Suratmu baru saja sampai. Dari tanggal yang
tertera di dalamnya dapat kuhitung bahwa surat ini telah menempuh masa yang
cukup lama. Hampir 110 tahun. Maafkan aku... maafkan aku yang terlalu lama
menyembunyikan alamat. Menutup kehadiranku di negeri kata dan pena. Melanglang
buana. Memusafirkan diri.
Sebagaimana lazimnya manusia, aku juga
berkehendak atas kebahagiaan. Menjinakkan hatiku yang buas dengan daging-daging
suara yang telah diresapi oleh aneka rempah-rempah perhatian. Dari
negeri-negeri yang jauh. Yang begitu susah payah aku tempuh.
Namun nyatanya jiwaku makin buas. Makin tak
pernah merasa puas.
Kau mencari-cari ke luar dirimu, dan itulah
apa yang semestinya kau hindari sekarang. Tak seorang pun yang bisa menasehati
atau membantumu. Tak seorang pun. Hanya ada satu hal yang harus kau lakukan.
Pergilah ke dalam dirimu sendiri. Temukan alasan yang mendorongmu menulis; lihat
apakah alasan itu telah mengembangkan akar-akarnya ke dalam hatimu yang
terdalam; akui pada dirimu sendiri apakah kau rela mati bila dilarang menulis.
Dan lebih dari semua itu; tanya pada dirimu sendiri di jam paling hening dari
malam-malammu; haruskah aku menulis?
Galilah ke dalam dirimu sendiri sebuah jawaban
yang paling dalam. Jika jawaban ini memberi persetujuan yang nyaring, jika kau
bersua pertanyaan khidmat ini dengan kuat, dan dengan sederhana kau jawab “Ya,
aku harus.” Maka bangunlah hidupmu berlandaskan kebutuhan ini; seluruh hidupmu,
bahkan saat-saat yang paling sederhana dan acuh, haruslah menjadi sebuah tanda dan
kesaksian pada dorongan ini.
Kemudian mendekatlah kepada Alam. Kemudian,
seolah-olah tak seorang pun pernah mencoba sebelumnya, berusahalah untuk
mengatakan apa yang kau lihat dan rasa dan cinta dan hilang. Jangan menulis
sajak-sajak cinta; hindari bentuk-bentuk itu karena terlalu sederhana dan
biasa; puisi-puisi cinta paling sulit ditulis, dan memerlukan kekuatan yang
besar dan penuh untuk mencipta sesuatu yang individual dimana tradisi yang baik
dan dahsyat sudah eksis secara melimpah.
Jadi selamatkan dirimu dari tema-tema umum ini
dan tulislah tentang apa yang kehidupan sehari-harimu tawarkan padamu;
gambarkan penderitaan-penderitaan dan hasrat-hasratmu, pikiran-pikiran yang
berkelebatan dalam benakmu dan keyakinanmu dalam sejenis keindahan –gambarkan semua
ini dengan sepenuh hati, hening, rendah hati, tulus, dan saat kau
mengekspresikan dirimu sendiri, gunakan benda-benda di sekitarmu, citra-citra
dari mimpimu, dan objek-objek yang kau ingat.
Bangkitkan perasaan-perasaan yang tenggelam
dari masa silam –masa kecil- yang tak terpermanai ini; kepribadianmu akan
tumbuh lebih kuat. Kesunyianmu akan terkembang menjadi sebuah ruang dimana kau
bisa hidup di senjakala, dimana kegaduhan orang-orang lain berlalau, nun di
kejauhan.
Dan jika keluar dari tikungan ke dalam batin
ini, keluar dari gerimis dalam duniamu sendiri, sajak-sajak akan berdatangan,
maka kau tak akan terpikir untuk bertanya pada siapa pun apakah puisi-puisimu
itu baik atau buruk.
Kau juga tak akan mencoba memoles-moles
karyamu agar dimuat di majalah; lantaran kau akan melihat puisi-puisimu sebagai
milikmu yang alamiah, sesobek dari hidupmu, dan sebuah karya yang berasal
darinya.
Sebuah karya seni adalah baik bila ia keluar
dari kebutuhan. Itulah satu-satunya cara seseorang bisa menilainya.
Terima kasih, Tuan. Saksikanlah bahwa aku
telah kembali ke negeri sunyi ini. Tempat dimana seharusnya jiwaku diletakkan.
*Rainer Maria Rilke (lahir 4 Desember
1875 – meninggal 29 Desember 1926 pada umur 51 tahun) dianggap
penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain
Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks
of Malte Laurids Brigge. Ia juga menulis lebih dari 400 puisi dalam bahasa
Perancis, didedikasikan untuk tempat tinggal pilihannya, kanton Valais di
Swiss. (wikipedia)
0 komentar:
Posting Komentar