Barangkali ini hanya tentang benci yang
terlalu, lalu tiba-tiba saja menjelma cinta.
Awalnya aku sama sekali tidak menyukai
cerpen-cerpen Linda. Sama sekali. Bahkan pernah sesumbar kepada salah seorang
sahabatku @eswlie (hai Ed, jika kau membaca tulisan ini lihatlah, aku sedang
melambaikan tangan padamu!) bahwa jika aku harus membaca cerpen-cerpan yang
tanpa disertai nama pengarangnya, maka cerpen-cerrpen Linda pasti akan kubaca
hanya pada paragraf awal-awal saja.
Tak akan selesai. Cerpen-cerpennya nyaris
tanpa plot (waktu itu aku pemeluk ‘agama’ plot yang paling taat’. Ceritanya
ngalor ngidul tak tentu arah, seperti cerita seorang anak kecil, tak jelas
juntrungannya, dan tak bertanggung jawab pada keutuhan cerita. Dan sekian
banyak alasan lain yang membuatku geram kenapa Rahasia Selma didaulat menjadi
karya fiksi terbaik dalam KLA -Khatulistiwa
Literary Award tahun 2010.
Dari sebelas cerpen yang ada di Rahasia Selma
tak ada satupun yang aku baca hingga selesai. Kalaupun ada pasti aku baca
dengan cepat dan melompat-lompat. Waktuku terlalu mahal untuk dihabiskan dengan
membaca cerpen-cerpen biasa seperti ini, pikirku penuh angkuh waktu itu.
Namun Rahasia Selma hadir seperti seorang
dengan ketabahan yang luar biasa. Seperti yang tertolak, diusir dari rumah namun ia masih tetap
setia menunggu di beranda. Berdiri dengan setia di tengah badai terik maupun
hantaman hujan –iya, ini memang pengandaian yang berlebihan.
Cerita pertama yang merebut hatiku adalah ‘Kesedihan’.
Kala itu aku sedang jenuh dengan cerpen-cerpen yang begitu aku gandrungi dan
sedang menjajal kemungkinan-kemungkinan –selingkuhan- yang lain. Begitu aku
membaca kisah ini dengan seksama, aku merasa langsung ditarik ke dalam ruang
yang begitu tenang, murung, lamban dan teramat melankolis. Pucat musim dingin
telah disepuh rona musim semi. Tapi angin laut belum beranjak.
Seperti judulnya cerita ini BENAR-BENAR
menunjukkan kesedihan dengan sudut pandang kejadian yang sederhana. Seperti bom
yang seukuran cangkir kopi namun punya daya ledak yang luar biasa. Berhari-hari
setelah itu aku masih terhanyut dalam rasa iba, bahkan rasa sedih yang sama
dengan tokoh ‘aku’ dalam cerita itu.
Berempati pada tokoh fiksi tidakkah perbuatan
bodoh? Entahlah. Yang jelas aku benar-benar terteror. Dan tak puas pada titik
itu saja, aku pun beranjak pada cerita-cerita lain.
Kebanyakan cerita Linda diambil dari sudut
pandang tokoh anak-anak, yang ditampilkan sangat utuh dengan keluguannya
memandang dunia, bahkan dalam bercerita, seperti dalam ‘Pohon Kersen’. Dan itu
membuat cerita-ceritanya sangat mengalir dan jujur. Sangat realis sekaligus
mencekam.
Seperti yang dikagumkan oleh Sutardji bahwa
Linda mampu menampilkan cerita bertema kemanusiaan tapi tanpa menyerahkannya ke
bawah telapak kaki penindasan pesan. DAN ITU SANGAT BENAR SEKALI. Linda mampu
menyajikan cerita yang sangat alami, sangat objektif, tanpa –terlihat- ada hasrat
untuk mengatakan sesuatu, menjadi sesuatu. Apalagi untuk kelihatan
berhebat-hebat dengan kata-kata, teknik menulis dsb.
Linda tidak begitu.
Dia mampu menjaga jarak dengan setiap karyanya, sehingga karya-karyanya hidup
sendiri dalam dunianya, seorang Linda hanya mengetikkannya saja.
Cerita-cerita seperti
itu tetap dipertahankannya dalam kumpulan cerpen berikutnya ‘Seekor Anjing Mati
di Bala Murghab’. Saat membeli buku ini Juni Lalu, aku belum terlalu jatuh
cinta dengan Linda, jadi aku biarkan saja buku itu dihimpit oleh buku-buku
lainnya di Rak.
‘Ketika Makan
Kepiting’ yang menjadi cerpen pertama dalam kumcer ini adalah favoritku dari
kesembilan cerita lainnya. Linda menggambarkan tokohnya dengan sangat personal,
unik, utuh, mengalir dan sangat hidup.
Meski keseluruhan
cerita di kumcer ini juga dahsyat namun menurtku Rahasia Selma tetaplah yang
terbaik. Dan semua cerpen-cerpen yang ada membuat aku makin takjub dengan
seorang Linda. Selain hal-hal hebatnya yang kusebutkan di atas, hal lain yang
menurutku paling menantang dari cerita realis adalah tentang bagaimana
menuangkannya. Bila salah teknik, cerita akan bisa jadi terlihat sangat
mekanis, kaku, tidak mengalir, dan tentu saja tidak hidup. Namun bila
menceritakannya seperti menuangkan air dari teko ke dalam gelas cerita akan
terlihat alami, sih, tapi akan terlihat
sangat monoton dan menjemukan.
Tantangan itu dapat
dilampaui Linda dengan sangat baik. Ia sangat kreatif dalam bercerita, entah
dari sudut pandang, entah penggambaran visualisasi dll, namun tanpa merusak
bangunan kealamian cerita. Sekali lagi, seperti cerita itu benar-benar ada dan nyata
di luar sana, dibawa angin yang berbisik ke telinga Linda kata per kata.
Akhirnya, jika saja
aku masih berumur belia saat membaca cerita-cerita seorang Linda Christanty
pasti aku akan langsung mengubah cita-citaku menjadi pilot, dokter, presiden
dsb menjadi seorang wartawan. Agar punya banyak cerita, sudut pandang,
perenungan yang menjadi tenaga tak tertabatas untuk menciptakan
karya-karya berkelas dunia.
Barangkali ini hanya tentang cinta yang terlalu, lalu
tiba-tiba saja menjelma cita-cita.
(Amin.)
0 komentar:
Posting Komentar