Rabu, 23 Januari 2013

Buku yang Bagus Untuk Jiwa yang Udah Gitu Aja

 foto dari sini

Terkadang perjalanan untuk mendapatkan sebuah buku punya cerita tersendiri. Tak sesederhana pergi ke toko buku, mengambilnya di rak lalu pergi ke kasir –merampungkan hukum jual beli. Atau bila menilik model yang sedang berkembang; melihat katalog di web, pesan, transfer, lalu terima kiriman buku satu dua atau beberapa hari berikutnya. Ada beragam kisah yang lain, terutama bila dikaitkan dengan pencarian buku yang bagus.

Aku masih percaya dengan adanya buku yang bagus dan buku yang tidak bagus. Buku yang baik dan buku yang tidak baik. Sebab buku memang tak sesederhana mencetak kekata dalam lembaran kertas. Ada banyak hal lain yang ikut mengklamufasekan isi di dalamnya. Tidak hanya cover, cetakan, penerbit dsb, namun iklan –dalam segala bentuknya- pun ikut berpengaruh.


Leila S. Chudori, penulis 9 dari Nadira  dalam twitternya beberapa waktu lalu mengungkapkan kegeramannya dengan ulah toko buku yang mempolitisir keberadaan rak-rak yang berlabel Buku Laris. Ada atau banyak buku di sana yang bukan sudah laris tapi agar laris

Label laris rupanya cukup penting. Mungkin dalam kebanyakan pemikiran para pembeli; bila banyak orang yang mau atau bahkan butuh untuk membelinya berarti buku itu bagus. Termasuk aku sendiri. Selain buku-buku puisi biasanya seleraku juga sangat main stream.

Seperti baru-baru ini, aku membeli novel Life Of Pi gara-gara banyak yang heboh membicarakannya baik versi buku maupun film. Dan ternyata novel itu sangat bagus! Padahal dari beberapa tahun lalu pun aku sudah tahu keberadaan novel di toko buku. Dahulu kupikir covernya kurang menarik; sebuah perahu kecil ada seorang yang kurus meringkuk di salah satu ujungnya dan seekor harimau di ujung yang lain. Apa bagusnya? Paling cuma cerita petualangan yang tak masuk akal dan klise seperti novel kebanyakan.

Sekarang aku merasa menyesal sekali. Sungguh. Sebagai pecandu buku, mendapati buku bagus setelah ribuan atau bahkan jutaan orang membacanya seperti mendapat tamparan yang betubi-tubi. Tamparan yang menyadarkan; kemana saja aku selama ini sampai tak membaca buku sebagus itu.

Tapi, selera pasar juga sering menjerumuskan aku. Baru-baru ini aku juga membeli buku semacam buku puisi yang ramai dibicarakan di twitter. Belum satu bulan penerbitannya buku itu sudah cetak ulang, bahkan sekarang sudah berkali-kali. Namun ternyata aku tak kuat membacanya, beberapa lembar di dalamnya bahkan membuat aku ingin muntah. Seperti makan martabak yang kelewatan manisnya.

Udah gitu aja.

0 komentar:

Posting Komentar