus. Termasuk aku sendiri. Selain
buku-buku puisi biasanya seleraku juga sangat main stream.
Seperti baru-baru ini, aku membeli novel Life
Of Pi gara-gara banyak yang heboh membicarakannya baik versi buku maupun film.
Dan ternyata novel itu sangat bagus! Padahal dari beberapa tahun lalu pun aku
sudah tahu keberadaan novel di toko buku. Dahulu kupikir covernya kurang
menarik; sebuah perahu kecil ada seorang yang kurus meringkuk di salah satu
ujungnya dan seekor harimau di
ujung yang lain. Apa bagusnya? Paling cuma cerita
petualangan yang tak masuk akal dan klise seperti novel kebanyakan.
Sekarang aku merasa menyesal sekali. Sungguh.
Sebagai pecandu buku, mendapati buku bagus setelah ribuan atau bahkan jutaan
orang membacanya seperti mendapat tamparan yang betubi-tubi. Tamparan yang
menyadarkan; kemana saja aku selama ini sampai tak membaca buku sebagus itu.
Tapi, selera pasar juga sering menjerumuskan
aku. Baru-baru ini aku juga membeli buku semacam buku puisi yang ramai
dibicarakan di twitter. Belum satu bulan penerbitannya buku itu sudah cetak
ulang, bahkan sekarang sudah berkali-kali. Namun ternyata aku tak kuat
membacanya, beberapa lembar di dalamnya bahkan membuat aku ingin muntah.
Seperti makan martabak yang kelewatan manisnya.
Udah gitu aja.
0 komentar:
Posting Komentar